“Lis," panggilku, begitu mengkhawatirkan keadaannya. “Kamu mau cerita sama Aa?”
Elis tampak menggigit bibirnya, mungkin agar air matanya tidak terus-menerus tumpah. “Elis merasa berdosa, A. Elis malu ngomongin hal ini ke Aa,”
“Dosa? Kamu ini sebenarnya mau ngomong apa, Lis?”
“Iya, A, Elis takut pada apa yang udah Elis alami.” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Makin cemaslah aku dibuatnya. Ada apa ini? “Sebaiknya kamu cerita sama Aa, Lis. Nggak baik dipendam sendiri!”
"Elis … Elis lagi suka sama seseorang, A. Mungkin malah Elis bener-bener suka banget sama dia.” Ungkapnya, mengejutkanku. “Elis merasa berdosa karena perasaan ini nggak pada waktunya dan bukan pada tempatnya. Rasa bersalah ini yang menyita pikiran Elis, Aa. Elis takut. Elis bingung harus gimana.”
Gadis di sebelahku seolah sedang membongkar isi hatinya dengan jujur dan apa ada
Hampir jam 21.00 kami sampai di rumah Elis. Setelah pamit pada uminya aku pun pulang ke rumah sebelah, ke tempat indekosku bersama Fajrin. Campur aduk rasanya kondisiku malam ini. Capek, pusing, panas, sekaligus gelisah tak berkesudahan. Pikiranku pun kemana-mana.Cinta? Topik yang lebih sering tidak menariknya bagiku. Entah kenapa tiba-tiba aku memikirkan yang satu ini. Siapa sih laki-laki yang disayangi Elis? Ada apa ini? Kenapa juga aku harus merisaukan laki-laki yang Elis sukai? Lalu kenapa aku tiba-tiba mempertanyakan perasaanku terhadap Elis? Benar-benar aneh!Pikiranku melayang pada hal-hal yang menimpa teman-teman di kampus. Mereka seringkali dibutakan dan sering dirugikan oleh urusan cinta. Seperti nila yang merusak susu sebelanga. Inikah yang mereka alami? Kalau aku terus larut terbawa perasaan ini, siapkah aku jadi korbannya? Mampukah fokus utamaku tetap pada kuliah dan mengajar, dengan membuang jauh-jauh pikiran galau tak karuan seperti ini? Urusan dengan m
Sinar matahari menjelang sore yang hangat menyeruak dari celah-celah pepohonan di sekolah. Kontras dengan suasana semalam, siang ini terlihat cerah dan indah saat kutemukan beberapa wajah penuh senyum hangat di kelas XI IPA.Walaupun tak ada semangat seperti hari-hari lalu, rutinitas mengajar tetap kumulai dengan mengecek absensi siswa. Kejutan besar rupanya menungguku sejak tadi. Kulihat Marsel tersenyum melihat kedatanganku. Sylla pun hadir dan sudah duduk manis di bangkunya. Wajahnya segar, tidak lesu seperti biasanya.“Oke, untuk hari ini silakan bergabung dengan kelompok kalian.” Kataku di depan kelas, mengawali pelajaran. “Seperti yang sudah kita ketahui, pementasan seni teater sekolah sudah semakin dekat. So, selama dua jam ke depan let’s open your mind, segarkan ingatan pada teori artikulasi, pelafalan, penghayatan, dan blocking minggu lalu. Hari ini juga kita akan mulai berlatih blocking
Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih galau tak menentu. Satu-dua masalah seolah berloncatan tiada henti di depan mata. Konsentrasi mengajarku pecah! Kenapa hari ini seolah jadi hari yang paling buruk bagiku? Ya Allaah, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Elis dan surat kaleng berisi ungkapan cinta yang diterima Fajrin? Kenapa ini seperti misteri besar yang harus segera kuselesaikan? Gelisah dan lelah kian menyerbuku begitu sampai tujuan. Kutuju pintu depan dengan langkah lemas. Di tanganku terjinjing tas yang juga berisi dus handphone baruku. “Pak Bram!” Mataku yang lelah terbuka lebar seketika. Aku hafal suara itu. “Nayya? Ngapain di rumahku?”
Kutinggalkan jalan raya, kembali ke rumah setelah kendaraan umum itu menghilang di tikungan. Ya, sekalut apa pun Nayya aku tahu dia akan selalu baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Elis? Aku tak bisa melupakan ekspresi Elis saat tanpa sengaja memergoki Nayya tengah memelukku. Seakan terbayang di depan mata saat Elis berlalu begitu saja, tak mau mendengarku dan membanting pintu kuat-kuat di depan mataku. Aku sangat mencemaskan Elis. Aku takut sikap Elis berubah padaku setelah ini.Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Bukankah sepantasnya aku lebih memikirkan masalah yang sedang dialami Nayya daripada memikirkan Elis?Apakah aku mencintai Elis, dan Elis juga mencintaiku? Seharusnya Elis tidak perlu mengambek seperti itu jika dia tidak menaruh hati padaku. Kalau benar Elis menginginkan aku, kenapa dia malah mengaku sedang mengagumi laki-laki lain? Kenapa dia malah mengirim surat ungkapan kekaguman pada Fajrin? Sampai pagi tadi aku makin yakin bahwa surat itu memang dari E
Aku memilih terus berpura-pura tidur ketika Fajrin akhirnya pulang setelah lewat jam 20.00 malam itu. Lama benar dua orang itu pergi! Aku mendengar dengan jelas ketika Fajrin sudah masuk ke kamar dan meletakkan sesuatu di atas meja tulisku, sepertinya makanan karena aroma yang tercium dari sana masih sangat kukenali. Ini harum aroma martabak kesukaan Elis!Dalam remang mataku yang tidak benar-benar terpejam, kulihat Fajrin duduk melepas sepatunya sambil melihat ke arahku. “Bram,” Fajrin mulai mengajak bicara. Aku tidak akan menyahut. Aku akan terus diam seakan-akan tertidur pulas. “Ane tahu ente belum tidur! Tuh, ada amunisi dari Elis. Mau nggak? Kalau nggak mau ane abisin sekarang ya!”&nb
“Ah, saya tau,” gadis di sebelahku meraih gitarnya dan langsung menuduhku, “Bapak pasti lagi patah hati!"Aku menggeleng.“Ya udah ini gitarnya! Saya pengen dengerin suara Bapak lagi,” Sylla benar-benar tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Diulurkannya gitar padaku.Aku meraihnya dan memain-mainkan jemariku sebentar di atas senar, tidak tahu ingin memainkan nada apa. Entah sesuai atau tidak dengan suasana hati saat ini, tiba-tiba lirik lagu Now and Forever yang pernah hit oleh Richard Marx terucap olehku begitu saja. Jari-jemariku pun refleks memainkan setiap kuncinya. Lalu, suara kami pun tiba-tiba bisa begitu padu.“Whenever I'm weary from the battles that rage in my headYou made sense of madness when my sanity hangs by a treadI lose my way but still you seem to understandNow and forever I will be your man
Selepas sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah, aku diajak Fijrin sarapan nasi uduk di warung yang tak jauh dari situ. Aku sudah tak sabar mendengar penjelasan Fajrin mengenai akhwat yang mengajaknya taaruf."Sob, gimana taarufnya?" tanyaku setelah meneguk teh hangat tawar."Ane bingung, Sob. Ane belum tahu lagi mau lanjut atau tidak. Semalam ane sudah sholat istikharah. Belum ada tanda-tanda jawaban dari Allah." Jawab Fajrin. "Ente sendiri, bagaimana sebenarnya sama Elis?""Nggak usah bahas Elis dulu deh, Sob. Ane mau bahas yang ente dulu nih," ucapku mengikuti gayanya: ber-ane-ente."Ane serius nih, Sob. Kalau ente emang masih ragu sama hati ente terhadap Elis, berarti itu tandanya ane nggak cinta sama dia. Kalau emang begitu, ane ada calon buat ente untuk taaruf." Ucap Fajrin."Taaruf? Maksud kamu, mau serahin calon taarufmu ke aku, gitu?""Bukaaan! Di Tegal, ada gadis belia, cantik, dan insya Allah sholehah. Orang tuanya m
Setelah menguasai keragu-raguanku sejenak, akhirnya kupijit bel rumah di dekat gerbang tinggi itu. Beberapakali, sampai dua orang petugas keamanan membukakan gerbang.“Selamat malam,” sapaku sopan.“Malam. Mau cari siapa?” Aku ditanya dengan sikap waspada.“Maaf, apakah benar ini rumah Pak Hari Suryo, orang tua Derryl? Saya Bram, wali kelas Derryl di sekolah.”“Ada keperluan apa malam-malam Sudah ada janji?”“Tidak ada janji, Pak, hanya melalui surat. Ini kunjungan sekolah biasa, tapi ada hal penting yang harus diketahui Pak Hari Surjo tentang putranya.”Setelah bicara dengan rekannya beberapa saat, salah seorang petugas mengangguk dan membawaku masuk. Kuikuti laki-laki berambut cepak itu melewati taman hingga sampai ke ruang tamu yang luas, terang dan sejuk. Petugas itu pun langsung beranjak ke ruang dalam. Sepertinya dia akan memberitahukan kedatanganku kepada tuan rumah.