Lorong-lorong bercat putih tulang ini terasa sunyi bagi Neira, walau kenyataannya lalu-lalang orang sedari tadi berpapasan dengan dirinya. Berada di sini, rasanya lebih menakutkan dari tempat manapun yang pernah ia pijak. Kaki terasa berat untuk melangkah. Di kepalanya ada ribuan suara kata hati yang sedang berkecamuk, berdebat dengan diri sendiri, memaki diri sendiri. Hatinya berkata, 'Jangan datang ke tempat ini!' tapi otaknya tak mampu lagi berpikir tempat mana lagi yang harus ia tuju.
Tepat di depan pintu lift langkah kaki Neira berhenti. Ia tidak segera memasuki lift, tapi bergeming dengan tatapan kosong pada lantai lift itu. 'Benarkah ia harus kembali ke tempat ini?' Lagi dan lagi ia menanyakan pertanyaan ini pada dirinya sendiri. Dalam kebimbangan yang kian menjadi, langkahnya justru terayun menjauhi lift, ia memilih menaiki tangga menuju lantai enam tujuannya.
Seperti orang yang kehilangan kewarasannya, gadis ini menghitung satu persatu tangga yang ia pijak. Sesekali ia berdoa, bahwa sesuatu hal buruk yang ada di otaknya saat ini akan benar-benar terjadi.
Selangkah demi selangkah ia semakin ke atas. Tepat di anak tangga ke 353 ia berhenti. Kakinya sudah mulai gemetar, napasnya menderu dengan cepat. Ia kelelahan.
Perlahan Neira meraba perutnya. Lalu tersenyum getir. Ia sudah menaiki tangga sejauh ini, tapi hal buruk yang ia harapkan tidak juga terjadi. Takdir, kenapa harus sekejam ini pada dirinya?
Ia menatap ke bawah, pada sepasang sepatunya yang kusam. Sekian detik setelahnya, entah bagaimana? Tapi ledakan emosi itu tiba-tiba menyergap dirinya tanpa ampun. Marah, sedih, putus asa, semua perasaan bergumul penuh dalam hatinya. Gadis itu luruh terduduk di anak tangga. Tangis yang awalnya perlahan, lambat laun berubah menjadi raungan.
Neira histeris, ia meraung sekuat yang ia bisa. Tangis itu pecah seiring dadanya yang terasa sesak kali ini,____ sangat sesak_____ berapa kali pun ia memukul dadanya, tetap saja sesak itu tak kunjung mereda.
"Tuhan ... Kenapa harus aku?"
***
Denting berdetak pada menit ke empat puluh sembilan, menunjukan pukul tiga sore kurang sebelas menit lagi. Gadis itu telah sampai pada kamar apartemen yang ia tuju.
Namun, ia masih berdiam diri, tak kunjung menekan bel yang menempel pada pintu di hadapannya. Apalagi yang sebenarnya ia tunggu? Ia sudah berjuang melewati 465 anak tangga yang pasti amat sangat melelahkan, tentunya bukan hanya untuk menjadi patung di depan kamar apartemen orang, bukan?
Tapi kenyataannya memang demikian. Hingga satu jam lamanya, Neira hanya mematung di tempatnya. Sesekali kakinya bergerak gelisah, lalu tangannya yang berkeringat dingin itu sibuk memilin tali di pinggang mini dress-nya yang menjuntai.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya yang kering, penuh dengan keraguan. Tiga bulan lalu, saat ia memutuskan memasuki pintu di hadapannya ini, malapetaka yang ia dapatkan. Kali ini, akankah ia mendapatkan sebuah keberuntungan? Ia sendiri tidak yakin.
Neira meremas ujung roknya. Ia melangkah pergi meninggalkan pintu sialan itu. Tapi baru lima langkah, gadis itu memutuskan untuk kembali. Dengan tangan yang gemetar, dan jantung yang berdetak begitu kencang. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat saat jemarinya mulai menyentuh tombol merah pada pintu.
"Ting ... Tung ...."
***
Kamar 015F.
Agra meletakkan gelas kacanya pada meja, isinya masih setengah. Lelaki itu menggeliat sejenak, meregangkan otot-ototnya yang kaku, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya pada sofa panjang yang empuk.
Tiga hari ia tidak tidur, bergelut dengan laporan akhir tahun dan juga sidak bulanan di beberapa kantor cabang. Sebagai pemimpin tertinggi di perusahaan Advertising milik ayahnya,_____Bagaskara Printing and Advertising. Co_____tidak serta merta membuat Agra bisa bersantai. Dan lusa, dia sudah harus terbang ke berbagai wilayah untuk pengecekan langsung cabang di luar kota dan luar pulau.
Baru saja ia hendak terlelap, tapi bunyi bel membuatnya harus terjaga kembali. Agra berdecak, ia meradang dan mengacak rambutnya penuh frustasi. Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut, ia terpaksa bangun.
"Ya?" satu kata yang keluar dari mulut Agra setelah melihat sosok gadis yang membuyarkan jadwal tidurnya.
Agra menaikkan alisnya melihat sosok di hadapannya saat ini. Rambut sebahu yang berantakan sama seperti dirinya, mata bengkak pun tak berbeda jauh dari mata Agra. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, tapi dia sedikit tersenyum dan tertawa kecil seolah menertawakan dirinya sendiri. Berbeda dengan Neira, yang justru diam seribu bahasa melihat Agra. Dan itu membuat Agra bingung.
"Ada keperluan apa ya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"
Tanya lelaki itu kembali, tapi respon yang di dapat Agra tidaklah berbeda. Gadis itu tetap diam seribu bahasa dan menatapnya dingin.
Agra memijit pelipisnya. Kepalanya sudah pening, matanya pun tak kalah perih karena menahan ngantuk. Kenapa pula saat ini dia harus disuguhi gadis aneh seperti ini? Ok, jarum kesabarannya sedikit lagi mendekati titik 'ON'.
"Sekedar informasi. Saya belum tidur tiga hari. Anda mengganggu jadwal tidur saya. Dan saya, bukanlah orang yang sabar. Anda bisa mengerti, Mbak?"
Agra memajukan wajahnya, menatap gadis itu penuh dengan selidik. Tapi gadis manis itu bergeming, menatap dirinya tanpa berkedip.
"Ok!" Agra mengangkat kedua tanganya____menyerah. "Silahkan jadi satpam di depan kamar saya." Putus Agra akhirnya. Ia menutup pintu apartemen.
Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan pintu, bel itu berbunyi kembali terus menerus bagai teror.
Agra mendesah. Menjambak rambut ikalnya penuh frustasi.
"What the fu*k!"
____________________________________FUNFACT : Adakah yang suka dengan aroma spidol? Minyak tanah atau bensin? Bau kompor bersumbu yang baru mati? Ok, kita satu frekuensi :)
Agra hanya menatap datar penampakan di hadapannya ini. Masih gadis yang sama, dengan ekspresi yang sama, dan kebisuan yang juga sama."Jadi, mau kamu sebenarnya apa? Saya bukan cenayang yang tahu isi kepala kamu."Bukannya menjawab, gadis itu justru meremas roknya dengan mata yang berkaca-kaca."Astagaaa .... "Agra meraup wajahnya frustasi. Sebenarnya apa mau gadis ingusan ini di apartemennya?Dan sekarang, gadis ini malah akan menangis seolah Agra mengambil permen miliknya."Ok, biar saya tebak. Kamu patah hati? Baru putus cinta? Pacar kamu selingkuh? Atau cinta kamu ditolak?" Agra kembali membungkuk agar mereka setara. Maklum gadis ini tingginya hanya se-bahu Agra.Agra tersenyum manis menanti jawaban. Menatap dua bola mata cantik, yang entah meng
Langit menguning, matahari sudah mulai mencumbu tanah. Neira menapaki jalanan taman dengan lesu. Bahunya merosot tajam seolah tak ada lagi semangat hidup.Di bangku besi kosong bawah pohon beringin, akhirnya ia mengistirahatkan diri. Tubuhnya letih, begitupun dengan hatinya. Ia tidak tahu lagi harus pergi ke mana? Apa yang harus ia lakukan esok? Jangankan memikirkan itu semua, malam ini dia bisa tidur di mana? Dia tidak tahu.Ia menerawang pada bangunan tinggi yang tak jauh dari tempatnya duduk, lebih tepatnya bangunan itu adalah apartemen yang baru saja ia tinggalkan. Ia menggeleng kepala perlahan, mengingat cek seratus juta di depan matanya yang sudah ia tolak mentah-mentah. Harusnya dalam kondisi seperti saat ini, cek itu adalah penyelamat bagi hidupnya. Tapi harga dirinya terasa tersakiti jika ia menerima seratus juta itu. Dia bukan pelacur yang setelah dipakai lalu dibayar dan urusan sel
"Pak, beneran engga bisa bantu? Sebentar saja, Pak." Mohon gadis itu kepada satpam di tempat resepsionis."Waduh, Mbak. Bukan tidak mau bantu, tapi ini lagi kosong engga ada orang. Resepsionisnya lagi keluar, makanya saya di sini, tugas saya kan jaga di dapan sana, Mbak."Neira menghembuskan napas kasar. Gadis itu cemberut keluar lobi apartemen. Bisa saja dia pergi begitu saja, berharap ada orang lain yang lewat dan menolong pria itu nantinya. Namun, hati baiknya tidak tega. Terpaksa, ia kembali lagi ke tempat pria itu tergeletak."Nyusahin aja sih." Gerutunya, mencoba memapah pria itu untuk berdiri."Hai, cantik." Sapa pria itu setelah berhasil berdiri, dia tersenyum manis, menoel hidung mancung Neira dengan mata yang masih sayu sulit terbuka. Sontak, Neira menjatuhkan kembali pria itu.
Pagi menyingsing, silau menerobos masuk ke sela-sela kaca jendela yang tak tertutup tirai.Mata lentik yang sedikit bengkak itu terbuka. Pemiliknya menggeliat dengan rasa ngilu yang teramat sangat di sekujur tubuh. Sedetik setelahnya, sadar akan apa yang telah terjadi.Tak ada tangis di mata indah itu, ia hanya menerawang kosong pada langit-langit kamar berwarna hitam galaksi. Rahangnya bergemeretak, marah yang memuncak itu justru membelenggunya dalam kebisuan.Jarinya meremas kuat kain seprai putih yang berada di bawah tubuhnya yang polos, tak terbalut apapun. Ia tidak sudi melihat darah perawannya yang berbekas di sana, ia juga tak sudi melihat pada sosok yang telah merenggutnya.Gadis itu bangkit dengan tubuh yang bergetar, lututnya lemas untuk berdiri. Ia menahan napas, menahan ledakan emosi yang menyumpal dadanya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia memunguti pakaiannya. Tanpa per
Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur."Maaf ...,""Maaf ...,""Maaf ...."Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya."Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.
Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan."Hai ... Kamu kenapa?"Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang."Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah