"Kamu gila, ya!" jerit Mika murka.
Seandainya Mika tidak menyadari rencana Adien dan terlambat menarik pisaunya menjauh, jelas yang akan terjadi sangat berbahaya. Meski mempertaruhkan nyawanya sendiri, Adien sama sekali tidak ragu bertindak."Sudah kubilang aku berbeda denganmu." Adien segera memanfaatkan kesempatan untuk lepas dari bekukan Mika. "Apa yang mau kulakukan, itu yang kulakukan. Dengan sikapmu yang selalu ragu-ragu seperti ini kamu pikir bisa mendapatkan sesuatu? Bisa menebak akhir permainan ini?""Terima kasih atas nasihatmu tapi ragu-ragu lebih baik dibanding salah langkah," sungut Mika."Membosankan!" desis Adien.Adien mengambil pisau baru dan kembali memulai serangan. Sejak awal selalu Adien yang agresif. Selalu ia yang berinisiatif menyerang lebih dulu. Semangatnya sama sekali tidak turun meski Mika lebih mendominasi.Menyadari semangat Adien yang tidak pantang menyerah, semakin Mika tidak ingiLaisa telah menemukan target yang ia cari. Yuta, pemuda berusia 21 tahun, tinggi 180 senti, dengan tubuh kurus. Di luar dugaan, tidak sulit menemukan pemuda itu. Ketika beraksi di dunia maya, Yuta menggunakan komputer di sebuah warnet 24 jam. Laisa telah bertanya pada pemilik warnet dan Yuta memang sering datang bahkan menginap saat malam. Harusnya target yang Laisa cari memang Yuta, tapi pemuda itu terlihat biasa. Sama sekali tidak ada yang spesial. Yuta tidak memiliki banyak teman dan lebih sering terlihat sendiri. Kesibukannya hanya kuliah dan bekerja paruh waktu. Awalnya Laisa ingin bertindak, segera menyelesaikan misinya dan pulang. Tapi tiba-tiba saja ia teringat pesan Mika. Tidak boleh ceroboh, tidak boleh terburu-buru. Laisa kemudian menahan diri. Memilih untuk mengawasi pemuda itu. Barang kali ada sesuatu yang bisa ia dapat. “Cola onegai![1],” kata Laisa sembari menyerahkan uang receh terakhirnya.
Begitu Laisa turun dari pesawat, ia segera lepas landas menuju rumah sakit tempat Mika di rawat. Laisa berlari dengan panik. Menabrak orang lewat, nyaris terbentur brankar, dan hampir jatuh tersandung kaki sendiri. Begitu sampai di kamar rawat, sepupu yang tengah ia khawatirkan setengah mati sedang tertawa. Ada Kyra dan Razan yang menemani. Mendapati Mika sama sekali tidak menyesal membuat dirinya sendiri terluka, membuat Laisa semakin sebal. "Laisa, kamu sudah pulang," sapa Razan. Laisa tidak membalas. Ekspresinya yang tidak ramah membuat keadaan mendadak hening. Mereka tahu Laisa marah. "Bukannya kamu menyuruhku agar berhati-hati? Bukannya kamu menyuruhku agar jangan ceroboh? Lalu bagaimana denganmu? Kenapa saat aku berhati-hati justru kamu yang bersikap ceroboh?!" "Laisa ..." "Jangan memotong!" Laisa beralih pada Razan yang menginterupsi. Seketika itu juga Razan kembali merapatkan bibirnya. "Iya,
"Masuk!" Laisa muncul dari balik pintu dan berbicara dengan satu kata kemudian menghilang. Kyra dan Razan yang menunggu di kursi lorong saling bertukar pandangan, kemudian tersenyum. Keduanya beranjak masuk. Laisa duduk dengan malas di kursi samping ranjang. Ia mengupas buah tapi bukan untuk Mika melainkan untuk dirinya makan sendiri. Begitu Razan dan Kyra masuk, jangankan melirik, Laisa berpura-pura tidak tahu. Ia memasang wajah datar dan tetap fokus pada apel yang ia kupas. "Tanganmu masih nyeri?" tanya Kyra. Ia duduk di tepi ranjang sebelah kanan. “Sudah lebih baik.” Laisa melirik dari sudut matanya. Memperhatikan setiap hal yang Kyra lakukan. "Apel ini saya belikan untuk Mika karena dia sakit. Tapi sekarang kenapa justru Laisa yang makan?" Razan mencoba menggoda Laisa. Berusaha mengembalikan suasana hati Laisa yang belum membaik. "Cerewet! Memangnya Mika bisa menghabiskan semuanya sek
Saat masih berkumpul di ruang rawat Mika, Razan mendapat panggilan dari tempatnya bekerja. Padahal jam istirahatnya belum selesai tapi ia kembali dengan terburu-buru. Tampaknya sebuah kasus telah terjadi. Tidak lama setelah Razan pergi, ibu Mika datang. Sebelumnya Kyra yang menggantikan orang tua Mika untuk menjaganya. Ibu kelihatan letih dan kurang tidur. Awalnya ibu Mika menolak tapi setelah dibujuk dan ditemani suaminya, akhirnya ibu Mika setuju untuk pulang dan beristirahat. Setelah cukup tidur dan menenangkan diri, ibu Mika terlihat lebih baik. Wajahnya lebih cerah dan penampilannya lebih segar. Kyra pamit undur diri lebih dulu. Laisa juga memilih pamit karena selalu merasa canggung saat bersama ibu Mika. Mereka berjanji akan datang lagi. Menasihati Mika untuk tidak banyak bergerak agar lukanya lebih cepat kering. "Iya, aku tahu." Mika memasang ekspresi malas bak anak kecil yang dongkol mendengar ocehan orang dewasa. K
Razan pulang ke rumah lebih larut dari hari-hari biasanya. Rapat yang membahas kasus menjadi lebih panjang dan ada banyak hal yang harus diselidiki. Tugas semakin menumpuk dan tekanan menjadi semakin berat. Razan merasa lelah. Ia butuh istirahat panjang, butuh banyak tidur. Razan masuk ke kamarnya yang gelap. Ketika ia menyalakan lampu, betapa Razan terkejut dengan apa yang ia lihat. Razan bahkan sampai melompat dan menjerit. "Malam!" Laisa melambaikan tangannya, memasang wajah tanpa dosa. Bukan hanya Laisa, Kyra dan Mika juga datang. Ketiganya tersenyum jahil. Merasa puas telah berhasil memberi kejutan. "Kalian mau apa?" Razan berubah defensif. Spontan ia memeluk tubuhnya. "Jangan mikir macam-macam!" Laisa menggunakan telunjuknya untuk mendorong kepala Razan. "Dasar mesum!" "Mesum?!" ulang Razan tidak habis pikir. "Kenapa jadi saya yang disebut mesum? Kalian sendiri yang masuk ke kamar saya. Wanita, malam-malam masuk ke ka
"Jadi di sini tempatnya." Laisa berbicara sendiri. Laisa sedang berdiri di depan sebuah bangunan setengah jadi yang terbengkalai. Ia mengamati bangunan berlantai tiga itu lekat. Memperhatikan bentuk dan keadaan sekitarnya yang dipenuhi rumput liar dan tak terurus. Setelah puas mengamati, Laisa mendekati bangunan. Ada satu tempat dalam bangunan yang memang telah menjadi tujuan kedatangannya. Bangunan terbengkalai setengah jadi yang Laisa datangi terletak di pinggiran kota. Tempatnya tidak begitu tersembunyi. Sekitar 200 meter dari jalan besar. Tempat yang menjadi TKP kasus Rania-Nova. Sampai saat ini Rania masih belum sadar sementara ada hal yang terus mengganggu pikiran Laisa. Karena orang yang bersangkutan tidak bisa ditanyai, Laisa memilih pergi ke TKP untuk memeriksanya sendiri. Garis polisi yang menyegel Tempat Kejadian Perkara masih terpasang rapi. TKP kasus Roy Purnama juga ada di lantai dua, lantai yang sama namun di
Saat tim penyidik sibuk menganalisa kasus yang terjadi antara Rania-Nova, tiga orang pria berpakaian rapi dengan mengatas namakan Badan Inteligen datang ke markas. Ketiganya menemui Ketua tim dan berbicara cukup lama dalam ruangannya. "Sudah setengah jam mereka di dalam. Kira-kira apa yang dibicarakan?" Razan bergumam seorang diri. "Razan!" Oliver, seorang rekan yang duduk di sebelah mejanya menggeser tempat duduknya agar lebih dekat. "Menurutmu apa ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kita selidiki? Menurutmu apa mereka akan mengambil alih kasus?" Razan menatap lawan bicaranya, berpikir sejenak, kemudian menggeleng. "Bagaimana kalau mereka benar-benar mengambil alih kasus kita?" kata Oliver lagi. "Tidak mungkin!" Raymond, rekan yang lain, yang duduk di depan Razan menimpali. "Dengar-dengar Badan Inteligen sedang menyelidiki kasus besar. Mana mungkin ada waktu untuk ikut campur kasus kita." "Dengar-denga
Karena kasus Rania-Nova jatuh ke tangan Badan Inteligen, Mika dan yang lainnya memilih menyelidiki kasus sendiri. Mereka akan fokus pada Nova. Tidak ada alasan khusus memilih fokus pada Nova dibanding Rania, mereka hanya mengandalkan insting. Mereka merasa menyelidiki Nova akan menghasilkan sesuatu yang lebih. Tugas dibagi agar lebih cepat mendapatkan hasil. Razan tetap pada timnya untuk menyelidiki kasus sesuai instruksi Ketua tim. Laisa menyelidiki apa yang Nova lakukan sebelum wanita itu menghilang. Sementara Kyra menyelidiki masa lalu Nova. "Kenapa aku memeriksa identitas sementara kamu memeriksa apa yang Nova lakukan sebelum ini?" Kyra memprotes pembagian tugas yang tidak sesuai dengan keinginannya. "Karena aku yang membagikan tugas, jadi semua terserah padaku," jawab Laisa dengan tampang menyebalkan. Kyra melotot sebal. Mika dan Razan yang sejak awal hanya menjadi penonton dan pendengar sejati, saling bertukar pandang