Kafkha menurunkan Bunga setelah mereka sampai di depan pintu kamar hotel. Raut wajahnya masih sama, dingin. Pria itu berjalan masuk setelah pintu dibuka dan duduk di sofa di mana ada beberapa menu makanan tersaji di dalam kotak makanan. "Ganti pakaianmu dan duduk. Kali ini dengarkan aku," kaya Kafkha sambil memainkan ponsel.Bunga menganggukkan kepala meskipun Kafkha tidak menatapnya. Ia mendekati koper dan mengambil pakaiannya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak tangannya berhenti mengenakan pakaian saat mengingat pria bertopeng itu, jiwanya dilanda ketakutan dan menjongkok sambil menutup wajah."Tidak. Jangan dekati aku!" teriaknya, histeris seperti orang gila. Kafkha meletakkan ponsel di atas meja dan berlari masuk ke kamar mandi. Ia membantu Bunga berdiri dan membetulkan pakaian istri. Setelah, itu ia mengajaknya dengan rangkulan bahu keluar dari kamar mandi. "Tenang. Tidak akan ada yang menyakitimu. Aku di sini." Kafkha memeluknya dengan erat dan sesekali mengecup
Kafkha memasuki kamar setelah berbicara bersama Haidan. Raut wajahnya menunjukkan kelesuan, tidak ada rasa senang. Bunga meletakkan majalah yang ada di tangannya ke atas meja sambil membetulkan posisi duduk yang tadi bersandar ke bantal yang tersandar ke kepala kasur. "Kenapa?" tanya Bunga setelah Kafkha duduk di sampingnya. "Tidak ada. Hmm ... malam ini ada pesta kecil-kecilan di tepi pantai. Kamu mau ikut?" tanya Kafkha, tersenyum."Boleh. Tapi ...." Keberadaan pria bertopeng yang diwaspadai membuatnya takut kejadian malam itu akan terulang lagi."Tenang saja, pria itu tidak akan datang," ucap Kafkha, sadar akan hal yang dipikirkan istrinya itu. Bunga tersenyum dan menganggukkan kepala, setuju dan penuh keyakinan tidak akan terjadi sesuatu padanya nanti. Kafkha memeluknya dan bibir yang tersenyum memudar, menunjukkan rasa sedih berbalut keraguan akan rencana yang sudah dibuatnya. Sikap itu membuat Bunga bingung, tidak biasanya pria itu bersikap begitu dekat tanpa ada alasan. "Ki
Kafkha berjalan pelan mendekati Bunga yang sedang berusaha menarik resleting gaun merah muda yang terpasang di tubuhnya. Pria itu dengan romantis menarik resleting itu dan mendaratkan dagu di atas pundak kiri Bunga dengan pandangan mengarah ke cermin yang ada di hadapan mereka. "Kamu cantik. Kamu tahu, gaun seperti ini dan warna merah muda menjadi favoritku. Setiap kali Marissa memakainya, aku selalu memujinya. Kamu cantik sepertinya," puji Kafkha. Pujian itu membuatnya bahagia, meskipun ada sedikit usikan karena menyamakan dirinya dan Marissa. Bunga mengabaikan usikan itu setelah merasa kondisi hubungannya dan Kafkha jauh lebih baik dari sebelumnya, ia bisa merasakan kehangatan tulus pria itu.Ponselnya Kafkha berdering. Ia merogoh alat komunikasi itu dari saku celananya sambil membetulkan posisi tubuh berdiri tegak. Haidan menghubunginya, menyuruhnya segera datang ke tempat acara dan melangsungkan rencana mereka. "Bunga. Tunggu aku di sini. Aku ingin bertemu seseorang dulu di bawa
Kafkha dan Bunga berdiri di antara beberapa tubuh berpasangan yang menari di atas karpet yang terbentang di atas pasir di tepi pantai. Di tangan mereka ada segelas minuman berwarna merah dan sedang berbicara bersama dua pasang suami-istri dalam balutan pakaian jas dan memakai gaun. "Dokter Kafkha, kita benar-benar sudah lama tidak bertemu. Terakhir bertemu empat tahun lalu, bukan begitu?" tanya Raden, seorang pria seusia mereka yang memiliki profesi sama seperti Kafkha, yaitu seorang dokter. "Iya. Di acara peresmian rumah sakit mu. Sekarang bagaimana?" tanya Kafkha. "Semakin berkembang. Fasilitasnya juga mulai lengkap. Lain kali bisa berkunjung. Jika tidak, ikut bergabung bersamaku juga tidak apa-apa," kata Raden dengan sedikit candaan yang menarik tawa mereka. Bunga hanya diam dan tersenyum mendengar mereka berlelucon sejak tadi. "Itu kenapa dokter? Jangan bilang salah pentok saat bermain tengah malam," goda Siska, istri Raden sedang menjadikan luka di dahi Kafkha sebagai topik b
Beberapa kali Kafkha menghubungi nomor Bunga, tetapi sambungan teleponnya tidak berjawab. Nomor istrinya itu aktif, tetapi tidak dijawab. Kafkha memaklumi Bunga tidak menjawab sambungan teleponnya, yang padahal ponsel wanita itu berada di hotel saat ini. Lalu, di mana Bunga? Wanita itu sedang berada di taksi yang akan mengantarnya ke bandara. Dugaan Kafkha benar. Bunga memutuskan akan kembali ke Jakarta. Tangisnya di dalam taksi itu pecah, ingatannya masih membayangi Kafkha bersama Sarah dan merekam jelas perkataan suaminya itu kala itu. "Aku pikir semuanya akan membaik. Tidak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk meluluhkan hatinya dan bisa menempatkan diriku di hatinya. Tapi, ternyata semua itu hanya sekedar dugaanku saja. Dasar, aku terlalu berharap sampai membuat imajinasi sendiri," kata Bunga, tersenyum dalam tangisannya.Sebelum Bunga sampai di Bandara, Kafkha lebih dulu sampai di sana. Kakinya melangkah ke beberapa sisi bandara dengan mata mencari-cari wujud Bunga. Ia bertanya
Bunga menggeliatkan tubuh setelah bangun dari tidurnya. Tangan Kafkha memeluk tubuhnya dari samping, membuatnya diam tertegun dan menoleh kaku menatap wajah pria itu. Bibirnya tersenyum ringan mengingat hubungan mereka semalam, itu tiga kali mereka berhubungan sejak menikah. Bunga memainkan jari telunjuknya di hidung Kafkha, membuat pria itu terbangun dari tidurnya dan menatapnya dengan raut wajah datar dan melayangkan senyuman simpul. "Kamu sudah bangun?" tanya Bunga dan memalingkan wajah karena salah tingkah."Em. Bangunlah dan bersiap-siap, kita akan menaiki kapal untuk melihat-lihat keindahan laut," kata Kafkha sambil duduk dan berjalan ke kamar mandi. "Iya," balas Bunga, singkat dengan anggukan kecil.Ketika akan melangkah memasuki kamar mandi, suara ketukan pintu mematikan langkahnya. Bunga bergegas memakai mengambil handuk kimono di lemari dan memakainya, barulah ia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Seorang Sarah berdiri di depan pintu kamar itu. Melihat wajahnya memb
Satu tendangan menjatuhkan pria yang hendak meniduri Bunga. Tubuh pria bejat itu terdorong ke meja sampai menjatuhkan lampu meja ke lantai dan membuat Bunga tersadar dari pingsannya. Situasi itu sekejap membuatnya kaget dan bingung, ia kembali mengingat kejadian sebelumnya di mana ada seseorang yang menabraknya dan membekap mulutnya dengan kain."Haidan," lirih Bunga saat menyadari pria yang menendang pria bejat itu adalah temannya. "Kamu baik-baik saja? Dasar pria bejat," cercah Haidan dan berlari menghampiri Bunga setelah memukuli pria itu.Haidan membantu Bunga bangkit dari kasur, ia mengambil tas di atas meja dan merangkul pinggang wanita itu, mengajaknya keluar dari kamar tersebut. "Apa pria itu ingin …." Bunga sengaja menggantungkan perkataannya setelah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke lobi."Jangan pikirkan itu. Sekarang kita temui keamanan hotel untuk menangkapnya sebelum keluar dari hotel ini," kata Haidan dengan napas masih terengah-engah.Setelah keluar da
Bunga kedinginan hebat karena cuaca yang tidak kondusif, kedua tangannya mencengkram erat dalam pelukan Kafkha yang cemas melihat kondisinya. Wanita tua pemilik rumah itu membawakan secangkir air panas kepada Kafkha untuk diberikan kepada sang istri."Pakaikan ini padanya," kata wanita tua itu sambil menyodorkan selimut tebal. "Dia demam. Tubuhnya juga berkeringat dingin," kata wanita paruh baya yang tadi sempat berbicara bersama Bunga di kapal."Kamu baik-baik saja? Bunga …," panggil Kafkha kepada sang istri yang tampak separuh tidak sadar. Hari sudah malam. Di rumah itu hanya diterangi oleh tiga lampu strongking yang tergantung di beberapa sudut rumah. "Mama …," Bunga meringis dalam kesadaran yang mulai menghilang."Mama baik-baik saja," ucap Kafkha dan memeluknya erat dalam pangkuannya dan mengecup dahi istri itu. Wanita tua pemilik rumah itu mengaplikasikan kebolehannya menangani Bunga dengan membuatkan minuman obat tradisional yang bisa meredakan demam. Obat yang pasti terasa