Risa bergegas meninggalkan rumah sakit dalam kecamuk rasa khawatir dan ketakutan yang memburu jiwanya. Kakinya berjalan di tepi jalan sambil memegang kalung yang diberikan Kafkha semalam sambil berpikir sesuatu di benaknya dengan sorot mata tidak tenang. “Jangan sampai semua yang aku lakukan sia-sia. Apa yang harus aku lakukan?” Risa berpikir keras. Ponsel berdering dari tas yang ada di jinjingan tangannya, ia mengeluarkan ponsel itu dari sana dan melihat Kafkha adalah orang yang sedang menghubunginya. Ketakutannya bertambah, ia memasukkan ponselnya kembali ke tas dan melayangkan mata ke sekitaran mencari taksi. Ia melambaikan tangan ke arah taksi yang akan melewati keberadaannya. Di perjalanan pulang, Risa masih tidak tidak. Ia berpikir keras mencari cara untuk bisa mengembalikan situasi seperti semula. Tetapi, ia tidak memiliki cara yang ampuh, kecuali lari. Setelah sampai di rumah, Risa bergegas masuk ke dalam rumah itu dengan gelagat cepatnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jel
Sarah ikut berada dalam kekhawatiran karena rahasia Risa palsu itu sudah terbongkar dan dalam pengejaran polisi. Ia mengemudikan mobil mencari wujud Risa di sepanjang jalan sejak dari rumah Kafkha, ketika ia mengintip dari kejauhan. “Di mana Stella?” Mata Sarah mencari-cari di sekitaran jalan. Wujud Stella terlihat sedang bertengkar dengan seorang pria di tepi jalan. Mereka saling tarik-menarik tas jinjing yang ada di tangan Stella. Pria itu adalah Lintang, yang tidak diketahui Sarah merupakan kekasih Stella, Risa palsu itu. “Lepas! Dasar pengkhianat! Bisa-bisanya kamu bersekongkol bersama mereka,” kata Stella dengan wajah marah.“Kamu yang lebih dulu berkhianat padaku. Kamu mau meninggalkanku demi dokter tampan itu setelah berusaha membunuhku. Sekarang, kamu yang harus melepaskan tanganmu dari tas ini karena itu milikku sebagai kompensasi atas apa yang sudah kamu lakukan,” kata Lintang, tertawa ringan. Sarah keluar dari mobil setelah menepikan mobilnya, ia berjalan pelan dengan ma
Zuni diundang datang ke kediamannya oleh Kafkha karena mereka ingin membicarakan tentang kondisi mental Bunga. Sebelum itu, mereka duduk menikmati secangkir kopi dimalam yang dingin itu dengan Jelita yang ikut duduk bersama mereka dengan Raisa dalam gendongannya. Kafkha sudah menceritakan semua keanehan yang ditunjukkan Bunga, begitu juga dengan penjelasan yang diberikan Jelita. Saat itu tujuan mereka bukan ingin menghindari Hunga, tetapi ingin membuat wanita itu kembali membaik. “Mungkin saja. Meninggalkannya Ibunya saat itu cukup mengguncang mentalnya, ditambah lagi dengan trauma lamanya dengan pria itu. Kondisinya harus ditindak lanjuti sesegera mungkin agar tidak mencapai taraf di mana harus diasingkan ke rumah sakit jiwa,” kata Zuni. “Tidak, menantuku tidak gila,” bantah Jelita, salah memahami maksud tujuan Zuni berkata. “Saya tau Bu Jelita. Bisa dibilang, Bunga saat ini berada dalam depresi berat dan harus segera ditangani dengan benar. Kalau begitu, bisa saya bertemu dengann
Kafkha meninggalkan Raisa bersama Bunga di ruangannya, ia ingin menangani beberapa pasien di beberapa kamar yang di rumah sakit itu. Hatinya masih was-was meninggalkan Raisa bersama Bunga, tetapi ia berusaha percaya istrinya itu bisa menangani anak tersebut. Setelah Kafkha meninggalkan ruangannya, Sarah berjalan masuk, mengira Kafkha masih berada ruangan tersebut. “Bunga,” kata Sarah, mengurangi volume senyuman yang lebar.“Dokter Sarah,” kata Bunga dan mengalihkan mata ke tangan Sarah yang menenteng bekal makanan di mana di dalamnya terdapat kue buatan Sarah sendiri.“Ini, berikan ini kepada Kafkha. Dia suka dengan kue krim coklat,” kata Sarah sambil menaruh bekal makanan itu ke atas meja. Bunga menganggukkan kepala. Sarah mengajak Raisa yang ada di pangkuan Bunga berbicara. Ia mengambil anak itu dari gendongan ibu sambungnya dan menggendongnya beberapa saat. “Kamu sudah mendengar berita tentang Risa palsu itu? Dia sudah dimakamkan kemarin,” kata Sarah, berbicara dengan tersenyum
Berapa Jam Sebelumnya ....Bunga lupa membawa susu ke rumah sakit, ia memutuskan untuk membelinya di minimarket. Ia ke minimarket itu bersama Raisa yang berada di gendongannya dan saat itu Sarah memperhatikan kepergian mereka. Bunga mengingat jelas tanggal akhir kadaluwarsa susu itu sebelum membawanya ke kasir. Ketika tahu Bunga ingin membeli susu, terlintas dibenak Sarah untuk membuat Bunga disalahkan seperti kejadian sebelumnya di mana Raisa keracunan susu. Sarah mencari susu kadaluwarsa dengan merek yang sama dan menggantinya saat Bunga mengambil paket botol susu di luar rumah sakit. “Aku ingat jelas, susu itu tidak kadaluwarsa,” kata Bunga, masih mengelak. “Cukup! Jangan mengelak lagi,” bentak Kafkha. “Sudah. Semua orang memperhatikan kalian. Jangan begini,” kata Danar setelah menghampiri mereka. Danar menyuruh semua orang kembali ke aktivitas mereka. “Dasar gila!” cercah Kafkha dalam emosi.Kafkha ikut meninggalkan tempat itu dengan membawa Raisa dalam air mata yang terus m
Bunga keluar dari mobil Haidan setelah mobilnya terparkir di tepi jalan, di depan rumah yang ditinggalkan Bunga dan Murni sejak menikah bersama Kafkha. Bunga tidak mau Haidan membawanya ke rumah pria itu, ia memilih untuk tinggal di rumahnya untuk meminimalisir kesalahan paham Kafkha maupun orang-orang.“Kamu yakin akan tinggal di sini?” tanya Haidan sambil mengikuti Bunga berjalan menuju rumah. “Iya. Terima kasih sudah membantuku,” ucap Bunga setelah membuka pintu rumah.“Kalau begitu, aku keluar dulu untuk membeli bahan makan,” ucap Haidan setelah berpikir sejenak. “Tidak perlu repot-repot. Aku bisa membelinya besok,” balas Bunga dan masuk ke dalam rumah, berdiri di pintu. Haidan paham dengan maksud Bunga berdiri di depan pintu. Pria itu pamit meskipun hati terasa berat meninggalkan wanita tersebut di sana sendirian. Bunga menutup pintu rumah, bersandar di sana dengan badan perlahan merendah dan duduk meringkuk dalam tangisan. Tidak ada tempat bersandar lagi baginya, ia merasa ke
Bunga masuk ke mobil Haidan dengan air mata menetes membasahi pipinya. Pandangannya ke depan, malu memperlihatkan rasa sedih. Haidan ikut sedih melihat kesedihan yang tergambar di wajah wanita yang duduk di sampingnya itu, sekaligus penasaran dengan situasi apa yang baru saja dihadapi Bunga sampai menangis. "Kafkha tidak menerima anak itu?" tanya Haida, mengemukakan dugaannya. "Tidak. Bisa kita kembali?" tanya Bunga, menatap Haidan setelah menghapus air mata di pipinya. Haidan menganggukkan kepala dan menstarter mobil, menyalakan mesin mobil, dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan Bunga menangis dalam diam, perkataan Kafkha membius jiwanya dalam rasa sedih. Haidan tidak berani menegur ataupun bertanya, ia membiarkan Bunga sendiri yang akan menceritakannya. Setelah mobil berhenti di tepi jalan, di depan rumah, Bunga keluar dari mobil Haidan dengan wajah lesu. "Terima kasih," ucap Bunga dan lanjut berjalan menuju rumah. Haidan mematikan mesin mobil, ia mengi
Bunga mengemasi pakaian yang ada di lemari, memasukkannya ke dalam tas pakaian yang dibawa olehnya ke rumah itu setelah menikah. Jelita menahannya sejak tadi, tetapi Bunga tidak mau berhenti karena sudah membulat keputusan akan melepaskan dirinya dari hubungan pernikahan bersama Kafkha. "Jangan pergi, Nak ... Mama tau kamu tidak salah," bujuk Jelita."Ma, dia tidak mempercayaiku dan tidak pernah memiliki perasaan cinta padaku. Apa yang harus dipertahankan? Maafkan aku. Selagi bukan dia yang menahan ku, menginginkanku, aku tidak bisa tetap di sini dan bertahan dalam hubungan kami," jelas Bunga dan lanjut berkemas. Jelita berdiri dari jongkok nya, ia menghubungi Kafkha, menyuruh pria itu kembali ke rumah untuk menahan Bunga agar tidak pergi dari rumah itu. "Untuk apa menahannya? Kalau begitu, aku akan kembali untuk mengantar kepergiannya," ucap Kafkha dan memutuskan sambungan telepon. Kafkha berdiri, bergegas meninggalkan ruangannya setelah meruntuhkan sikap tenang yang ada saat berb