Share

Istri Kecil Gus Faiz
Istri Kecil Gus Faiz
Penulis: Ae Ri

Bab 1 "Kebimbangan"

"Apa yang harus aku lakukan? Kuliah atau kerja?"

Aisyah menatap ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Pikirannya berkecamuk. Semenjak ibunya harus mendapatkan perawatan intens di rumah sakit, ia jadi bingung menentukan masa depannya.

"Jika aku kuliah, dari mana aku akan mendapatkan biaya yang begitu besar, belum lagi uang untuk pengobatan ibu," pikiran Aisyah kembali berisik. "Tapi jika aku bekerja, bagaimana dengan cita-citaku?"

Andaikan saja ayahnya masih di sini, Aisyah tidak akan merasa sendirian seperti ini. Sebagai anak tunggal dan seorang yatim, satu-satunya teman Aisyah adalah sang ibu. Dia menghapus air matanya, mengingat betapa cerianya ibunya dahulu, yang selalu memberikan kasih sayang setiap hari. Namun, kini, dia hanya bisa menyaksikan ibunya terbaring lemah tak berdaya.

"Ibu, jujur, Aisyah tidak bisa jauh dari Ibu. Aisyah harus bagaimana? Aisyah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan ibu yang terbaik." gumamnya, suara lembutnya pecah di ruangan yang sunyi.

Mendengar ucapan Aisyah, Dinda, ibunya, terbangun dan membuka matanya perlahan. "Maafkan ibu, Aisyah. Karena ibu sakit-sakitan, kamu harus merasakan penderitaan yang sangat berat," ucap ibunya sambil menatap sedih Aisyah sembari mengelus rambutnya.

Aisyah tersenyum lembut, "Ini bukan salah ibu, kok. Allah memberikan Aisyah ujian ini, dan Aisyah yakin bisa melewatinya karena Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar kemampuannya," ucap Aisyah.

Mereka berdua menangis bersama. Aisyah masih menggenggam tangan ibunya yang semakin kurus.

"Sayang, bolehkah ibu meminta sesuatu kepada Aisyah?" tanya ibunya sambil menggenggam tangan Aisyah.

Aisyah mengangguk. "Apapun untuk ibu," jawabnya.

"Ibu sangat ingin melihatmu menikah, Sayang. Ibu berharap kamu memiliki seorang pendamping hidup yang bisa menjaga kamu setelah ibu pergi," ucap ibunya memegang tangan Aisyah.

Aisyah membulatkan matanya. Walaupun terkejut, ia tetap berusaha berkata lembit. "Aisyah masih terlalu muda, Bu, tidak mau memikirkan itu dulu. Sekarang, lebih baik Aisyah fokus saja kepada pengobatan ibu, ya?" ucap Aisyah menolak.

Aisyah tidak pernah berpikir untuk menikah di usia Aisyah sekarang. Lagian, pacar saja tidak ada. Fokusnya hanyalah untuk mencari uang dan kesembuhan ibunya.

"Sayang, ibu tahu ini berat bagimu. Tapi ibu tidak bisa melawan takdir Allah untuk tetap hidup. Ibu merasa kesakitan di sini. Ibu pikir, jika Allah mengambil nyawa ibu secepatnya, ibu akan lebih cepat tidak merasakan sakit lagi," ucap ibunya dengan lembut, suaranya penuh dengan kelembutan dan kedamaian.

Aisyah terdiam, hatinya terasa hancur dan hampa. Ibunya adalah satu-satunya tempat perlindungan baginya, satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa aman dan dicintai. Dia ingin menjaga ibunya, tetapi dia juga ingin menjalani hidupnya sendiri, mengejar cita-citanya dan menemukan cinta sejati.

Dalam keheningan yang menyakitkan, Aisyah hanya bisa memeluk ibunya erat-erat, mencoba menyalurkan semua kehancuran yang ada di dalam hatinya. Air mata mereka bergabung menjadi satu, menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka.

Sebelum ucapan ibunya berlanjut, pintu kamar ruang rawat ibu Aisyah terbuka. Seorang wanita paruh baya yang tampak elegan dengan gamis dan hijab, bersama seorang lelaki muda yang tampan, masuk.

"Assalamualaikum," ucap Umi Fatimah, sahabat ibunya.

"Wa'alaikumussalam," ucap Aisyah dan ibunya serempak.

Aisyah langsung terpaku pada lelaki muda di belakang Umi Fatimah. Lelaki itu memakai kemeja hitam yang membuatnya tampak rapi dan sopan. Tubuhnya tinggi, dengan potongan rambut yang rapi. Senyumannya pun tipis, tapi entah kenapa terkesan hangat.

Aisyah terpesona dengan ketampanan lelaki itu. Matanya tidak berkedip melihatnya. Namun ketika sadar di detik berikutnya, Aisyah segera mengalihkan pandangannya.

"Bagaimana kabarmu, Dinda?" tanya Fatimah sambil berjalan mendekat menyimpan buah yang dia bawa di meja.

"Alhamdulillah, saat ini aku merasa agak mendingan," ucap Dinda dengan senyuman di bibirnya.

"Syukurlah, kalau kamu merasa baik. Aku sungguh khawatir tentangmu, dan maaf aku baru sempat menjengukmu karena kesibukanku di luar kota," ucap Fatimah.

"Aku mengerti, Fatimah. Terima kasih telah menjengukku," ucap Dinda tersenyum.

"Aisyah, salam sama Tante Fatimah, Nak," peringati Dinda. Aisyah pun berjalan menghampiri Fatimah, lalu mencium punggung tangan Fatimah.

"Oh, jadi ini Aisyah? Udah gede ya sekarang, kamu cantik sekali, Sayang. Masyaallah," ucap Fatimah sembari mengelus rambut Aisyah.

"Terima kasih, Tante," ucap Aisyah tersenyum.

"Eh, jangan Tante dong, Umi aja," ucap Fatimah kemudian diangguki oleh Aisyah. "Oh, iya Dinda, Aisyah, perkenalkan ini putraku namanya Faiz Alfarizi."

Kemudian, lelaki muda bernama Faiz itu tersenyum ke arah Dinda dan Aisyah secara bergantian. "Tante, Aisyah, aku Faiz," ucapnya sopan.

"Dinda, maaf sebelumnya. Sebelum aku masuk tadi, aku mendengar kalian berdebat untuk menikahkan Aisyah. Apakah Aisyah sudah memiliki calonnya?" tanya Fatimah.

Dinda menjawab, "Maaf ya kalian disambut dengan suara yang mungkin kurang menyenangkan." Lalu menjawab lagi, "Dan Aisyah belum memiliki seorang kekasih. Aku berniat ingin menikahkannya sebelum aku meninggalkannya," ucap Dinda dengan wajah sedih.

"Ibu kan sudah bilang, Aisyah tidak mau menikah. Aisyah masih terlalu muda untuk menikah. Aisyah baru saja berusia 19 tahun. Aisyah masih ingin tinggal bareng Ibu, lihat Ibu sembuh," ucap Aisyah, menahan tangisannya.

Fatimah menatap Aisyah, "Bagaimana kalau menikah dengan putra Umi, kamu mau kan?" tanya Fatimah kepada Aisyah. "Bagaimana, Dinda, maukah kamu menjodohkan Aisyah dengan Faiz?"

Keduanya reflek kaget. Aisyah berharap kalau ucapan Umi Fatimah hanyalah candaan. Bagaimana mungkin obrolan soal pernikahan ini bisa tercetus dengan mudah?

"Beneran, Fatimah?" tanya Dinda. "Kalau aku sih sangat setuju, tapi kamu tahukan, Aisyah masih jauh dari kata sempurna. Bahkan ia belum berhijab, sedangkan Faiz begitu alim," ucap Dinda sedikit khawatir.

"Tenang, insyaallah Faiz bisa membimbing Aisyah kok, kan Faiz? Kamu maukan menerima perjodohan ini?" tanya Umi Fatimah.

Fatimah mencoba membawa suasana ringan dengan candaan. "Aisyah, Umi yakin Faiz akan menjaga kamu dengan baik. Tapi, jika dia memperlakukanmu dengan buruk, laporkan saja pada Umi. Kita akan hajar bareng-bareng!" ucapnya sambil tertawa.

Namun, tanggapan Aisyah masih terdiam. Dia langsung memeluk ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit itu. "Ibu, Aisyah gak apa-apa gak menikah. Aisyah akan bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk pengobatan ibu. Ibu harus tetap kuat, ya," ucap Aisyah dengan suara penuh tekad, mencoba menenangkan hatinya yang resah.

Suasana kembali haru di ruangan itu. Dinda kembali menggenggam tangan putrinya. "Ibu paham niat kamu, Aisyah... tapi menikah itu juga salah satu ibadah. Dan Ibu ingin nanti bisa pergi dengan tenang, karena sudah ada yang menjagamu."

"Tapi, Bu-"

"Aisyah, Insyaallah Faiz akan menjadi suami yang terbaik untukmu," potong Umi Fatimah. "Umi yakin, Faiz telah siap untuk menikah, di umurnya sekarang 25 tahun. Sudah sepantasnya Faiz menikah, melengkapi ibadahnya dengan menikah," ucap Umi Fatimah memberikan ketenangan.

"Apa? 25? Om-om dong?" refleks Aisyah, lalu dengan cepat menutup mulutnya.

Umi Fatimah  tertawa, "Haha, Faiz belum om-om banget kok, cocok banget sama kamu. Insyaallah, Faiz akan menjadi suami yang terbaik untukmu."

"Insyallah, Faiz juga akan membimbing Aisyah menjadi dirinya dalam versi terbaik. Semoga Allah memudahkan segala urusan dan rencana kita." Faiz tiba-tiba menyambung ucapan uminya dengan tulus.

Aisyah terdiam. Ia pikir, Faiz dari tadi hanya diam karena menolak perjodohan tiba-tiba ini juga. Namun apa ini? Kenapa tiba-tiba lelaki itu berkata seperti itu? Kenapa dengan mudahnya mereka memainkan kata "pernikahan", sementara ibunya sedang sekarat di sini.

Aisyah tidak tahu harus apa. Ia hanya ingin menangis. Ia ingin berbakti pada ibunya, meskipun tidak berharap itu permintaan terakhir dari beliau. Tapi, ia juga tidak mau menikah dengan cara seperti ini. Dia ingin menjalankan pernikahan penuh cinta bersama orang yang mencintai dan dicintainya.

"Bagaimana, sayang, kamu mau kan menikah dengan anak Umi?" tanya ibunya dengan mata penuh harapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status