Beberapa hari ini, Juleha sering banget bilang kalau sikap gue makin manis. Sebenarnya gue merubah sikap bukan semata-mata karena bayi yang di kandungnya, tapi juga masalah perasaan gue sendiri. Gue akui kalau semakin hari, gue semakin perhatian sama Juleha. Entahlah, gue belum tahu pasti apa yang gue rasakan benar-benar cinta atau hanya sekedar rasa nyaman karena sering barengan. Yang pasti, gue selalu bahagia di samping Juleha, bahagia lihat dia tertawa apalagi itu gara-gara gue.Menurut kalian, apakah itu cinta?Oh iya, kandungan Juleha udah menginjak tujuh bulan, jangan ditanya bagaimana keadaan gue selama itu, lebih banyak disiksa Juleha. Kalau bininya Rayhan sama Satria ngidamnya masih melibatkan sohibnya, Juleha sama sekali nggak, anak gue nggak ada tuh yang nyebut mereka. Padahal gue udah pingin banget ngerasain ngerjain mereka lewat anak gue, tapi sepertinya dewi fortuna tidak berpihak sama gue.Satu lagi, Juleha beberapa hari kemarin mengajukan pertanyaan sama gue. Katanya,
Gue menatap wanita yang ada di depan gue. Wajahnya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Tetap cantik. Tapi sayang, di balik wajahnya yang catik itu, dia pernah melakukan tindakan yang membuat semua orang kecewa."Udah berapa lama anda merasakan gejala itu?""Sekitar satu minggu."Gue mengangguk, kemudian mencatat hasil dari keluhannya."Ini nanti resepnya anda kasih ke bagian obat ya. Anda nggak apa-apa kok, itu cuma gejala anemia dan kurangnya istirahat. Anda hanya perlu mengkonsumsi vitamin penambah darah, makanan bergizi dan istirahat yang cukup." Gue tersenyum sambil menyodorkan kertas yang berisi resep buat Lidya. Bagaimanapun, dia pasien gue sekarang. Meskipun pernah dikecewakan, bukan berarti gue mengabaikan dia yang datang untuk berobat.Masih ingat dengan Lidya? Wanita yang dulu pernah dijodohkan sama gue. Seseorang yang tidak punya rasa tanggung jawab dan ninggalin pernikahan begitu saja."Makasih, Dok.""Sama-sama. Semoga lekas membaik ya." Lagi-lagi gue mengemban
Aku melihat punggung Mas Vino yang hilang di balik pintu. Semarah itukah dia padaku, sampai tidak mau melihat wajahku sebelum pergi, bahkan tak memperdulikan perasaanku setelah dibentaknya tadi.Iya, aku tahu apa yang tadi kulakukan memang salah. Menjadikan hal tersebut sebagai lelucon. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Tapi ketahuilah, sebenarnya tadi aku memang kesakitan, tapi begitu melihat ekspresi khawatir di wajahnya, akhirnya aku mencoba tertawa, agar Mas Vino tidak terlalu panik. Apalagi dia bilang harus segera berangkat ke rumah sakit, mana kutahu kalau akhirnya malah memancing kemarahannya.Aku menghembuskan napas pelan, kemudian mengusap perutku yang tadi sempat nyeri. Untunglah sekarang sudah membaik.Apa aku kejar Mas Vino aja ya, setidaknya meyakinkannya agar tidak marah lagi padaku. Soalnya wajah kecewanya tadi masih membekas di ingatanku.Akhirnya aku segera ke bawah, sebelumnya menutup pintu kamar terlebih dahulu, di sana aku melihat Mama dan Bik Minah yang sedang m
Sudah hampir satu minggu Juleha pergi ninggalin gue, selama itu juga gue kayak orang nggak punya semangat hidup. Baru kali ini gue kayak gini. Mama yang awalnya uring-uringan sama gue setelah tahu kejadian yang sebenarnya, sekarang malah prihatin ngeliatin gue.Awalnya Mama bingung waktu gue sempat pulang dan nyari Juleha, bingung ketika sore hari gue kembali ke rumah dengan keadaan kacau. Gue sempat balik lagi ke rumah sakit karena harus menyelesaikan tanggung jawab gue dulu, dan balik ke rumah kesorean dari biasanya. Pada akhirnya gue jelasin semuanya, bukan simpati yang Mama berikan, tapi tamparan. Untuk pertama kalinya selama hidup gue Nyokap ngelakuin hal itu. Tahu, apa yang diucapkan Mama saat gue udah selesai cerita."Mama harap kamu tidak menyesal dengan apa yang udah kamu lakuin."Dan see … gue bener-bener nyesel sekarang. Menyesal pernah mengabaikan Juleha dulu, menyesal tidak pernah mengatakan mencintainya, menyesal telah menuruti kemauan Lidya, dan menyesal karena terlamba
Wanita ini masih tidak menjawab, dia malah berontak mencoba melepaskan cengkraman gue. Tidak mau kami jadi pusat perhatian dan terjadi drama kayak film Bollywood, gue langsung aja narik dia keluar, kemudian memutar tubuhnya dan menghadapkan ke arah gue.."Le, jangan nunduk. Angkat kepala kamu."Wanita ini masih menggeleng, rambutnya yang panjang nutupin mukanya, makanya nggak terlalu jelas. Karena nggak ada pilihan lain, gue sedikit memaksanya untuk mendongakkan kepalanya, lalu menyibak rambut di depan wajahnya, dan benar saja dugaan gue."Aku kangen sama kamu, Le. Kenapa pergi gitu aja, hmm?" Gue langsung memeluk dia di pinggir jalan, bodo amat jika kelakuan kita jadi tontonan. Gue terlalu rindu sama wanita ini. meskipun ada rasa kecewa, karena tidak ada balasan sama sekali dari wanita yang ada dalam rengkuhan gue ini. Bahkan setelah lima detik berlalu."Mas Vino lepasin Juleha, anak kita penyet ntar, kalau dipeluk keras begini."Gue terkekeh, senang sekali mendengar suaranya kembali
Gue duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetaran, di samping gue ada Pak Lik Jatmiko yang dari tadi mencoba menguatkan dengan sesekali mengusap punggung gue. Kepala gue dari tadi menunduk dengan posisis tangan saling menyatuh. Sungguh, perasaan gue nggak karuan, bahkan kemungkinan terburuk dari tadi terus kepikiran, meskipun sudah mencoba meyakinkan diri bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi bayangan buruk sialan itu tetap aja berkelebat.Tes!Sial! Kenapa gue nangis lagi sih, cengeng banget. Andai saja gue dibolehin masuk buat lihat kondisi Juleha atau ikut menanganinya, mungkin gue sekarang bisa menyaksikan perjuangannya di dalam, tapi apa daya, para pihak medis yang menangani Juleha melarang gue, katanya nanti ditakutkan gue panik di dalam sana dan menganggu proses operasi."Vin?"Gue menoleh ke arah orang yang memanggil gue. Rayhan, Satria, dan Aris datang menghampiri gue dan menepuk pelan punggung gue. Gue emang sengaja ngabarin mereka buat meminta do'a untuk keselamatan anak d
Sepi. Itu yang gue rasain sekarang, gue kagen banget sama celotehnya Juleha, sama sikap katroknya yang dulu bikin gue ogah-ogahan dan ilfiel, bahkan sama bibir manyunnya yang sering bikin gue gemes. Kemarin gue emang salah sampai membandingkan scenario temen sama yang sudah diusun ke gue. Harusnya gue bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjadi Ayah. Lagi pula, setiap orang pasti ada jalan ceritanya sendiri dalam menggapai kebahagiannya.Sebenarnya kalau disuruh pilih, gue pingin banget kejadian kemarin adalah mimpi buruk belaka, dan saat bangun sudah disambut dengan senyuman Juleha, tapi apa daya … kalau penulis scenario hidup gue berkata lain, gue bisa apa selain menerima."Vin, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Mama menghentikan aktifitasnya begitu melihat gue turun dari tangga."Iya, Ma, kasian anak Vino sendirian." Gue tersenyum."Halah, alasan, paling kamu mau apel sama suster, kan." Mama memicing curiga."Hahaha, apanya yang mau diapelin sih, Ma. Menantu kesayangan
"Emh." Aku mengerjapkan mata perlahan, tapi saat hendak menarik tanganku malah terasa berat, ternyata ada yang memegangnya. Melirik jam yang tergantung di dinding, ternyata udah mau masuk subuh.Aku mengusap surai hitam yang saat ini tengah rebah dengan wajah yang menghadap ke arahku. Mas Vino begitu manis, dia bahkan rela menjagaku sampai pagi begini, apalagi dengan posisi seperti ini. Pasti pegal sekali. Kenapa dia tidak tidur di sofa saja sih, kalau bangun nanti, pasti lehernya sakit.Aku menghembuskan napas perlahan, menyadari hari di mana Mas Vino ketemu sama Mbak Lidya dan berpelukan mesra, mereka memang pasangangan yang romantis, aku saja yang tak tahu dirinya mengiyakan permintaan Mama untuk menikah dengan Mas Vino. Sesak rasanya menyadari kalau suamiku belum juga mencintaiku. Mencintai sendirian itu menyakitkan. Tahu yang lebih parahnya lagi di mana? Aku malah berhalusinasi Mas Vino mengatakan mencintaiku dan tidak ingin merawat anaknya kalau bukan denganku. Aneh sekali 'kan.