Share

Perdebatan Di Meja Makan

“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”

Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.

“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.

“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.

“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”

Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?

Jujur jika dia ditanya ingin tinggal di rumah Ardhan atau tetap tinggal di rumah mertuanya itu, Alea tentu akan memilih tetap tinggal di rumah mertuanya. Alea masih sedikit takut pada Ardhan meski sudah tahu Ardhan bukan pria kejam yang akan menyiksanya. Tetap saja Alea lebih nyaman tinggal bersama Hera yang sudah menganggapnya sebagai putri sendiri.

“Begini saja!” Hamid membuka suara. Dia pria yang tidak heboh seperti Hera, jadi ketika dia bersuara, semuanya pasti mendengarkan.

“Ardhan, biar seminggu ini kalian tinggal sementara di rumah. Setelah itu kau bisa membawa Alea pergi ke rumahmu!” Hamid ikut mengusulkan pendapatnya.

“Bukan seminggu, Pa! tapi … “ Hera hendak protes karena seminggu itu hanya hitungan hari. dia butuh dari sekedar seminggu untuk membuat putranya itu belajar menerima Alea sebagai istrinya.

“Tiga harilah, Pa. Aku sedang banyak proyek!” Ardhan menawar.

“Aku tidak bisa membantumu, Ardhan. Jika kau tidak terima usul Papa baiknya kau dengarkan Mamamu.” Hamid tidak menerima ditawar.

“Oh, oke, Pa! Seminggu juga tidak terlalu buruk.” Ardhan tentu lebih memilih usul papanya daripada berurusan dengan mamanya.

“Kau setuju, Alea?” tanya Hamid mengikut sertakan pendapat menantunya yang sejak tadi hanya diam.

“Oh, eng… “ Alea tergagap tidak menduga akan disebut oleh mertuanya itu. Dia melirik Hera dan meminta pendapat.

Ardhan yang tahu hal itu langsung menyahut agar tidak lebih condong ke mamanya.

“Aku sudah bertanya pada Alea tadi dan dia bilang akan ikut tinggal di rumahku,”

Ucapan Ardhan itu segera mendapat lirikan Alea.

‘Kapan aku bilang begitu?’

“Benar kan Alea?” Ardhan menatap Alea seolah mendesaknya mengiyakan.

“I-iya, Kak! Alea akan ikut Kak Ardhan.” Dengan terpaksa Alea mengucapkan hal itu.

“Hhg, asal seminggu ini kalian bisa menunjukan hubungan yang baik dan kondusif, Mama akan percaya dan membiarkan kalian pergi” Hera pun akhirnya menyetujui usulan Hamid meski dalam hati masih belum terima.

“Tentu saja, Mama! Lagipula, Alea juga rencananya mau kuliah, kan?” tukas Ardhan mengarang lagi. Alea tidak pernah mengatakan hal itu juga.

“Benar, Al?” Hera menanyakan itu pada Alea.

“Oh? Apa?” Alea tentu tidak bisa mengiyakan karena belum ada niat dari hatinya untuk kuliah. Tapi lagi-lagi Ardhan menyenggol kakinya. Sehingga Alea berkata, “Iya, Ma. Kak Ardhan benar!”

Mereka sarapan lagi dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga Hera seperti teringat sesuatu.

“Eh, kamu panggil apa tadi ke Ardhan?” tanya Hera pada Alea.

“Apa, Ma?” Alea bingung.

“Kamu panggil Ardhan apa?” Hera mengulangi pertanyaannya.

“Kak Ardhan?”

“Diganti ya, panggil Ardhan ‘MAS’! Panggilan ‘KAK’ kan sudah kamu pakai sebelum menikah dengan Ardhan. Jadi biar ada bedanya!”

“Ma, hanya panggilan lho!” Hamid mengingatkan istrinya.

“No, kalau Alea masih panggil ‘KAK’ artinya dia masih anggap Ardhan sebagai seorang kakak bukan suaminya.”

“Wanita seperti ini Papa pungut dari mana sih? Masalah panggilan saja diribetkan!” Ardhan jadi kesal karena Hera tidak berhenti membuatnya pusing.

“Eh, sama orang tua lho ngomongnya begitu!” Hera jadi marah-marah pada anaknya itu.

“Sudah, Mama! Kita sarapan dulu, kasihan Alea jadi bingung lihat Mama begitu.” Hamid menengahi keadaan. Anak dan Mama itu memang suka sekali ribut.

“Becanda, Mama!” Ardhan menunjukan dua jari tanda ‘peace’ pada Mamanya dan Hera hanya mendengus.

Sebagai seorang mantu, Alea tentu tidak langsung pergi setelah sarapan. Dia membantu Hera membersihkan dapur. Meski sudah ada pembantu, Alea merasa sungkan jika tidak membantu.

“Semalam apa Ardhan tidak menyakitimu?” tanya Hera yang masih penasaran dengan malam pertama anaknya.

Alea hanya menggeleng. Hera ingin jawaban lebih tapi sepertinya Alea tidak peka.

“Maksudnya apa kalian sudah…” Hera menatap Alea lama agar gadis ini paham apa maksudnya.

Alea lagi-lagi menggeleng.

Hera kecewa, artinya Ardhan memang tidak berminat pada Alea. Padahal sebelum menikah, Hera sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya perawatan Alea agar gadis yang cantik alami ini tampak lebih menawan dan memikat. Sebagai wanita modern, Hera pasti tahulah bagaimana selera pemuda seusia anaknya. Karena itu Hera dengan serius membuat Alea secantik dan seseksi saat ini.

“Kamu kalau di kamar, pakai baju yang tipis-tipis saja. Sering ajak ngobrol Ardhan” nasihat Hera meminta menantunya itu sedikit atraktif.

“Eng, iya Ma!”

“Semalam kamu pakai baju yang sudah mama siapkan?”

Alea harus bagaimana? Semalam dia tidak memakainya. Melihat menantunya hanya diam, Hera sudah tahu jawabanya tanpa Alea berkata-kata.

“Hhg, Alea, hukum berpakain seksi dan menawan di depan suami itu sunnah! Ada banyak hadis dari istri nabi yang menyampaikan bahwa seorang istri itu harus bisa tampil menarik di depan suaminya. Itu ajaran agama kita lho, bukan karena keinginan Mama”

“Oh, Iya, Ma!”

“Itu agar suamimu hanya menyalurkan nafsunya padamu yang sudah halal, dengan begitu kau jadi bisa menahannya dari godaan wanita iblis di luar sana!” Hera tidak berhenti bertutur layaknya ustadzah.

Alea mengangguk kemudian menunduk menghindari tatapan Hera. Dia jadi tidak enak. Pasalnya dirinya sendiri merasa belum tertarik untuk serius berumah tangga. Tentu tidak bisa berpura-pura melakukan hal itu.

“Ya sudah, sekarang kau bawakan suamimu makanan di samping. Sepertinya tadi dia duduk di samping!”

Hera mengambilkan cemilan dan minuman agar Alea membawakannya untuk Ardhan. Gadis penurut itu pun begitu saja berlalu untuk melakukan perintah sang mertua. 

Sementara itu Ardhan sedang berbicara di telpon saat Alea berjalan menghampirinya. Suaranya begitu lembut dan sesekali terdengar mesra. Alea terhenti dan takut menganggu obrolan itu.

“Sayang, jangan marah begitu dong! Aku kan hanya semalam tidak menghubungimu!”

Deg!

Jangan-jangan dugaannya benar. Ardhan sudah punya kekasih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status