Kafkha merasakan sesuatu menimpa dadanya, ia membuka mata dan melihat kepala Bunga berada di dadanya. Sekejap ia memperhatikan wajah wanita itu sambil mengingat kejadian semalam. Perasaannya jadi merasa bersalah karena sengaja ingin menyakiti hati Bunga dan membuat wanita itu pergi darinya. Kafkha menarik handuk yang ada di dahinya dan meletakkannya ke baskom. Lalu, ia mengangkat kepala Bunga dan bangkit dari kasur. Kafkha beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Ketika air yang jatuh dari shower membasahi tubuhnya, Kafkha mengingat perkataan Sarah dan Danar. Lalu, ia juga mengingat bagaimana kepedulian Bunga padanya meskipun ia sudah bersikap buruk pada istrinya itu. Kafkha kesal sendiri pada dirinya karena tidak bisa membuka hati untuk seorang Bunga yang jelas-jelas wanita baik-baik. Kafkha menyudahi mandinya, ia mengambil handuk dan melilitkannya ke bagian bawah tubuhnya. Setelah itu, Kafkha keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekati tubuh Bunga yang masih t
"Kamu masih tidak mengerti? Mungkin kita akan menimang cucu dalam waktu dekat," kata Jelita sambil memainkan mata. Murni tersenyum dan merasa malu sendiri setelah mengerti maksud perkataan Jelita.Beralih dari kedua wanita paruh baya itu, di kamar, Bunga keluar dalam balutan handuk kimono berwarna putih dan dalam keadaan rambut basah. Bunga berjalan mendekati Kafkha yang sedang menggendong Raisa, pria itu berdiri di balkon teras kamar, mereka sedang menikmati cahaya matahari pagi. Langkah sandal Bunga terdengar di telinga Kafkha, pria itu memutar tubuh dan tersenyum."Dia mencintaiku. Aku tidak boleh mengecewakannya," kata Kafkha dalam hati masih dengan senyuman yang terus bersemi di wajahnya."Kali ini aku berjanji akan mengajak kalian makan malam. Kejadian semalam benar-benar ku sesali, aku minta maaf," ucap Kafkha, menunjukkan raut wajah merasah bersalah."Lupakan. Tapi, jika kamu masih berbohong, Raisa tidak akan memaafkanmu kali ini. Iya kan sayang …." Bunga mengambil Raisa dari
Tubuh Bunga duduk di atas tempat tidur yang ada di ruangan kerja Kafkha. Kakinya memanjang ke depan dengan punggung bersandar ke kepala tempat tidur, kedua matanya tertutup dalam pikiran yang ditenangkan setelah mengikuti arahan Zuni yang mencoba membuatnya lebih rileks. Kejadian malam itu, saat dirinya hampir dinodai kembali teringat. 1 Tahun Lalu ….Obat yang seharusnya diminum untuk malam habis. Bunga terpaksa keluar rumah setelah makan malam untuk membelinya di apotek. Obat sesuai resep dokter rumah sakit dibeli di apotek yang berada sedikit jauh dari rumah karena di sana lengkap. Ketika itu cuaca hari tidak baik, dalam keadaan gerimis hujan. Setelah membeli beberapa jenis obat, Bunga meninggalkan apotek itu dan berjalan ke tepi jalan raya untuk menemukan transportasi yang bisa mengantar kembali ke rumah. Sebelumnya ia menaiki ojek online. Matanya menatap layar ponsel yang menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, matanya beralih Sebuah mobil berhenti melaju di sisi kanannya deng
Kafkha dan Bunga berjalan beriringan di lobi rumah sakit. Beberapa mata tertuju ke arah mereka, membuat para wanita yang tahu akan Kafkha merasa iri kepada Bunga yang bisa dinikahi oleh dokter tampan itu. Langkah kaki Danar melambat setelah memasuki pintu rumah sakit dan melihat mereka, raut wajahnya berubah dingin dan lanjut berjalan melewati keberadaan mereka. Sikap dingin Danar membuat Bunga merasa bersalah. Kakinya berhenti melangkah di depan pintu, sedangkan Kafkha masih terus berjalan karena tidak sadar. Kesadarannya muncul setelah mendengar tidak ada langkah kaki yang mengikutinya. Kafkha berhenti berjalan setelah berada di halaman rumah sakit, ia menoleh ke belakang dan tidak melihat Bunga di belakangnya. Bahkan, di depan pintu rumah sakit. "Ke mana dia?" Kafkha bingung. Pikirannya berlanjut tertuju pada Danar yang sempat berpapasan dengan mereka tadi. Kafkha kembali masuk ke dalam rumah sakit dan kakinya berjalan menuju ruangan Danar berada. "Maafkan aku. Tolong jangan se
Bunga perlahan menujukan mata menatap wajah Haidan. Lalu, pandangan beralih menatap Zuan, melihat raut wajah bingung pada kedua pria itu. Wajah bingung Haidan membuat Bunga ragu dengan rasa kagetnya, ia merasa salah orang. "Kakak kenapa?" tanya Zuan. "Iya? Apa ada yang salah? Kamu melihat hantu?" tanya Haidan, sedikit melucu. "Tidak. Maaf, jika sikapku membuat kalian bingung," ucap Bunga. Jelita keluar dari kamar sambil menggendong Raisa yang tertawa dalam kebahagiaan. Bunga tidak bisa menahan perasaan untuk menggendong anak itu karena geram. Ia mengambil Raisa dari gendongan Jelita dan memangkunya. Haidan dan Zuan memperhatikan anak itu, mereka ikut mengagah bocah itu. "Waktu itu kita pernah membuat kesepakatan kalau kakak akan mengajariku di taman pada hari Jum'at dan Sabtu sore. Jadi, kalau kita rubah tempatnya di rumahku, bagaimana?" tanya Zuan. Bunga menoleh ke kanan, mengarahkan pandangan kepada Jelita. Ia ingin melihat reaksi ibu mertuanya itu setelah mendengar permintaa
Bunga menggendong Raisa dari kamar mandi dan membaringkan di atas kasur, ia memasangkan pakaian anak itu setelah memandikannya. Mulutnya tidak berhenti berceloteh mengagah anak itu sampai tertawa. Suara Bunga membangunkan Kafkha. Pria itu perlahan membuka mata dan menangkap wujud Bunga yang terlihat seperti Marissa. Tidak kaget, Kafkha malah tersenyum dan menikmati situasi itu dengan perasaan yang mengatakan semua itu nyata. Bibirnya melengkung tersenyum lebar melihat adegan itu, rasanya seperti berada di puncak kebahagiaan. "Sudah bangun?" tanya Bunga, menoleh ke kiri, menatapnya. Senyuman di bibir Kafkha memudar. Seketika ia merasa bodoh karena dijajah oleh khayalan indah bersama Marissa. Hatinya merasa sedikit kesal kepada Marissa karena mimpi semalam, ia tidak suka wanita yang paling dicintainya itu menyuruh menjauh. Setelah memasangkan pakaian Raisa, Bunga menaruh anak itu ke keranjang bayi. Kemudian, ia mendekati Kafkha, duduk di samping pria itu dengan bibir tersenyum ringa
Bunga menunggu Kafkha mengambil obat di apotek rumah sakit karena Raisa rewel dalam gendongannya. Sesekali Bunga memperhatikan Kafkha yang tengah berinteraksi dengan perawat yang bertugas memberikan obat sambil memikirkan perkataan Jelita yang masih memenuhi benaknya dengan rasa penasaran. Kafkha menghampirinya sambil menenteng kantong obat dan mengajaknya keluar dari rumah sakit. "Tunggu. Aku ingin buang air kecil. Kamu bisa tunggu aku sebentar? Tolong pegang Raisa," kata Bunga sambil memberikan Raisa ke tangan Kafkha sebelum pria itu membalas perkataannya. Bunga bergegas menuju toilet yang dengan Kafkah yang memandangi kepergiannya. Tapi, setelah itu ia menyimpang menuju ruangan Sarah. Bunga mengetuk pintu ruangan dokter kandungan itu dan masuk setelah mendengar suara Sarah menyuruhnya masuk. Raut wajah Sarah berubah datar setelah melihat wujudnya. "Dokter. Apa ada sesuatu yang disuruh Mama untuk aku bawa? Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menyuruhku menemui dokter," kata Bu
Bunga kembali ke kamar dalam suasana hati tegang karena Kafkha masih salah paham padanya. Kakinya berhenti di pintu kamar setelah melihat suaminya itu duduk di tepi kasur sambil melepaskan atasannya. Bunga mendekatinya dan membantunya, tapi Kafkha menolak bantunya. "Kamu marah?" tanya Bunga, sedikit takut."Marah? Untuk apa? Itu keputusan yang bagus. Anakku hanya Raisa, tidak ada yang lain. Selain itu, jangan berharap aku akan menyentuhmu. Kejadian di malam pernikahan hanya sebuah kecelakaan, itu tidak aku inginkan," kata Kafkha, berbicara dingin. "Aku tahu. Maaf," ucap Bunga, kecewa. "Bagus kalau kamu tahu. Jangan berusaha untuk menempatkan dirimu di hidupku karena itu tidak akan bisa terwujud," lanjut Kafkha. "Kalau begitu, kita batalkan saja tiket itu. Bukannya aku marah, aku paham dengan perasaanmu karena aku tahu kamu mencintai Marissa melebihi dirimu sendiri." Bunga berusaha tenang saat berbicara dan menunjukkan senyuman simpul. "Jika kamu ingin membuat Mama pusing memikirk