"Kamu bilang apa tadi?"
Dave bukannya tidak mendengar perkataan Rachel, tapi ia hanya ingin memastikan pendengarannya salah dan tidak berfungsi saat ini.
"Ceraikan aku secepatnya, Dave."
Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba saja Rachel meminta cerai pada suaminya. Dave seketika mengernyitkan dahi, menatap Rachel bingung.
"Kamu bercanda ya? Ini nggak lucu, Hel."
"Apa perkataanku ini terdengar gurauan bagimu?"
Mendengar nada suara istrinya yang terdengar serius, Dave kini benar-benar yakin kalau istrinya sedang tidak bercanda. Otaknya seketika berpikir keras. Kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga Rachel tiba-tiba meminta cerai.
Melihat suaminya diam saja, Rachel kembali melanjutkan perkataannya.
"Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Kita seharusnya memang sudah berpisah dari beberapa bulan yang lalu
Dave mengambil ponsel dari saku celananya. Menekan-nekan layar kemudian mendekatkan telepon ke telinga seperti tengah menghubungi seseorang. Di lain tempat, seorang wanita tengah mengulas senyum manis saat melihat tamu yang datang. "Pesanan atas nama Dewi," ujar pengantar paket sambil membaca tulisan stiker pada kotak yang ada di tangannya. "Iya, saya Dewi." Dewi yang sudah menunggu lama itu, lantas menyambar kotak makanan. Kemudian membawa masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat sudah tidak sabar untuk mencicipi makanan yang di belinya. Tangan Dewi perlahan bergerak menyendokkan makanan sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Ketika sendok sudah di depan mulutnya, tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Seperti ingin memuntahkan sesuatu di dalam perutnya. Wanita itu lantas bangkit dari tempat duduknya. Dan tepat saat itu ponselnya tiba- tiba berb
Rachel menoleh ketika lengannya di pegangi oleh Dewi. "Pak Alex sekarang belum datang, Mbak. Kemungkinan beliau datang terlambat karena meeting kemarin selesai sampai hampir larut malam," ujar Dewi memberitahu. Rachel memandang wajah Dewi dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Dewi hari ini. Terlebih Dewi berbicara dengan sangat pelan, nyaris setengah berbisik. Rachel mengeleng pelan sembari menepis tanda tanya yang mendadak muncul dalam benaknya. Sebagai sekertaris pribadi Alex sangat wajar kalau Dewi mengetahui dengan detail agenda kerja bosnya itu. "Terima kasih infonya ya, Mbak. Kalau begitu nanti saja saya izinnya kalau pak Alexnya sudah datang," balas Rachel sembari tersenyum simpul. Dewi mengangguk singkat tanpa menoleh ke arah Rachel. Ia juga tidak lantas pergi saat Rachel sibuk kembali dengan pekerjaannya.
Sejam yang lalu...Dave berjalan mendekati ranjang tempat Rachel berbaring. Mata greynya menatap sendu wajah sang istri. Kemudian beralih ke arah perutnya yang nampak mulai buncit.Tidak berselang lama, jari jemari Rachel bergerak pelan bersamaan dengan kelopak matanya yang perlahan mulai terbuka."Akhirnya kamu siuman juga," gumam Dave seraya menghela napas lega.Rachel mengejapkan mata sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia merasa asing dengan ruangan tempatnya berada sekarang."Kita ada di mana, Dave?" tanyanya sembari menoleh ke arah Dave."Rumah sakit.""Rumah sakit?" ulang Rachel sembari mengerutkan kening.Rachel sontak membuka mulutnya sembari memandang Dave penuh tanda tanya. Ingatannya kembali berputar kala ia melihat darah menetes keluar dari bawah tubuhnya. Kalau tidak salah, dirinya baru
Begitu sampai di lobby rumah sakit, Dave langsung menemui seorang wanita yang datang dengan membawa ranjang buah di kedua tangannya."Dewi..."Wanita yang di panggil Dewi itu pun menoleh. Seketika ia tersenyum cerah saat Dave datang mendekatinya."Maaf kalau saya langsung kemari tanpa memberitahu dulu. Soalnya saya hanya punya waktu saat jam makan siang saja," ucap Dewi seraya membungkuk hormat.Dave mengangguk sekilas. Ia mengosok-gosokan dagunya sembari menatap Dewi. Wajahnya nampak serius seperti tengah berpikir sesuatu."Apa ada sesuatu yang sangat penting sampai kamu repot-repot datang kesini?" tanya Dave tanpa basa-basi."Sepertinya anda telah salah paham. Saya datang kemari untuk menemui Rachel," balas Dewi menjelaskan maksud kedatangannya."Oh. Mau bertemu istri saya—"Kini telapak tangan Dave berpindah
Di dalam ruangan putih berukuran dua puluh empat meter persegi, berdiri dua orang lelaki yang nampak sangat canggung satu sama lainnya. Kepala kedua lelaki itu tengah tertuju pada sesosok wanita yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dave menatap tajam ke arah Alex dan Rachel secara bergantian. Rachel hanya bisa menundukkan kepala. Entah mengapa ia tidak sanggup untuk bertatapan mata langsung dengan Dave. Sedangkan, Alex nampak kesal melihat kedatangan Dave yang mendadak baginya. "Sepertinya kedatangan anda kemari bukan untuk berkunjung secara baik-baik. Jadi tidak salah bukan kalau saya mengusir anda dari sini sekarang juga?" Pertanyaan Dave jelas sekali di tujukan untuk Alex, walau matanya memandang tajam ke arah Rachel. Melihat hal itu, Alex mendesis pelan sembari melirik ke Rachel. "Tidak perlu kau usir pun, saya juga akan pergi sendiri dari
Dave hendak keluar ruangan, namun tidak bisa. Tangannya mendadak di pegangi oleh Rachel. "Mau kemana lagi? Di sini saja. Temani aku," pinta Rachel dengan tatapan memohon. Dave memandang wajah Rachel untuk beberapa saat. Seharian ini waktu dan tenaganya seakan tersita oleh sesosok wanita yang kini tengah berbaring di hadapannya. Wanita yang keinginannya kerap berubah-ubah dan tak jarang membuatnya kebingungan. Walaupun begitu Dave merasa hidupnya kian menarik. Dan mungkin akan semakin menarik seiring bertambahnya usia kehamilan Rachel. Bagaimana tidak menarik kalau semenjak wanita itu hamil, Dave kerap di suguhi pemandangan mengemaskan seperti ini. Kedua mata Rachel mendongak menatap Dave seolah minta di kasihani. Tatapan polos yang penuh harap itu, malah membuat Dave ingin berlama-lama ada di dekatnya. "Saya temani tapi kamu makan sekarang ya."
Rachel nampak mengeliat pelan dalam tidurnya. Menyadari langit biru telah berubah warna jadi gelap, wanita itu lantas terbangun dari tidur panjangnya. Seraya menguap lebar-lebar, Rachel mengedarkan pandangannya mencari sosok keberadaan suaminya. Sebelum tertidur tadi, Dave masih duduk di sofa menemaninya sembari bermain ponsel. Namun ketika ia terbangun, sofa itu sudah kosong. Tidak berselang lama, Rachel mendengar suara derit pintu yang terhubung langsung dengan toilet. Ia menahan napas ketika pintu itu terbuka. Seketika ia menghela napas lega saat melihat Dave yang keluar dari balik pintu itu. "Sudah bangun rupanya," celetuk Dave begitu matanya bertemu pandang dengan Rachel. Rachel menggangguk pelan. Dave berjalan mendekat, kembali ke samping Rachel. "Aku kira kamu pergi kemana," gumam Rachel pelan. "Saya hanya ke kamar mandi sebentar. Ken
Dave mencoba menghentikan kegiatan Rachel agar menoleh ke arahnya. "Kamu lagi ngapain? Bukannya istirahat malah sibuk sendiri," tegur Dave sembari berlutut mensejajarkan pandangan matanya. "Masukin baju-baju, Dave. Lupa ya kalau besok aku sudah boleh pulang," timpal Rachel dengan riang. Ketika Rachel ingin membuka tasnya, Dave kembali memegangi tangan istrinya. "Nanti saja. Biar saya saja yang memasukkan baju-baju itu—" Dave membawa Rachel kembali berbaring ke tempat tidur. "Sudah kamu istirahat dulu. Tidur-tiduran saja." Rachel menurut. Ia hanya diam mengamati Dave yang kini menggantikan tugasnya berkemas. Sesekali ia berkomentar dan memberikan arahan agar tidak ada satupun barang yang tertinggal. "Kemarin sebelum pulang, mamah minta kita buat tinggal bareng mereka. Kamu nggak keberatan 'kan kalau bes