"Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat dulu sebentar di sini, ya. Kalau memang ada masalah, kamu jangan sungkan cerita sama Ibu." Amalia terdiam sejenak, melihat ekspresi Aluna yang hanya terdiam sembari menunduk. Sebagai seorang Ibu, dia punya firasat kuat, kalau anaknya sedang memikirkan sesuatu. Tetapi tampaknya Aluna berusaha untuk menyembunyikan dari sang Ibu. Amalia pun tidak bisa berbuat banyak dan berharap kalau Aluna bisa menyelesaikan masalahnya dengan cepat. "Ya sudah, kalau begitu Ibu tinggal dulu, ya," ucap Amalia, setelah itu meninggalkan Aluna di kamarnya.Gadis itu memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Akhirnya, bisa terbebas dari berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya. Sekarang dia bisa tenang dan berharap kalau rasa sesak dan tak enak hati ini segera hilang. Setelah itu bisa pulang ke rumah megah itu di waktu jam kerja berakhir.Sementara sang sopir dipersilakan untuk istirahat dulu di sana. Tampaknya sopir itu pula tidak bisa berbuat banyak,
Malam telah tiba, tapi Darren belum juga menemukan Aluna. Sementara itu sang sopir pun mulai khawatir, karena sudah beranjak malam. Dia berusaha bertanya kepada Amalia, di mana Aluna berada. Tidak mau sampai menjadi masalah besar untuk dirinya juga Nyonya mudanya itu. "Sebentar, ya, Pak. Saya panggilin dulu Aluna." Amalia segera memanggil anaknya itu untuk segera pulang. Tetapi, ternyata di luar dugaan. Aluna malah menyuruh agar sopir saja yang pulang. Dia tidak apa-apa untuk tinggal di sini terlebih dahulu. "Loh, jangan seperti itu, dong, Aluna. Kalau misalkan Darren marah-marah dan sampai sopir dipecat bagaimana?" "Nggak akan, Bu. Aku yakin sopir itu nggak akan dipecat, karena dia satu-satunya orang yang tahu di mana aku berada," ucap Aluna berusaha meyakinkan Amalia, mengingat bagaimana tabiat Darren. "Tapi ....""Bu, aku mohon. Aku benar-benar butuh kesiapan untuk bertemu dengan Pak Darren. Rasanya ini butuh kesiapan mental."Padahal pernikahan ini sandiwara saja, tetapi tern
Danita menautkan kedua alisnya, bingung karena tak menyangka kalau Aluna malah pulang ke rumah ibunya. Rasa takut pun tiba-tiba saja menyergap. Mungkinkah Aluna mengadukan perbuatan Darren kepada ibunya? Kalau benar, mungkin saja Danita akan kehilangan menantu baiknya ini. "Kenapa kamu pulang ke rumah ibumu? Apakah terjadi sesuatu di sana?" tanya Danita, berusaha untuk tenang.Dia tidak boleh membuat Aluna panik, bisa-bisa Danita benar-benar akan kehilangan menantu cantiknya ini. Aluna menggelengkan kepala dengan perasaan campur aduk. Dia tidak mungkin berbicara sejujurnya tentang hubungan yang terjadi antara Darren. Jadi, gadis itu pun berusaha dengan cepat mencari jawaban yang terbaik untuk sang mertua. "Jad, begini, Bu. Aku hanya kangen saja sama Ibu. Soalnya kan selama ini aku tinggal sama Ibu berdua. Aku takut kalau Ibu kesepian, jadi sengaja mampir dulu ke sana. Tahunya malah ketiduran. Maaf ya, Bu," papar Aluna, berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Walaupun itu kebohongan,
Dalam perjalanan ke arah kamar, Darren sebenarnya gengsi untuk meminta maaf kepada Aluna perihal ini. Tetapi mengingat perkataan ibunya, memang ada benarnya. Kalau misalkan Aluna sampai meninggalkan atau terjadi sesuatu yang buruk kepada Aluna, maka dia sendiri yang akan repot. Apalagi jika gadis itu menjauh, mungkin semua rencana yang akan dia lakukan berakhir sia-sia. Jadi, sang pria pun memilih untuk pergi saja dan meminta maaf kepada Aluna. Saat pintu kamar dibuka, Aluna terkesiap. Kala itu sang gadis sedang duduk di kamar, menunggu panggilan untuk makan malam. Dia tidak berani turun sebab masih malu perihal tadi. Aluna tampak ketakutan mendapati Darren sudah ada di kamar. Pria itu masih berdiri di sana. Lalu, tak lama kemudian menutup pintu. Darren berjalan pelan mendekat kepada Aluna, membuat jantung wanita itu bergetar dengan sangat kencang. Takut kalau sang pria marah-marah kepadanya sebab kejadian hari ini. Lalu, tak lama kemudian, dia mendapati sepatu sang pria sudah ada d
"Maaf, Bu. Aku izin ke toilet sebentar," ucap Aluna memilih untuk pergi dari sana.Rasanya air matanya akan kembali menetes jika mendengar perkataan Darren. Harusnya pria itu belajar dari kesalahannya tadi, tapi malah kembali mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya. Kepergian Aluna membuat Danita kesal. Dia menggeram. Lalu, mendekat kepada Darren. "Bisakah kamu tidak mengatakan hal-hal yang buat istrimu tersinggung?" "Hah, memang aku salah apa?" "Dasar pria tua! Kamu itu memang benar-benar harus belajar bagaimana memahami perasaan wanita, ya?!" seru Danita, membuat Darren melotot. Setelah beberapa bulan lamanya, akhirnya sebutan pria tua itu kembali menempel kepadanya. Padahal biasanya Aluna yang mengatakan itu, tetapi sekarang ibunya ikut-ikutan mengatainya. "Ibu, apaan sih?! Kenapa mengatai aku seperti itu?" "Memang benar, kan? Masih untung ada yang mau menikah denganmu, tapi kamu malah mengatakan hal seperti itu." "Emangnya aku salah apa?" "Jaga ucapanmu! Sudah bagus A
"Bagaimana kalau 500 juta?" ucap Darren dengan serius.Wajah tegas dengan rahang kokoh itu semakin memperjelas ekspresi yang tidak main-main. Walaupun saat ini usianya sudah 39 tahun, tapi Darren masih terlihat gagah dan tampan. Bahkan, banyak wanita yang mendambakan pria matang itu."Apa Bapak bilang? 500 juta? Bapak mau membeli saya, ya?" cetus Aluna, kesal.Bagaimana tidak? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, hampir semua karyawan sudah pulang. Tetapi, Aluna tertahan di sana karena ulah Darren--sang CEO--yang tidak lain bosnya sendiri.Darren terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu. Alis tebalnya saling bertautan. "Aku mau memberimu tawaran, bukan membeli kamu. Kalau kamu berpikiran begitu, silakan saja."Mata indah Aluna membulat sempurna. Bosnya itu dengan enteng melontarkan kalimat terakhir dengan mudah. Ekspresinya juga sangat meremehkan Aluna, dan sang gadis tidak suka."Saya anggap seperti itu. Bapak pikir saya wanita murahan? Lagian, apa Bapak gila menginginkan ha
"Loh, memang harus seperti itu. Kalau aku menikahi orang yang tergila-gila akan harta dan tergila-gila padaku, akan susah," terang Darren."Maksudnya bagaimana? Jangan membuat alasan, Pak." Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau Darren tidak langsung memberikan alasan jelas kepada Aluna."Kalau aku menikahi wanita yang gila harta, maka pasti dia akan mau melakukan berbagai cara untuk mengeruk hartaku."Aluna pun terdiam menyimak. Dia tidak berkomentar sama sekali. Kali ini, ia ingin mendengarkan semua alasan pria itu ingin menikahinya."Lalu, jika aku menikahi wanita yang menggilaiku, pasti sulit melepasnya.""Ck!" Aluna berdecak keras, melihat bosnya dengan tatapan datar. "Lalu, untuk apa menikah? Tidak usah menikah saja! Gitu aja kok, repot!" seru Aluna, gemas sendiri."Aku inginnya seperti itu, tapi sayangnya tidak dengan orang tuaku. Ibuku terus-terusan meminta menantu."Aluna terperangah. Wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, Darren malah kesal."Benarkah? Lucu sekali.
"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya."Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. "Bapak bercanda, kan?"Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya."Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. "Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." Erangan keluar dari mulut Darre