Share

Tidur Di Sofa

Untuk sesaat Ardhan sedikit blenk tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Ada bayangan seseorang yang membuatnya tidak ingin meneruskan pikiran kotornya. Dia meraih selimut dan bergegas menghampiri Alea dan menangkupkannya di tubuh itu.

“Kenapa pakai kemeja putih ini?”

“Tadi katanya suruh pakai baju, Kakak?”

“Ya jangan yang putih juga!” menerawang tahu, kata yang hanya bisa dilanjutkan di benak Ardhan.

“Hanya itu yang sedikit kecil, yang lain besar semua.” Alea memberi alasan.

“Ya udah, jangan lepas selimutnya!” Ardhan memberi peringatan.

“Kenapa, Kak?”

Hufft!

Ardhan menghela napas panjang. Apa dia harus menjelaskan secara gamblang setiap ucapannya? Harusnya Alea tahu sendiri kenapa dia tidak bisa melihatnya memakai kemeja putihnya yang sedikit tipis itu sementara dia tidak menggenakan apapun di dalam sana.

“Sudah, tidak perlu banyak tanya. Duduklah, aku mau bicara!” ucap Ardhan meminta Alea duduk di sofa.

“Bicara apa, Kak?” tanya Alea sambil ribet membenahi selimut tebal yang sangat merepotkan geraknya.

“Ya ampun, kamu kenapa terus bertanya sih? Udah diam saja, jangan bikin aku emosi ya?!” Ardhan tidak punya kesabaran tinggi menghadapi manusia seperti Alea.

Melihat Alea tidak bergeming dia marah lagi. “Aku sudah bilang duduk di sini! Kok malah diam di situ!”

“Kan Kakak tadi yang suruh diam,” protes Alea.

“Iya tapi duduk di sini!” Ardhan mencoba mengisi kesabarannya lagi.

“Tapi aku susah jalannya, ini selimut tebal sekali!”

“Lalu bagaimana? kau mau berdiri saja di sana?”

“Ya jangan lah, Kak. Aku capek!”

“Ya sudah kalau begitu kamu duduk Alea…”  Ardhan menepuk sofa di sampingnya kesal dengan gadis ini.

Alea hanya membeku sambil manyun karena pria ini pemarah sekali. Dia kemudian mencoba duduk di sofa dengan sangat kerepotan.

“Kak?”

Tuh kan? Nih bocah harus di lakban mulutnya!

Melihat tatapan mengerikan Ardhan Alea tidak jadi bicara. Dia hanya menunduk. ‘Kejam amat sih sumiku!’ batinnya sebal.

Ardhan jadi tidak tahu apa yang akan dia bicarakan. Lalu melirik Alea yang menyusut karena takut itu. Lagipula dia juga sudah lelah, baiknya mereka istirahat dulu dan membiacarakannya besok saja. ini sudah malam.

“Ya sudah besok saja, sekarang kamu tidur sana gih!” tukas Ardhan menunjuk tempat tidur agar Alea tidur di sana. Melihat Alea diam, Ardhan mengulangi lagi. “Alea, bangkit dan tidurlah di tempat tidur sana. Aku yang akan tidur di sini!”

‘Harus ya menjelaskan dengan gamblang pada gadis ini?’ batin Ardhan kesal.

“Kakak yang konsisten dong, tadi nyuruh aku duduk di sini, sekarang nyuruh pergi tidur ke sana!” tukas Alea yang sudah bisa protes.

“Heh? Atau jangan-jangan kamu mau tidur denganku di sini?” Ardhan menatap Alea dan mencoba mengancamnya.

“Oh, eng-ngak mau!” Alea segera berusaha bangkit untuk ke tempat tidur. Namun selimut itu membuat kakinya terserimpet hingga dia tersungkur.

Ardhan melihatnya dan dengan reflek mengulurkan tangannya untuk menangkap tubuh Alea yang hampir terjatuh itu. Sialnya selimut yang terinjak kaki Alea tertarik hingga mengekspos Alea dengan kemeja putihnya itu.

“Astaghfirullah!” Ardhan dengan cepat melepas tangannya hingga membuat Alea terjatuh.

“Auh, sakiit!” Alea mengadu kesakitan. Untung dia jatuh di atas selimut tebal itu.

“Lagian kamu mengganggu sekali, mana tidak pakai dalaman lagi!” gumam Ardhan yang terdengar Alea.

“Mana ada dalaman di kamar mandi? Bajuku kan tidak ada semua, aku juga tidak mau pakai beginian. Emang aku perempuan apa?” Alea terisak memeluk lututnya. Dia sedih memandang Ardhan seolah memiliki pikiran bahwa dirinya sengaja berpakaian seperti itu agar menggodanya.

“Iya udah, jangan menangis, sana tidur!” Ardhan merebahkan tubuhnya di sofa dan tidak memperdulikan Alea.

Alea melirik Ardhan yang sudah memejamkan matanya itu lalu bangkit dan bergegas ke tempat tidur. Dasar pria kasar dan tidak berperasaan! Masih dia membatin dengan kesal.

“Matikan lampunya!” Terdengar ucapan Ardhan memerintah meski matanya terpejam.

Alea yang sudah merebahkan diri jadi terbangun lagi dengan kesal bangkit untuk mematikan saklar lampu kamar.

Pagi harinya, Hera mengetuk pintu kamar tidur Ardhan. Dia senyum-senyum sambil memperhatikan koper baju Alea yang sengaja tidak diantarnya ke kamar dulu. Hera hanya ingin mereka sedikit terlibat drama kecil agar bisa saling bicara satu sama lain.

“Ardhan! Alea! Bangun nak…” suara Hera memanggil.

Alea jadi terbangun karena teriakan itu. Berapa saat dia baru tersadar dan bingung harus bagaimana? Karena saat ini sedang memakai baju Ardhan dan bukannya lingeri yang sudah disiapkan Hera. Pasti Hera sengaja melakukannya agar Alea memakainya untuk bisa membuat Ardhan tertarik.

“Kak! Bangun!” Alea mengguncang bahu Ardhan.

“Hemm?” sahut Ardhan tapi masih terpejam.

“Bangun, Kak! Ada Mama di luar!” Alea masih berusaha membangunkan Ardhan.

“Apa?!” Mendengar kata ‘Mama’ Ardhan terkejut dan segera berjingkat hingga kepalanya membentur kening Alea.

“Auw! Sakit, Kak!” Alea mengaduh dan mengusap keningnya. Pria ini kenapa sudah membuatnya mengaduh kesakitan dua kali. Semalam dia dibuat jatuh dan sekarang kepalanya dibentur.

“Oh, maaf! Yang mana yang sakit?” Ardhan memeriksa kening Alea. Dan tanpa sadar meniup-niup sambil mengusapnya. Alea membeku.

‘Eh!’ saat baru tersadar Ardhan langsung berjingkat.

“Itu ada Mama di luar!”

“Kamu masuk saja ke kamar mandi dan kunci pintunya. Jaga-jaga kalau ada inspeksi mendadak dari Ibu Negara!” tukas Ardhan.

Alea sedikit tertawa karena merasa lucu Ardhan menyebut mamnya dengan Ibu Negara. Tapi dia bergegas ke kamar mandi juga.

“Siap, Ma! Ada apa?” Ardhan membuka pintu dan mendapati ibu negara berdiri penuh selidik.

Hera melihat raut muka anaknya. Apakah ada yang berubah? Dia sempat mendengar sedikit berisik tadi tapi tidak jelas. “Baru bangun?” tanyanya.

“Iya, Ma!”

“Masih ada waktu sholat subuh, ajak istrimu sholat subuh,” tukas Hera lalu menyodorkan koper Alea. “Ini baju-baju Alea, kemarin lupa belum dibawa ke kamar”

“Baik, Ma!”

Bilang saja disengaja. Pasti semua ini sudah direncanakan. Batin Ardhan yang tahu betul bagaimana ibunya.

 “Di mana Alea?” Hera masih penasaran lalu mendorong daun pintu yang setengah terbuka itu dan menyisir pandang ke ruangan.

“Sedang mandi, Ma!”

Hera menyipitkan mata menatap putranya itu. “Kau tidak membuatnya tidur di sofa kan?”

“Tidaklah, Mama sayang!”

“Tidak bohong kamu? Awas lho kalau bohong, kualat kamu!” Hera masih curiga.

“Demi Allah!” Ardhan sampai mengangkat tangannya. Hera tentu tidak berani curiga lagi kalau sudah menyangkut tuhannya. Dia pun berbalik badan dan pergi.

“Masih ada waktu sholat, ajak istrimu sholat, belajar jadi pemimpin yang baik!” gumam Hera berjalan keluar. “Habis sholat siap-siap sarapan, ada yang mama pengen sampein!”

Deg!

Apalagi sih yang mau disampein mamanya. Setiap kali Ardhan mendengar kalimat itu, bawaannya sudah was-was saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status