Bunga keluar dari mobil Haidan setelah mobilnya terparkir di tepi jalan, di depan rumah yang ditinggalkan Bunga dan Murni sejak menikah bersama Kafkha. Bunga tidak mau Haidan membawanya ke rumah pria itu, ia memilih untuk tinggal di rumahnya untuk meminimalisir kesalahan paham Kafkha maupun orang-orang.“Kamu yakin akan tinggal di sini?” tanya Haidan sambil mengikuti Bunga berjalan menuju rumah. “Iya. Terima kasih sudah membantuku,” ucap Bunga setelah membuka pintu rumah.“Kalau begitu, aku keluar dulu untuk membeli bahan makan,” ucap Haidan setelah berpikir sejenak. “Tidak perlu repot-repot. Aku bisa membelinya besok,” balas Bunga dan masuk ke dalam rumah, berdiri di pintu. Haidan paham dengan maksud Bunga berdiri di depan pintu. Pria itu pamit meskipun hati terasa berat meninggalkan wanita tersebut di sana sendirian. Bunga menutup pintu rumah, bersandar di sana dengan badan perlahan merendah dan duduk meringkuk dalam tangisan. Tidak ada tempat bersandar lagi baginya, ia merasa ke
Bunga masuk ke mobil Haidan dengan air mata menetes membasahi pipinya. Pandangannya ke depan, malu memperlihatkan rasa sedih. Haidan ikut sedih melihat kesedihan yang tergambar di wajah wanita yang duduk di sampingnya itu, sekaligus penasaran dengan situasi apa yang baru saja dihadapi Bunga sampai menangis. "Kafkha tidak menerima anak itu?" tanya Haida, mengemukakan dugaannya. "Tidak. Bisa kita kembali?" tanya Bunga, menatap Haidan setelah menghapus air mata di pipinya. Haidan menganggukkan kepala dan menstarter mobil, menyalakan mesin mobil, dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Bunga menangis dalam diam, perkataan Kafkha membius jiwanya dalam rasa sedih. Haidan tidak berani menegur ataupun bertanya, ia membiarkan Bunga sendiri yang akan menceritakannya. Setelah mobil berhenti di tepi jalan, di depan rumah, Bunga keluar dari mobil Haidan dengan wajah lesu. "Terima kasih," ucap Bunga dan lanjut berjalan menuju rumah. Haidan mematikan mesin mobil, ia mengi
Bunga mengemasi pakaian yang ada di lemari, memasukkannya ke dalam tas pakaian yang dibawa olehnya ke rumah itu setelah menikah. Jelita menahannya sejak tadi, tetapi Bunga tidak mau berhenti karena sudah membulat keputusan akan melepaskan dirinya dari hubungan pernikahan bersama Kafkha. "Jangan pergi, Nak ... Mama tau kamu tidak salah," bujuk Jelita."Ma, dia tidak mempercayaiku dan tidak pernah memiliki perasaan cinta padaku. Apa yang harus dipertahankan? Maafkan aku. Selagi bukan dia yang menahan ku, menginginkanku, aku tidak bisa tetap di sini dan bertahan dalam hubungan kami," jelas Bunga dan lanjut berkemas. Jelita berdiri dari jongkok nya, ia menghubungi Kafkha, menyuruh pria itu kembali ke rumah untuk menahan Bunga agar tidak pergi dari rumah itu. "Untuk apa menahannya? Kalau begitu, aku akan kembali untuk mengantar kepergiannya," ucap Kafkha dan memutuskan sambungan telepon. Kafkha berdiri, bergegas meninggalkan ruangannya setelah meruntuhkan sikap tenang yang ada saat berb
Kafkha bergegas meninggalkan rumah sakit. Danar yang berpapasan di lobi rumah sakit mengikutinya tanpa sepengetahuan pria itu. Setelah mendapatkan berita mengenai kepergian Bunga dari Jelita, Kafkha bergegas ke rumah itu. Rasa tidak rela yang disembunyikannya terkuak dari caranya merespons berita itu. Ia baru sadar tidak bisa kehilangan Bunga dalam hidupnya.Setelah mobil berhenti di tepi jalan, di depan rumah Bunga, Kafkha berlari masuk ke pekarangan rumah, menghampiri Jelita dan Willa yang sudah berada di teras rumah dalam kecemasan. “Di ke mana, Ma?” tanya Kafkha. “Setelah dia pergi, baru kamu bertanya di ke mana? Berapa kali Mama jelaskan kepada mu sebelumnya? Kamu masih ingin melepaskan kepergiannya? Kamu menyesal karena tidak melihat dia pergi?” Jelita melayangkan banyak pertanyaan kepada anaknya itu dengan sorot mata teramat marah. “Brengsek!”Hadian datang dan langsung memukuli Kafkha.“Apa yang kamu katakan padanya sampai dia pergi? Tidak cukup dia meninggalkan rumahmu?” “
Dua Tahun Kemudian ....Kafkha dalam kondisi lemah, wajah pucat dan batuk dan berkesudahan terdengar dari kamar yang gelap. Padahal, saat itu masih siang, cuaca cerah. Cahaya tidak terlalu terang karena gorden menutupi jendela kaca, menghadang cahaya matahari masuk di siang hari. Di atas pangkuannya ada laptop, ia mengetikkan jari jemari di atas keyboard laptop, melanjutkan tulisan Bunga yang terbengkalai setelah belajar kepenulisan satu bulan terakhir. 'Semua menghilang, ego yang tinggi dan ketidakpastian hati melepaskan segalanya. Benar, penyesalan itu berada diakhir, dan kehilangan itu terasa setelah dirinya pergi. Ketika dirinya masuk dalam hidup yang mati ini, ada senyuman dan rasa bahagia yang berbeda. Setelah dirinya pergi, semua kembali mati, bahkan lebih dari itu. Karakter utama pria ingin bertemu karakter utama wanitanya, ia menuliskan takdir di mana mereka bisa kembali lagi, memulai semuanya dari awal.'Semua itu ditulis Kafkha di akhir bab yang ditulisnya. Sebelumnya ia m
Bunga terdiam kaku di pintu dapur dengan badan membelakangi Kafkha, perlahan ia memutar badan ke belakag, tersenyum cengengesan. “Saya pernah ke sini dulu. Kebetulan Ibuk yang tinggal di sini pernah mempersilakan saya ke kamar mandi yang ada di dapur ini. Tapi, itu sudah lama, sekitar dua tahun lalu. Ibuk itu di mana? Kelihatannya rumah sunyi,” kata Bunga, menyebut Jelita. “Dia … dia sudah pindah. Kalau begitu kamu bisa lanjut ke kamar mandi,” kata Kafkha dan beralih duduk di sofa, menunggu Bunga yang disangka kurir itu keluar dari rumahnya. Selagi menunggu, Kafkha membuka kotak berukuran sedang yang dibawa oleh Bunga. Ia menemukan beberapa obat demam, seperti sakit kepala dan berhubungan dengan pencernaan dengan mereka biasa yang digunakan olehnya. Kafkha menggeledah isi kotak itu, merasa Bunga orang yang mengirim itu karena tahu dengan obat-obatnya. Kafkha berdiri, berjalan menuju dapur. Kakinya berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi, menunggu Bunga di sana. Badannya
“Bodoh. Mengapa aku tidak berpikir kalau dia seorang dokter. Keberadaannya di rumah sakit bukan hanya karena sakit, tapi karena profesinya,” celoteh Bunga sambil berjalan menuju ruangan dokter yang menangani Raisa tadi. Setelah mendapatkan ponselnya, Bunga menghubungi Haidan, menyuruh pria itu tidak menunggunya dengan alasan ingin menemui seseorang. “Kamu mau bertemu siapa?” tanya Haidan. “Teman.”“Teman mana lagi?”“Hmm … Willa. Sepertinya aku harus bertemu dengannya. Tidak enak tidak memberitahunya kalau aku ada di sini. Kalau begitu, udah dulu,” kata Bunga dan memutuskan sambungan telepon. “Aku pikir bertemu Kafkha. Baguslah,” kata Haidan dan menyalakan mobil, mengemudikan mobil meninggalkan rumah sakit itu. Mereka sama-sama lupa dengan tas yang ada di mobil itu. Haidan lupa kalau tas Bunga yang berisikan dompet dan uang cash ada di mobilnya, di sampingnya. Begitu juga dengan Bunga, ia lupa tasnya ada di mobil pria itu karena fokusnya pada Kafkha. Hampir satu jam Bunga menung
Bunga menoleh ke belakang, menatap Kafkha yang memasang wajah datar. Ia salah paham karena tas belanjaan di tangan wanita itu, membuatnya berpikir kalau Kafkha memiliki hubungan baik dengan wanita itu hingga dengan santainya wanita itu membawa belanjaan ke sana, terlihat seakan sudah sering. Bunga melanjutkan kaki berjalan keluar dari rumah itu, mengabaikan Risa. Kafkha mengejarnya.“Dokter,” panggil Risa.Kafkha mengabaikan keberadaan Risa, mengutamakan Bunga, menghadang wanita itu agar tidak pergi. Gerbang rumah ditutup Kafkha, dikunci dan memegang kedua bahu Bunga. “Jangan tinggalkan aku. Semua sudah pergi, Mama juga pergi. Aku mohon …,” ucap Kafkha dengan wajah memelas. “Apa perlu aku bersujud? Baik, akan aku lakukan,” kata Kafkha dan bertekuk lutut di hadapan Bunga. “Kamu apa-apaan? Jangan membuatku semakin kesal,” ucap Bunga sambil melangkah mundur. Tingkah Kafkha disaksikan Risa. “Aku bilang sekali lagi, kita tidak bisa bersama lagi. Terima kenyataannya.”“Kenapa?” tanya K