Alexandra bingung, mengapa suaminya memberinya kartu platinum itu padanya, padahal uang bulanan sudah di transfer.
"Untuk belanja, jika kamu butuh apa-apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pakai saja."Dengan sedikit canggung, Alexandra menerima kartu ATM beserta kertas yang berisi pin tersebut.Christian menyodorkan ponsel canggihnya, lalu berkata, "Catat nomormu di ponsel itu."Alexandra mengambil ponsel tersebut lalu mengetikkan nomor dan juga namanya serta menyimpannya."Silakan, Tuan."Christian memeriksa nomor tersebut, lalu melakukan panggilan."Itu nomorku, simpan nomorku baik-baik.""Baik, Tuan.""Lalu, berhentilah memanggilku dengan sebutan Tuan. Kamu istriku bukan pembantuku.""Hhmm …," Alexandra menjeda kalimatnya, "saya harus memanggil Anda apa?""Sayang, Honey, Baby, Darling. Memangnya kamu tak pernah pacaran, sampai tak tahu sebutan untuk sepasang kekasih?" Alexandra menggeleng lemah. Dia memang tak pernah berpacaran, hari-harinya hanya dipenuhi dengan belajar dan pekerjaan rumah.Christian mendengus, tapi dia cukup senang, karena ciuman tadi pagi memang yang pertama untuk Alexandra."Berhenti juga menggunakan bahasa formal, aku-kamu sepertinya lebih baik.""Baik …." Kalimat Alexandra terhenti, bingung ingin mengucapkan panggilan apa untuk mengganti kata Tuan.Christian melirik pada istrinya, sejujurnya dia menanti panggilan apa yang akan disematkan padanya.Pada akhirnya Alexandra hanya diam tak meneruskan kalimatnya."Tunggulah di sini. Nanti David akan menjemputmu. Kamu masih ingat wajah dia, bukan? Pria yang menjemputmu.""Iya, Mas." Christian tersenyum tipis nyaris tak terlihat.'Mas? Tidak terlalu buruk,' gumamnya dalam hati.Christian bergegas menuju ke kantornya, setelah menghubungi Alvin. "Alvin, kenapa kamu membiarkan Alexandra masuk ke dalam kamarku?" tanya Christian, saat keduanya sedang berada dalam perjalanan menuju ke kantor.Alvin mengernyitkan keningnya."Kenapa ekspresimu seperti itu?" geram Christian."Bukan aku yang mengantarmu pulang, Pak. Tapi Nona Erinna.""Apa? Kenapa kamu mengizinkan wanita itu mengantarkanku? Dasar bodoh.""Maafkan aku, Pak. Nona Erinna memaksa."Christian mengerang kesal, ada sedikit rasa bersalah pada Alexandra di dalam hatinya."Lain kali jangan biarkan wanita itu menyentuhku, Alvin.""Maksud Bapak siapa? Nyonya Alexandra atau Nona Erinna?"Christian berdecak kesal, tapi tak memberi jawaban. Alvin jelas tahu jawabannya adalah Erinna, tapi masih saja menggodanya.Pukul 9.00 pagi, bel pintu apartemen berbunyi, David dan salah satu anak buahnya sudah menjemput. Pria itu sama dinginnya dengan Christian, matanya bahkan lebih tajam.'Aku tidak akan kabur, kenapa harus dikawal seperti ini,' monolog Alexandra dalam hati.Sepanjang perjalanan Alexandra hanya diam. Setelah melalui kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya Alexandra sampai di rumah sang Ayah.Alexandra menatap bangunan dua lantai itu dengan mata berkaca, tak menyangka jika dia harus pergi dari rumah peninggalan ibunya, dengan cara yang tak biasa."Ma, aku merindukanmu," gumam Alexandra sebelum akhirnya melangkah menuju ke pintu utama.Alexandra memasuki rumah itu seperti biasa, namun tiba-tiba terdengar suara Astari membuatnya menghentikan langkah."Dasar tidak tahu sopan santun, masuk ke dalam rumah orang tanpa permisi."Alexandra menarik nafas perlahan, lalu menghembuskanya.Alexandra menoleh pada ibu tirinya lalu memutar tubuhnya."Maaf, Bu. Bukankah aku masih anggota keluarga ini, jadi aku pikir aku bisa masuk seperti biasa," balas Alexandra."Kamu sudah tak ada hak untuk datang ke rumah ini, apalagi datang dengan sesuka hatimu," ketus Astari.Alexandra kembali menarik nafas sebelum mengeluarkan kata."Mungkin Ibu lupa, rumah ini adalah rumah peninggalan Mamaku. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki hak atas rumah ini. Jangan lupa bahkan surat rumah ini ada di tangan suamiku," balas Alexandra. Ini pertama kalinya Alexandra sedikit meninggikan suara pada ibu tirinya."Sombong sekali kamu sekarang! Mentang-mentang sudah menjadi Nyonya besar, harusnya bukan kamu yang menjadi istri–""Ibu pikir Tuan Christian membawaku untuk dijadikan budak? Ibu menyesal, kenapa tidak Nikita saja yang menjadi tumbal dan menikah dengannya?" Alexandra memotong perkataan ibu tirinya.Selama lima belas tahun hidup bersama Astari, ini kali pertamanya Alexandra melawan. Dia hanya merasa sekarang dia memiliki pendukung. Tidak masalah 'kan jika dia berharap Christian akan mendukungnya?"Berani kamu, hah?" Astari mengangkat tangannya, mengarahkan tamparan ke arah Alexandra."Apa yang kamu lakukan pada anakku, Astari?" Harry mencekal tangan istrinya dari belakang. David pun menghentikan langkahnya.David yang sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya dari ambang pintu pun merasa lega sebab Alexandra tak terkena tamparan. Jika itu terjadi, akan tamat riwayat Astari yang telah berani menyentuh istri seorang Christian Hoover."Papa?" Wanita itu mengira, suaminya telah pergi bekerja.Harry menatap tajam pada istrinya, lalu menggeleng lemah. Dulu Harry hanya diam saja jika Alexandra diperlakukan semena-mena, tapi sekarang, meski untuk terakhir kalinya dia ingin berada di pihak anak kandungannya."Jadi seperti ini yang kamu lakukan pada anakku, jika aku tak ada?"Astari terlihat gugup, kemudian menjelaskan jika itu hanya kesalahpahaman. Tapi, ayah kandung Alexandra itu tak begitu saja percaya, karena Harry melihat interaksi keduanya sejak tadi."Papa, aku ingin mengambil beberapa barangku," Alexandra menyela pertengkaran ayah dan juga ibu tirinya.Alexandra hanya tak ingin dipersalahkan, sebagai penyebab pertengkaran mereka. Lagi pula, Christian sudah berpesan untuk tidak berlama-lama berada di rumah ini."Tadi Tuan Christian sudah memberi tahu Papa, jika kamu akan datang, jadi papa sudah meletakkan beberapa buku yang kamu butuhkan ke dalam kardus," ujar Harry seraya mengajak anaknya berjalan menuju kamarnya.Tanpa perintah ataupun persetujuan, David dan anak buahnya mengikuti langkah ayah dan anak itu."Apa Tuan Christian memperlakukanmu dengan baik?" "Tentu saja, Pa. Papa tak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja di sana."Harry membuka pintu kamar anaknya. Alexandra mengambil koper dan menata beberapa pakaiannya."Maafkan Papa, Alexa. Selama ini Papa menutup mata tentang perlakuan ibu tirimu padamu." Alexandra menghentikan aktivitasnya sejenak."Ini sudah sangat terlambat, Pa. Aku sudah terlalu lama menunggu Papa agar melihat ke arahku walau hanya sekejap saja," ucap Alexandra. Suaranya terdengar sengau menahan tangis.Baik Alexandra maupun Harry terdiam, mereka menetralkan rasa yang ada di dalam dada masing-masing."Papa berharap kehidupanmu bersama Tuan Christian akan lebih baik." Netra pria paruh baya itu terlihat berkaca.'Semoga semuanya sesuai dengan harapanmu, Pa. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan jalani hidup ini dengan sebaik mungkin,' monolog Alexandra dalam hati."Nyonya, kita harus segera kembali," suara David memecah keheningan antara ayah dan anak itu."Baiklah, Pa. Aku harus segera kembali. Jaga dirimu baik-baik, aku sangat menyayangimu, jika ada apa-apa segera kabari aku," ucap Alexandra, lalu memeluk ayahnya.David dan anak buahnya membantu membawa barang yang masih ada di kamar.Alexandra menuruni tangga dengan menggandeng pria, cinta pertamanya itu. Di lantai bawah Astari sama sekali tak terlihat batang hidungnya, Alexandra tak ingin mencari atau sekedar basa-basi pada wanita itu."Hati-hati di jalan, Nak."Harry memeluk dan mengecup kening anak gadisnya.Alexandra melambaikan tangan pada ayahnya sebelum mobil meninggalkan rumah tersebut.Hening kembali menyeruak, Alexandra memandang keluar jendela mobil dengan berpangku tangan.Dari spion tengah David mengintip kondisi Alexandra, memastikan bahwa istri bosnya itu dalam keadaan baik-baik saja.Mobil melesat membelah jalanan yang cukup lengang, entah berapa lama berada di jalanan, hingga mereka telah tiba di sebuah restoran."Nyonya, kita telah sampai." David mencoba membangunkan Alexandra yang tertidur.Alexandra membuka mata, lalu menggapai sisa-sisa kesadarannya."Di mana kita?" Alexandra bingung, sebab saat ini dirinya tak berada di apartemen."Pak Chris meminta Anda untuk makan siang bersama, Nyonya. Mari saya akan mengantar Anda ke dalam."Alexandra berjalan mengikuti David, pria itu mempersilakan dirinya untuk masuk ke dalam ruangan privat. Di sana masih kosong, tak ada siapapun."Silakan tunggu sebentar, Nyonya. Pak Christian sedang dalam perjalanan." Alexandra tersenyum lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.Alexandra berjalan menuju jendela, pandangann
Nyonya Amanda memandang remeh pada Alexandra."Itu adalah surat pernyataan yang harus kamu tanda tangani. Pergilah dari kehidupan Christian sekarang juga dan jangan pernah muncul lagi di depannya. Sebagai gantinya aku akan memberimu banyak uang, kamu tak akan kesulitan untuk memenuhi biaya hidupmu."Alexandra terperangah mendengar ucapan ibu mertuanya. Dia tidak menyangka jika ibu mertuanya akan begitu merendahkannya. Jika memang ibu mertuanya tidak setuju dengan pernikahan itu, kenapa tidak datang lebih awal sebelum pernikahan itu terjadi, itulah yang ada dalam pikiran Alexandra saat ini.Nyonya Amanda mengambil sebuah kertas cek dari dalam tasnya."Berapa yang kamu inginkan? Satu Milyar, dua milyar, atau lebih dari itu? Aku akan menulisnya sekarang." Nyonya Amanda berkata dengan sangat enteng, tanpa memikirkan hati Alexandra yang koyak karena harga dirinya terinjak-injak.Situasi macam apa ini? Kenapa kehidupannya begitu dramatis seperti di novel-novel rumah tangga yang pernah Al
Christian kembali menatap Alexandra."Maafkan aku, Mas. Hanya kata itu yang terbesit dalam otakku.""Tidak masalah, alasan yang tidak terlalu buruk. Kamu cukup bisa diandalkan rupanya!"Alexandra terdiam, tak tahu harus menanggapi seperti apa. Perkataan itu terdengar seperti pujian, tapi hatinya tak merasa senang."Hanya itu? Aku tidak yakin Ibuku hanya mengatakan hal itu saja!" Christian kembali menelisik.Ada kegelisahan yang terpancar dari air muka Alexandra."Katakan!""Nyonya Amanda memberikan syarat jika aku ingin tetap bersamamu.""Syarat? Apa itu?""Ki-ta harus memberikan cucu laki-laki untuk keluarga Hoover dalam waktu satu tahun, jika tidak aku harus meninggalkanmu. Bukankah waktunya pas sekali dengan masa perjanjian kita?" Alexandra tersenyum getir.Tidak ada perjanjian seperti itu di antara Christian dan kakeknya. Christian yakin Nyonya Amanda hanya ingin memisahkannya dengan Alexandra, kemudian menikahkannya dengan wanita pilihannya."Kamu benar sekali. Waktu yang sangat
Alexandra dan Christian kompak melihat ke arah sumber suara.Erinna!Erinna menatap nanar pada sepasang tangan yang saling mengikat. Erinna segera merubah air mukanya dan tersenyum semanis mungkin pada Christian."Sedang apa kamu di sini?" tanya Erinna, suaranya terdengar lembut."Kamu tidak lihat? Aku sedang bersama istriku, sudah pasti kami akan makan malam bersama," jawab Christian terdengar begitu dingin.Erinna menyelipkan rambut ke daun telinganya, merasa mati kutu dengan jawaban Christian. Namun, wanita itu tak habis akal untuk bisa bersama Christian."Kebetulan kalau begitu, aku juga ingin makan di sini, bagaimana kalau aku bergabung dengan kalian?"Christian mengeratkan tubuhnya pada Alexandra, kemudian memeluk tubuh ramping istrinya dari samping. Menciptakan kemesraan di antara keduanya.Meski canggung, Alexandra mencoba mengikuti permainan suaminya."Aku tidak yakin kamu akan kuat melihat kemesraan kami, Erinna.""Benar begitu, Sayang? Kamu pasti tidak setuju jika ada orang
Malam semakin beranjak, alunan musik klasik yang menggema ke seluruh sudut restoran menambah suasana di ruangan privat itu kian romantis. Setelah menghabiskan seluruh hidangan yang ada, Christian memutuskan mengakhiri sesi makan malam itu."Ada tempat yang ingin kamu kunjungi sebelum kita pulang?" tanya Christian pada istrinya."Apa boleh kita mampir ke supermarket sebentar? Bahan makanan di kulkas sudah tak ada lagi.""Tentu saja, kenapa tidak?" balas Christian.Christian melajukan kendaraannya menuju supermarket yang tak jauh dari apartemen.Sepanjang perjalanan itu, Christian kembali ke mode awal, diam dan dingin. Kemana hilangnya kehangatan yang tadi tercipta saat di restoran? Entahlah, hanya pria itu sendiri yang tahu.Melihat suaminya yang kembali menjadi papan kayu, Alexandra hanya mengikuti alur yang suaminya ciptakan, dia memandang gemerlap dan padatnya kota dari jendela kaca di samping kirinya."Kapan kamu akan berangkat kuliah?" Perta
Di sinilah sekarang Alexandra berada, di balkon kamarnya. Dengan menyilangkan kedua tangannya, Alexandra memandang keramaian kota dari ketinggian. Udara malam kota tak seberapa dinginnya dibandingkan dengan suasana apartemen mewah itu.Setelah pulang dari supermarket, Christian langsung berganti pakaian dan pergi entah kemana, tanpa sempat Alexandra bertanya.Bertanya? Bolehkah Alexandra melakukan hal itu? Entahlah. Christian benar-benar tidak bisa ditebak, pria itu terkadang hangat dan terkadang dingin.Alexandra masuk dalam lamunannya. Memikirkan bagaimana nasibnya nanti setelah menjadi janda dari seorang Christian Hoover. Kehidupan percintaan setelah dia menyandang gelar janda."Janda, ya?" Gumam Alexandra, kemudian menertawakan dirinya sendiri.Alexandra menghela nafas, berat. Alexandra melakukan peregangan agar tubuhnya lebih terasa santai."Hah." Alexandra mengeluarkan nafas sambil mengayunkan tangannya. Kemudian memegang pembatas balkon, melihat ke bawah, dan bergidik ngeri."T
Menjelang pagi, Alexandra terbangun dari tidurnya, tubuhnya terasa remuk redam bagai orang yang baru saja mengalami sebuah kecelakaan, lelah masih merajai hingga enggan membuka mata.'Aduh, kenapa badanku pegal-pegal. Apa semua orang mengalami hal yang sama denganku setelah melakukannya?' monolog Alexandra dalam hati.Alexandra mengangkat tangan suaminya yang melingkar di tubuhnya."Ssss." Alexandra mendesis, saat merasakan bagian inti tubuhnya terasa nyeri."Apa sakit sekali?" tanya Christian, mengejutkan Alexandra.Wanita itu menoleh pada suami yang matanya masih tertutup rapat itu"Iya, Mas. Apa aku membangunkanmu?" jawab Alexandra dengan malu-malu.Christian memeluk erat tubuh istrinya, mendaratkan kecupan di pipi Alexandra. Kecupan itu berpindah ke bibir dan menjadi sebuah ciuman hangat."Tunggu sebentar, aku akan siapkan air hangat untuk mandi."Christian bangkit dari tidurnya, berjalan menuju lemari khusus untuk keperluan mandi, mengambil
Melihat siapa yang datang, membuat dada Alexandra mendadak sesak. Bagaimana tidak wanita itu adalah wanita yang mengantar suaminya di malam pengantinnya dalam kondisi mabuk. Lalu, saat di restoran ketara sekali jika wanita itu ingin bersama suaminya.Alexandra tak berminat untuk membukakan pintu, lalu memutar tubuhnya, berjalan meninggalkan pintu, namun suara bel itu kembali berbunyi. Kali ini, terdengar seperti tak sabar dan menuntut untuk segera dibukakan pintu.Alexandra menghembuskan nafas dengan cepat. Dengan berat hati dia membuka pintu untuk orang yang menekan bel seperti orang kesetanan itu."Ada perlu apa, Nona? Tidak bisakah Anda menekan bel dengan lebih sopan?" tanya Alexandra.Ya, Alexandra adalah penghuni apartemen ini sekarang, maka dia berhak melakukan apapun demi kenyamanannya.Tanpa permisi wanita itu mendorong Alexandra lalu berjalan masuk ke dalam apartemen. Alexandra hanya bisa menghembuskan nafas pelan.Dengan wajah yang tak ramah, w