Rania membawa selimut dan menyelimutkannya pada tubuh Mika yang duduk di lantai sembari memeluk lutut. Ia masih berada di depan pintu kamar Jovita sejak beberapa jam lalu, sama sekali belum bergeser sejumput pun.
“Hoek!”Adien segera berlari masuk. Suara keran air terdengar mengalir deras dari toilet kamarnya. Ini sudah kedua kalinya sejak insiden yang menimpa Tami. Adien diserang panik dan perasaan cemas yang berlebih hingga ia merasa mual setiap kali teringat pada kejadian yang sudah-sudah. Rania turun untuk membuat minuman hangat. Tubuh Tami yang berada di anak tangga terbawah masih tetap di sana. Rania hanya menutupi tubuhnya dengan selimut yang diambil dari kamar.Sebelumnya mereka yang setuju datang berjumlah 6 orang. Kini yang tersisa hanya 3 orang. Sebelumnya mereka setuju datang agar dapat bersenang-senang, tapi segalanya kemudian menjadi buruk dan bertambah buruk. Sebelumnya mereka setuju datang dengan harapRania mengetuk pintu kamar Mika. Mengetuk lagi, lagi, dan masih tidak ada tanggapan. Rania menunggu beberapa saat dan masih tetap tidak ada tanggapan. Ketika Rania akan kembali ke kamarnya, Mika membuka pintu. "Bisa ... temani aku ke luar?" Rania memberanikan diri untuk berbicara pada Mika. "Jangan khawatir, aku sudah bilang pada Adien dan dia bilang akan tinggal di kamarnya saja dan mengunci pintu," jelas Rania cepat. Mika tidak memberi tanggapan. Ia menutup pintu kamarnya dan keluar lagi tidak lama kemudian. Seperti biasa Mika mengunci pintunya sebelum pergi. Ketika turun melewati tangga, tatapan Mika nanar tertuju pada kain yang menutupi tubuh Tami. Ia berjongkok, hendak menyingkap kain, dan melihat Tami untuk terakhir kalinya tapi Rania melarang. Mika tahu, apa yang ia lakukan tidak akan menggugurkan dosanya, tidak akan mengurangi penderitaan dan rasa sakit Tami. Mika tahu tidak akan ada yang berubah. Mika memejam
Saat Mika masuk keadaan ruang depan berantakan. Kaca meja pecah, sofa kecil terbalik, kain yang menutupi tubuh Tami tersingkap. Di dapur, gelas dan piring kaca juga pecah. Kulkas terbuka dengan bahan dan peralatan memasak berserakan di lantai. Mika mengambil kain dan kembali menutupi tubuh Tami. Selanjutnya bergegas ke lantai atas untuk melihat keadaan Adien. Mika mencoba membuka pintu kamar Adien namun terkunci. "Adien, Adien!" Mika mulai menggedor. "Adien, aku Mika. Buka pintunya! Adien kamu baik-baik saja?" Tidak lama kemudian Adien membuka pintu dan menghambur memeluk Mika. Ia menangis, ketakutan. Tubuhnya berkeringat dan gemetar. "Mika, kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Adien di sela-sela isak tangisnya. "Kamu baik-baik saja?" Adien mengangguk. Mika mencoba lepas dari pelukan Adien, tapi wanita itu menolak. Ia justru mempererat dekapannya. Seolah melepaskan Mika berarti kembali terjerat dalam
"Kita sampai." Razan mengantar Laisa pulang dan telah sampai di depan rumah. Saat Razan berbalik, ternyata wanita itu jatuh tertidur. Pantas saja tidak terdengar suaranya sejak tadi. Razan menurunkan sedikit posisi kursi agar Laisa bisa tidur dengan nyaman. Laisa tidur dengan mulut terbuka dan sesekali terdengar suara mengorok. Ekspresinya saat tidur terlihat lucu, membuat Razan tidak berhenti tersenyum. Bisa melihat wajah tidur Laisa secara langsung, Razan sungguh merasa beruntung. Saat Laisa menindasnya nanti, ia akan punya senjata untuk membalas. Razan mengambil ponselnya dan memfoto. Tidak tega membangunkan Laisa, Razan memutuskan untuk menunggu. Ia ingin menikmati kebersamaan mereka sedikit lebih lama lagi. Situasi di mana suasananya terasa tenang dan hanya ada mereka berdua. Tidak ada perdebatan dan tidak ada masalah-masalah berat yang membebani. Setelah memastikan bahwa Rania Meisy bukanlah Rania ya
Hari ini Mika mendekam di kamarnya lebih lama. Ia sedang berpikir, merenungkan banyak hal. Siapa orang yang hari itu menyelinap masuk dan dari mana Tami mendapat pisau. Kedua pertanyaan itu merupakan teka-teki baru yang menambah beban pikirannya. Jika orang yang menyelinap dan keberadaan pisau saling berhubungan, apa tujuannya? Bukankah jika ingin menyelamatkan cukup dengan memotong talinya. Jika Orang itu bisa menyelinap masuk, artinya ia juga punya waktu untuk membebaskan Tami tanpa meninggalkan pisaunya. Satu lagi, pisau baru dengan pisau yang digunakan untuk membunuh Jovita memiliki warna, merek, dan bentuk yang sama. Jadi, apa artinya Jovita dibunuh oleh pihak yang sama? Kepala Mika mulai terasa sakit. Semakin lama berpikir, bukannya pertanyaan-pertanyaan itu terjawab justru semakin bertambah. Semalam Mika tidur tidak sampai satu jam. Apa yang terjadi pada Tami selalu membayanginya. Kembali lagi dan lagi. Harusnya saat itu ia tidak lengah. Ha
Mika berada di anak tangga teratas ketika melihat Rania membekap mulut Adien sementara satu tangannya yang lain mengacungkan pecahan kaca di depan mata Adien. Jaraknya dengan pecahan kaca sangat dekat sehingga dapat melukai Adien kapan pun jika wanita itu sembarang bergerak. Mika berlari turun. Ia menguatkan pijakan kakinya yang masih terasa kebas agar tidak jatuh. “Rania, turunkan kacanya! Apa yang terjadi? Kenapa sampai seperti ini?” Tatapan Mika terkunci pada pecahan kaca yang ada di tangan Rania. Itu pecahan kaca semalam. Pecahan kaca yang Mika berikan padanya. Jika pecahan kaca itu sampai digunakan Rania untuk melukai orang lain, entah berapa banyak rasa bersalah yang harus ia tanggung. "Mika, jangan salah paham. Aku berbuat seperti ini bukan tanpa sebab." "Aku tahu, aku tahu." Mika mengangguk. "Kamu bukan tipe orang yang tidak masuk akal dalam bertindak. Aku tahu. Jadi, turunkan dulu pecahan kacanya.
Bersama dengan masuknya tawaran untuk bergabung dalam acara sebagai penerima undangan, Orang itu juga menawarkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang akan membuat para penerima undangan berpikir ratusan kali sebelum menolak. Jovita ditawari sebagai fokus utama acara dan alamat IP pembenci yang berada di dekatnya. Tami ditawari identitas Isamu dan entah berapa banyak lagi. Isamu ditawari kesempatan untuk bertemu dengan Jovita dan membalas kekalahannya. Mika tidak ditawari tapi menawarkan. Sementara Adien ditawari informasi melalui sebuah artikel. Ralat! Dua artikel. “Artikel apa?” Mika masih tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan artikel yang Adien maksud. Apa isi artikel dan siapa saja yang terlibat. “Di mana artikelnya?” Rania terlihat marah. “Di mana kamu simpan!” tambahnya membentak. “Artikelnya ... artikelnya tertinggal di rumah. Enggak sempat kubawa.” Adien menangis lagi
Rania telah mengangkat pecahan kaca yang ada di tangannya setinggi bahu dan hanya perlu menghunusnya untuk menjatuhkan satu korban di depannya. Tapi bukannya mengayunkan pecahan kaca sesuai rencananya, Rania justru hanya diam. Tidak lama kemudian air matanya menetes. Kenapa begitu sulit. Kenapa tidak semudah yang ada di dalam kepalanya. Kenapa orang lain bisa tapi ia tidak. Apa tekadnya kurang, apa keberaniannya hilang? Tidakkah untuk menjadi seorang pembunuh hanya butuh keinginan, kesempatan, dan senjata? Bukankah ia memiliki semua itu? Kalau begitu apa yang kurang? “Untuk seseorang yang membawa senjata di dalam, saya sarankan agar segera menyerah. Buang senjata dan lepaskan sandera!” Tiba-tiba suara tidak dikenal yang berasal dari luar berbicara lantang dengan menggunakan pengeras suara. Mengetahui akhirnya tim selamat telah tiba, Mika merasa sangat bersyukur. Separuh bebannya seperti terangkat. “Semua sudah berakhi
Setelah Rania digiring untuk diamankan dan Adien mendapat pengobatan, Mika kembali untuk melihat bagaimana polisi bekerja. Mika secara kooperatif memberi keterangan mengenai segala hal yang ia alami. Mika juga mengakui perbuatannya memindahkan mayat Jovita beserta alasannya. Semua barang bukti yang Mika simpan diserahkan pada Ketua tim. "Sudah, kamu istirahat saja. Buat apa ikut sibuk?" Laisa yang sejak tadi mengekor berkomentar. "Tunggu!" Mika menghentikan seorang petugas yang baru keluar dari kamar Tami. "Undangan yang ada di atas meja sudah kalian ambil?" "Undangan? Undangan apa?" Petugas yang ditanya balik bertanya. "Undangan yang covernya tebal, hitam, tulisannya warna emas," jelas Mika. Si petugas mengingat sebentar, melihat lagi barang-barang yang ada dalam kotak, kemudian menggeleng. Mika berterima kasih dan mempersilakan si petugas melanjutkan tugasnya. Sebenarnya tidak ada yang serius