Tubuh Bunga duduk di atas tempat tidur yang ada di ruangan kerja Kafkha. Kakinya memanjang ke depan dengan punggung bersandar ke kepala tempat tidur, kedua matanya tertutup dalam pikiran yang ditenangkan setelah mengikuti arahan Zuni yang mencoba membuatnya lebih rileks. Kejadian malam itu, saat dirinya hampir dinodai kembali teringat. 1 Tahun Lalu ….Obat yang seharusnya diminum untuk malam habis. Bunga terpaksa keluar rumah setelah makan malam untuk membelinya di apotek. Obat sesuai resep dokter rumah sakit dibeli di apotek yang berada sedikit jauh dari rumah karena di sana lengkap. Ketika itu cuaca hari tidak baik, dalam keadaan gerimis hujan. Setelah membeli beberapa jenis obat, Bunga meninggalkan apotek itu dan berjalan ke tepi jalan raya untuk menemukan transportasi yang bisa mengantar kembali ke rumah. Sebelumnya ia menaiki ojek online. Matanya menatap layar ponsel yang menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, matanya beralih Sebuah mobil berhenti melaju di sisi kanannya deng
Kafkha dan Bunga berjalan beriringan di lobi rumah sakit. Beberapa mata tertuju ke arah mereka, membuat para wanita yang tahu akan Kafkha merasa iri kepada Bunga yang bisa dinikahi oleh dokter tampan itu. Langkah kaki Danar melambat setelah memasuki pintu rumah sakit dan melihat mereka, raut wajahnya berubah dingin dan lanjut berjalan melewati keberadaan mereka. Sikap dingin Danar membuat Bunga merasa bersalah. Kakinya berhenti melangkah di depan pintu, sedangkan Kafkha masih terus berjalan karena tidak sadar. Kesadarannya muncul setelah mendengar tidak ada langkah kaki yang mengikutinya. Kafkha berhenti berjalan setelah berada di halaman rumah sakit, ia menoleh ke belakang dan tidak melihat Bunga di belakangnya. Bahkan, di depan pintu rumah sakit. "Ke mana dia?" Kafkha bingung. Pikirannya berlanjut tertuju pada Danar yang sempat berpapasan dengan mereka tadi. Kafkha kembali masuk ke dalam rumah sakit dan kakinya berjalan menuju ruangan Danar berada. "Maafkan aku. Tolong jangan se
Bunga perlahan menujukan mata menatap wajah Haidan. Lalu, pandangan beralih menatap Zuan, melihat raut wajah bingung pada kedua pria itu. Wajah bingung Haidan membuat Bunga ragu dengan rasa kagetnya, ia merasa salah orang. "Kakak kenapa?" tanya Zuan. "Iya? Apa ada yang salah? Kamu melihat hantu?" tanya Haidan, sedikit melucu. "Tidak. Maaf, jika sikapku membuat kalian bingung," ucap Bunga. Jelita keluar dari kamar sambil menggendong Raisa yang tertawa dalam kebahagiaan. Bunga tidak bisa menahan perasaan untuk menggendong anak itu karena geram. Ia mengambil Raisa dari gendongan Jelita dan memangkunya. Haidan dan Zuan memperhatikan anak itu, mereka ikut mengagah bocah itu. "Waktu itu kita pernah membuat kesepakatan kalau kakak akan mengajariku di taman pada hari Jum'at dan Sabtu sore. Jadi, kalau kita rubah tempatnya di rumahku, bagaimana?" tanya Zuan. Bunga menoleh ke kanan, mengarahkan pandangan kepada Jelita. Ia ingin melihat reaksi ibu mertuanya itu setelah mendengar permintaa
Bunga menggendong Raisa dari kamar mandi dan membaringkan di atas kasur, ia memasangkan pakaian anak itu setelah memandikannya. Mulutnya tidak berhenti berceloteh mengagah anak itu sampai tertawa. Suara Bunga membangunkan Kafkha. Pria itu perlahan membuka mata dan menangkap wujud Bunga yang terlihat seperti Marissa. Tidak kaget, Kafkha malah tersenyum dan menikmati situasi itu dengan perasaan yang mengatakan semua itu nyata. Bibirnya melengkung tersenyum lebar melihat adegan itu, rasanya seperti berada di puncak kebahagiaan. "Sudah bangun?" tanya Bunga, menoleh ke kiri, menatapnya. Senyuman di bibir Kafkha memudar. Seketika ia merasa bodoh karena dijajah oleh khayalan indah bersama Marissa. Hatinya merasa sedikit kesal kepada Marissa karena mimpi semalam, ia tidak suka wanita yang paling dicintainya itu menyuruh menjauh. Setelah memasangkan pakaian Raisa, Bunga menaruh anak itu ke keranjang bayi. Kemudian, ia mendekati Kafkha, duduk di samping pria itu dengan bibir tersenyum ringa
Bunga menunggu Kafkha mengambil obat di apotek rumah sakit karena Raisa rewel dalam gendongannya. Sesekali Bunga memperhatikan Kafkha yang tengah berinteraksi dengan perawat yang bertugas memberikan obat sambil memikirkan perkataan Jelita yang masih memenuhi benaknya dengan rasa penasaran. Kafkha menghampirinya sambil menenteng kantong obat dan mengajaknya keluar dari rumah sakit. "Tunggu. Aku ingin buang air kecil. Kamu bisa tunggu aku sebentar? Tolong pegang Raisa," kata Bunga sambil memberikan Raisa ke tangan Kafkha sebelum pria itu membalas perkataannya. Bunga bergegas menuju toilet yang dengan Kafkah yang memandangi kepergiannya. Tapi, setelah itu ia menyimpang menuju ruangan Sarah. Bunga mengetuk pintu ruangan dokter kandungan itu dan masuk setelah mendengar suara Sarah menyuruhnya masuk. Raut wajah Sarah berubah datar setelah melihat wujudnya. "Dokter. Apa ada sesuatu yang disuruh Mama untuk aku bawa? Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia menyuruhku menemui dokter," kata Bu
Bunga kembali ke kamar dalam suasana hati tegang karena Kafkha masih salah paham padanya. Kakinya berhenti di pintu kamar setelah melihat suaminya itu duduk di tepi kasur sambil melepaskan atasannya. Bunga mendekatinya dan membantunya, tapi Kafkha menolak bantunya. "Kamu marah?" tanya Bunga, sedikit takut."Marah? Untuk apa? Itu keputusan yang bagus. Anakku hanya Raisa, tidak ada yang lain. Selain itu, jangan berharap aku akan menyentuhmu. Kejadian di malam pernikahan hanya sebuah kecelakaan, itu tidak aku inginkan," kata Kafkha, berbicara dingin. "Aku tahu. Maaf," ucap Bunga, kecewa. "Bagus kalau kamu tahu. Jangan berusaha untuk menempatkan dirimu di hidupku karena itu tidak akan bisa terwujud," lanjut Kafkha. "Kalau begitu, kita batalkan saja tiket itu. Bukannya aku marah, aku paham dengan perasaanmu karena aku tahu kamu mencintai Marissa melebihi dirimu sendiri." Bunga berusaha tenang saat berbicara dan menunjukkan senyuman simpul. "Jika kamu ingin membuat Mama pusing memikirk
Pria yang mengejar Bunga berhasil mencegatnya berlari. Pria itu memeluknya dari belakang dan perlahan mengendus lehernya.Bunga menyikut perut pria itu dan mendorongnya sampai terjatuh. Bunga kembali berlari dan ikut terjatuh setelah kaki kirinya tidak sengaja menyandung kaki kanannya. Pria itu tertawa ringan dan merangkak mendekatinya. Lalu, menarik kakinya dan membaringkannya dengan niat yang masih sama, ingin menodainya. Bunga mengarahkan mata kepada dua orang yang duduk tidak jauh dari posisi mereka dengan bibir ingin berucap minta tolong. Tapi, pria itu membekap mulutnya sebelum kalimat minta tolong itu keluar. Dua orang itu tidak sadar dengan situasi yang dialami Bunga, mereka mengira mereka sepasang kekasih yang sedang bercanda. Pada akhirnya, mereka meninggalkan tempat itu yang membuat Bunga memupuskan harapan untuk mendapatkan pertolongan."Siapa yang akan membantumu? Mereka sudah pergi. Kamu ingin meminta bantuan suamimu? Dia tidak akan datang karena saat ini dia sedang ber
Suasana canggung mengisi kamar. Mereka masih dengan posisi seperti sebelumnya, di mana Bunga berada di bawah dan kedua tangan Kafkha mengurung tubuhnya, mengungkung tubuh kecil Bunga yang berbaring dengan salah tingkah sampai tidak sanggup menatap wajah pria yang ada di atasnya itu. Kafkha menghela napas dalam dan panjang. Setelah itu, secara pelan bibirnya semakin menurun ke arah wajah Bunga sampai mendarat di dahi wanita itu. Kelembutan yang ditunjukkan ikut dirasakan Bunga. Pria itu beralih mengecup kedua matanya, hidung, kedua pipi, dan berakhir di bibirnya. Tangan Kafkha secara pelan menarik selimut dan menutupi tubuh mereka sampai yang tersisa hanya kepala mereka. Satu demi satu pakaian yang menempel di tubuh mereka keluar dari tepi selimut dan jatuh ke lantai. "Kamu takut?" tanya Kafkha setelah melihat Bunga memejamkan mata dengan dahi mengernyit. "Hanya gugup," balas Bunga, tersenyum ringan."Jika kamu gugup, tutup saja matamu. Kalau sakit, bilang, aku akan lebih lembut la