"Apa yang harus aku lakukan? Kuliah atau kerja?"
Aisyah menatap ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Pikirannya berkecamuk. Semenjak ibunya harus mendapatkan perawatan intens di rumah sakit, ia jadi bingung menentukan masa depannya.
"Jika aku kuliah, dari mana aku akan mendapatkan biaya yang begitu besar, belum lagi uang untuk pengobatan ibu," pikiran Aisyah kembali berisik. "Tapi jika aku bekerja, bagaimana dengan cita-citaku?"
Andaikan saja ayahnya masih di sini, Aisyah tidak akan merasa sendirian seperti ini. Sebagai anak tunggal dan seorang yatim, satu-satunya teman Aisyah adalah sang ibu. Dia menghapus air matanya, mengingat betapa cerianya ibunya dahulu, yang selalu memberikan kasih sayang setiap hari. Namun, kini, dia hanya bisa menyaksikan ibunya terbaring lemah tak berdaya.
"Ibu, jujur, Aisyah tidak bisa jauh dari Ibu. Aisyah harus bagaimana? Aisyah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan ibu yang terbaik." gumamnya, suara lembutnya pecah di ruangan yang sunyi.
Mendengar ucapan Aisyah, Dinda, ibunya, terbangun dan membuka matanya perlahan. "Maafkan ibu, Aisyah. Karena ibu sakit-sakitan, kamu harus merasakan penderitaan yang sangat berat," ucap ibunya sambil menatap sedih Aisyah sembari mengelus rambutnya.Aisyah tersenyum lembut, "Ini bukan salah ibu, kok. Allah memberikan Aisyah ujian ini, dan Aisyah yakin bisa melewatinya karena Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar kemampuannya," ucap Aisyah.Mereka berdua menangis bersama. Aisyah masih menggenggam tangan ibunya yang semakin kurus."Sayang, bolehkah ibu meminta sesuatu kepada Aisyah?" tanya ibunya sambil menggenggam tangan Aisyah.Aisyah mengangguk. "Apapun untuk ibu," jawabnya."Ibu sangat ingin melihatmu menikah, Sayang. Ibu berharap kamu memiliki seorang pendamping hidup yang bisa menjaga kamu setelah ibu pergi," ucap ibunya memegang tangan Aisyah.Aisyah membulatkan matanya. Walaupun terkejut, ia tetap berusaha berkata lembit. "Aisyah masih terlalu muda, Bu, tidak mau memikirkan itu dulu. Sekarang, lebih baik Aisyah fokus saja kepada pengobatan ibu, ya?" ucap Aisyah menolak.Aisyah tidak pernah berpikir untuk menikah di usia Aisyah sekarang. Lagian, pacar saja tidak ada. Fokusnya hanyalah untuk mencari uang dan kesembuhan ibunya."Sayang, ibu tahu ini berat bagimu. Tapi ibu tidak bisa melawan takdir Allah untuk tetap hidup. Ibu merasa kesakitan di sini. Ibu pikir, jika Allah mengambil nyawa ibu secepatnya, ibu akan lebih cepat tidak merasakan sakit lagi," ucap ibunya dengan lembut, suaranya penuh dengan kelembutan dan kedamaian.Aisyah terdiam, hatinya terasa hancur dan hampa. Ibunya adalah satu-satunya tempat perlindungan baginya, satu-satunya tempat di mana dia bisa merasa aman dan dicintai. Dia ingin menjaga ibunya, tetapi dia juga ingin menjalani hidupnya sendiri, mengejar cita-citanya dan menemukan cinta sejati.Dalam keheningan yang menyakitkan, Aisyah hanya bisa memeluk ibunya erat-erat, mencoba menyalurkan semua kehancuran yang ada di dalam hatinya. Air mata mereka bergabung menjadi satu, menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka.Sebelum ucapan ibunya berlanjut, pintu kamar ruang rawat ibu Aisyah terbuka. Seorang wanita paruh baya yang tampak elegan dengan gamis dan hijab, bersama seorang lelaki muda yang tampan, masuk."Assalamualaikum," ucap Umi Fatimah, sahabat ibunya.
"Wa'alaikumussalam," ucap Aisyah dan ibunya serempak.Aisyah langsung terpaku pada lelaki muda di belakang Umi Fatimah. Lelaki itu memakai kemeja hitam yang membuatnya tampak rapi dan sopan. Tubuhnya tinggi, dengan potongan rambut yang rapi. Senyumannya pun tipis, tapi entah kenapa terkesan hangat.
Aisyah terpesona dengan ketampanan lelaki itu. Matanya tidak berkedip melihatnya. Namun ketika sadar di detik berikutnya, Aisyah segera mengalihkan pandangannya.
"Bagaimana kabarmu, Dinda?" tanya Fatimah sambil berjalan mendekat menyimpan buah yang dia bawa di meja.
"Alhamdulillah, saat ini aku merasa agak mendingan," ucap Dinda dengan senyuman di bibirnya."Syukurlah, kalau kamu merasa baik. Aku sungguh khawatir tentangmu, dan maaf aku baru sempat menjengukmu karena kesibukanku di luar kota," ucap Fatimah."Aku mengerti, Fatimah. Terima kasih telah menjengukku," ucap Dinda tersenyum."Aisyah, salam sama Tante Fatimah, Nak," peringati Dinda. Aisyah pun berjalan menghampiri Fatimah, lalu mencium punggung tangan Fatimah."Oh, jadi ini Aisyah? Udah gede ya sekarang, kamu cantik sekali, Sayang. Masyaallah," ucap Fatimah sembari mengelus rambut Aisyah."Terima kasih, Tante," ucap Aisyah tersenyum."Eh, jangan Tante dong, Umi aja," ucap Fatimah kemudian diangguki oleh Aisyah. "Oh, iya Dinda, Aisyah, perkenalkan ini putraku namanya Faiz Alfarizi."
Kemudian, lelaki muda bernama Faiz itu tersenyum ke arah Dinda dan Aisyah secara bergantian. "Tante, Aisyah, aku Faiz," ucapnya sopan.
"Dinda, maaf sebelumnya. Sebelum aku masuk tadi, aku mendengar kalian berdebat untuk menikahkan Aisyah. Apakah Aisyah sudah memiliki calonnya?" tanya Fatimah.Dinda menjawab, "Maaf ya kalian disambut dengan suara yang mungkin kurang menyenangkan." Lalu menjawab lagi, "Dan Aisyah belum memiliki seorang kekasih. Aku berniat ingin menikahkannya sebelum aku meninggalkannya," ucap Dinda dengan wajah sedih."Ibu kan sudah bilang, Aisyah tidak mau menikah. Aisyah masih terlalu muda untuk menikah. Aisyah baru saja berusia 19 tahun. Aisyah masih ingin tinggal bareng Ibu, lihat Ibu sembuh," ucap Aisyah, menahan tangisannya.Fatimah menatap Aisyah, "Bagaimana kalau menikah dengan putra Umi, kamu mau kan?" tanya Fatimah kepada Aisyah. "Bagaimana, Dinda, maukah kamu menjodohkan Aisyah dengan Faiz?"Keduanya reflek kaget. Aisyah berharap kalau ucapan Umi Fatimah hanyalah candaan. Bagaimana mungkin obrolan soal pernikahan ini bisa tercetus dengan mudah?"Beneran, Fatimah?" tanya Dinda. "Kalau aku sih sangat setuju, tapi kamu tahukan, Aisyah masih jauh dari kata sempurna. Bahkan ia belum berhijab, sedangkan Faiz begitu alim," ucap Dinda sedikit khawatir."Tenang, insyaallah Faiz bisa membimbing Aisyah kok, kan Faiz? Kamu maukan menerima perjodohan ini?" tanya Umi Fatimah.Fatimah mencoba membawa suasana ringan dengan candaan. "Aisyah, Umi yakin Faiz akan menjaga kamu dengan baik. Tapi, jika dia memperlakukanmu dengan buruk, laporkan saja pada Umi. Kita akan hajar bareng-bareng!" ucapnya sambil tertawa.Namun, tanggapan Aisyah masih terdiam. Dia langsung memeluk ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit itu. "Ibu, Aisyah gak apa-apa gak menikah. Aisyah akan bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk pengobatan ibu. Ibu harus tetap kuat, ya," ucap Aisyah dengan suara penuh tekad, mencoba menenangkan hatinya yang resah.Suasana kembali haru di ruangan itu. Dinda kembali menggenggam tangan putrinya. "Ibu paham niat kamu, Aisyah... tapi menikah itu juga salah satu ibadah. Dan Ibu ingin nanti bisa pergi dengan tenang, karena sudah ada yang menjagamu."
"Tapi, Bu-"
"Aisyah, Insyaallah Faiz akan menjadi suami yang terbaik untukmu," potong Umi Fatimah. "Umi yakin, Faiz telah siap untuk menikah, di umurnya sekarang 25 tahun. Sudah sepantasnya Faiz menikah, melengkapi ibadahnya dengan menikah," ucap Umi Fatimah memberikan ketenangan."Apa? 25? Om-om dong?" refleks Aisyah, lalu dengan cepat menutup mulutnya.Umi Fatimah tertawa, "Haha, Faiz belum om-om banget kok, cocok banget sama kamu. Insyaallah, Faiz akan menjadi suami yang terbaik untukmu.""Insyallah, Faiz juga akan membimbing Aisyah menjadi dirinya dalam versi terbaik. Semoga Allah memudahkan segala urusan dan rencana kita." Faiz tiba-tiba menyambung ucapan uminya dengan tulus.Aisyah terdiam. Ia pikir, Faiz dari tadi hanya diam karena menolak perjodohan tiba-tiba ini juga. Namun apa ini? Kenapa tiba-tiba lelaki itu berkata seperti itu? Kenapa dengan mudahnya mereka memainkan kata "pernikahan", sementara ibunya sedang sekarat di sini.
Aisyah tidak tahu harus apa. Ia hanya ingin menangis. Ia ingin berbakti pada ibunya, meskipun tidak berharap itu permintaan terakhir dari beliau. Tapi, ia juga tidak mau menikah dengan cara seperti ini. Dia ingin menjalankan pernikahan penuh cinta bersama orang yang mencintai dan dicintainya.
"Bagaimana, sayang, kamu mau kan menikah dengan anak Umi?" tanya ibunya dengan mata penuh harapan.
Aisyah yang kebingungan, untuk menjawab pertanyaan dari ibunya kemudian berucap, "Ibu, bolehkah Aisyah bicara berdua dengannya?" ucap Aisyah mengalihkan matanya menatap Faiz.Kemudian Umi Fatimah menjawab, "Boleh dong, Sayang. Silahkan," ucapnya tersenyum. "Aisyah, ibu harap kamu mengambil keputusan yang tepat ya? Dan ibu mohon pertimbangkan perjodohan ini.""Nak, ibu yakin Nak Faiz yang terbaik untukmu. Ibu harap Aisyah menerima perjodohan ini, agar ketika ibu meninggalkanmu, ibu merasa tenang," ucap ibunya menatap serius Aisyah.Aisyah merasa terjepit dalam sebuah pilihan yang sulit. Di satu sisi, dia merasa perlu untuk memenuhi keinginan ibunya, tetapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri."Faiz, Aisyah, Umi mengerti bahwa ini adalah keputusan besar yang harus dibuat. Tapi percayalah, kami hanya menginginkan yang terbaik untuk kalian berdua," ucap Umi Fatimah dengan suara lembut, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di udara.Faiz mengangguk, menco
"Hah? Beneran, Aisyah? Kamu terima?" ucap Faiz bertanya dengan penuh antusias."Iyaa, aku terima," ucap Aisyah sedikit tersenyum."Terimakasih, Aisyah. Terimakasih sudah mau menerima perjodohan ini," ucap Faiz, nampak begitu senang.Aisyah juga senang, namun karena gengsinya, ia berbalik meninggalkan Faiz. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum, dan hatinya berdebar-debar sangat kencang."Aduuh, apa ini? Namanya baper ya?" ucap Aisyah karena untuk pertama kalinya dia merasakan hal semacam ini.Melihat kepergian Aisyah, Faiz berteriak, "Calon istriku mau kemana?" teriak Faiz sedikit menggoda Aisyah.Aisyah berbalik, "Ihhh, Faizz! Apasiih!" ucap Aisyah mengulum senyumnya malu tauu!! Pipinya merona mendengar ucapan Faiz.Melihat tingkah Aisyah, Faiz bergumam, "Aku tidak menyangka bahwa takdirku akan menikahi gadis kecil seperti Aisyah. Aku tidak sabar menantikan melewati hari-hari bersamanya," gumamnya sambil tersenyum.Melihat Faiz tersenyum sendiri, Aisyah berkata, "Kamu kenapa senyum-s
Hari pernikahan mereka pun tiba. Aisyah duduk tengah di kursi make up, didampingi oleh ibunya. Di hari pernikahannya, Aisyah mengenakan hijab.“Waah, Aisyah, kamu cantik sekali. Kamu adalah klien tercantik yang pernah aku make up,” ucap MUA itu kepada Aisyah.“Terimakasih ya,” ucap Aisyah tersipu. “Memang betul, anak ibu ini sangatlah cantik,” ucap ibunya bangga.Aisyah berdiri di depan cermin, hatinya berdebar kencang, merasakan campuran gugup dan kebahagiaan. Kemudian, ibunya memanggilnya untuk duduk di hadapannya. Aisyah tersenyum sambil menatap mata ibunya dengan penuh kasih.Ibu memperhatikan wajah Aisyah dengan cermat. “Nak, ibu sangat bahagia bisa melihatmu menikah hari ini,” ucap ibunya sambil berkaca-kaca.Aisyah mengangguk menahan tangisannya. “Aisyah juga senang, ibu. Ibu bisa melihat Aisyah menikah,” ucap Aisyah dengan suara bergetar.Sementara di luar, Faiz merasa agak tegang. Penghulu telah tiba dengan para tamu undangan.Kini Faiz dan penghulu sudah duduk berhadapan, sa
"Ibu, bangunlah," ucap Aisyah sambil mengguncang tubuh ibunya. "Kak Faiz, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit," tambahnya, air mata mengalir dari matanya.Faiz mengecek denyut nadi ibunya, lalu berkata, "Innalillahi wa inna ilahi raji'un, wa inna ila rabbina lamunqalibun. Allahummaktubhu indaka fil muhsinin, waj'al kitabahu fi'illiyyin, wakhlufhu fi ahlihi fil ghabirin, wa la tahrimnaa ajrahu wala taftinna ba'dahu."Aisyah, ibu sudah tiada," ucap Faiz sambil memeluk Aisyah, turut menangis melihat keadaan istri dan anaknya yang terpukul. Faiz kemudian mengusap lembut kepala Aisyah, mencoba memberinya kekuatan.Fatimah melangkah gontai mendekati Dinda, "Mengapa kamu pergi begitu cepat? Kamu udah janji akan sembuh dan sehat, tapi mengapa kamu meninggalkan kita semua?" Tangis Fatimah pecah, memeluk erat tubuh Dinda."Umi, tenanglah," ucap Abi Faizal menenangkan Fatimah, lalu menatap Aisyah, "Nak, seperti yang dikatakan ibumu, Allah lebih menyayangi beliau sehingga mengambilnya. Kita harus be
"Assalamualaikum warahmatullah, Assalamualaikum warahmatullah"Setelah salam selesai, Faiz berbalik, dan Aisyah segera mencium punggung tangan Faiz, sementara Faiz mencium pipi Aisyah berkali-kali, mengelus rambutnya, dan memeluknya. "Humairaku, mungkin akan banyak masalah yang menghampiri kita, namun kita akan melaluinya bersama. Mungkin juga banyak kebahagiaan yang akan kita rasakan bersama," ucap Faiz dengan penuh kasih.Faiz melanjutkan, "Humairaku, mungkin di luar sana ada banyak pria yang lebih sholeh dariku, dengan iman yang lebih kuat, dan ketampanan yang lebih. Namun aku merasa sangat beruntung, bisa mendapatkan kasih sayangmu. Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu saat kau jatuh atau sedang terbang tinggi."Aisyah tersenyum bahagia mendengar ucapan Faiz. "Kak Faiz, dipertemukan denganmu adalah hal paling bahagia bagiku. Terima kasih telah menjadikanku istrimu, dan terima kasih karena telah membuatku percaya bahwa kehilangan bukanlah ak
Mata Aisyah terbelalak di bawah selimut, ia segera bangkit, memandang Faiz tajam, dan seolah-olah menutup tubuhnya lalu berucap, "Ihh, kak Faiz, apasiih! Mesum bangett!" ucap Aisyah kesal, memukul lengan Faiz, lalu berlari menuju kamar mandi untuk wudhu.Faiz tertawa, "Hahah, dasar bocah," sambil geleng-geleng kepala, "Humairaku, kan kita udah sah, nggakpapa kali ngelakuinnya, dapat pahala loh," teriak Faiz. Kemudian dari kamar mandi, Aisyah berteriak, "NGGAKK!!"Merekapun melaksanakan sholat tahajjud. Setelah selesai, Aisyah buru-buru bangkit, ingin naik kekasur, namun Faiz menghentikannya, "Ehh, mau ngapain?" tanya Faiz, Aisyah heran dengan pertanyaan Faiz, lalu berucap, "Ya kan, aku mau lanjut tidur," ucap Aisyah, menguap. Kemudian Faiz berkata, "Ini udah mau sholat subuh, kita tunggu aja ya? Sambil tadarusan," ucap Faiz lembut."Tapi aku ngantuk, kak Faizz," ucap Aisyah sedikit manja. Lalu Faiz tersenyum lembut, "Bentar, nggak akan ngantuk lagi kok, yu
Suara pecahan piring terdengar nyaring, Aisyah segera memungut pecahan kaca itu, namun ditahan oleh Faiz. "Humaira, kamu tidak usah, biar aku saja. Nanti tanganmu terluka," ucapnya, menghentikan Aisyah.Aisyah beralih menatap Fatimah, "Umi, maafkan Aisyah. Bukannya Aisyah membantu, malah Aisyah banyak membuat masalah," ucapnya, merasa bersalah.Fatimah menghibur, "Tidak apa-apa, sayang. Yang penting kamu tidak apa-apa. Tapi lain kali, hati-hati ya?" ucapnya lembut, kemudian diangguki oleh Aisyah.Tidak lama kemudian, mereka pamit untuk menuju rumah mereka. "Maaf ya, nak. Umi dan Abi tidak bisa anterin kalian. Besok kami akan keluar kota dan belum menyiapkan barang," ucap Fatimah."Ampun, umi. Kami berangkat sekarang ya," ucapnya, lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya, diikuti oleh Aisyah."Iya, sayang. Hati-hati ya," ucap Abi dan umi serempak.Faiz membukakan pintu mobil untuk Aisyah sambil berkata, "Silahkan masuk, Humaira. Cintaku, sayangku," dengan senyum yang jelas terlih
Mata Aisyah berbinar-binar saat menatap balon yang tergantung bertuliskan "Selamat Datang di Rumah Kita, Humairaku," serta beberapa karangan bunga berbentuk love."Tentu saja untukmu, Humairaku. Kalau bukan kamu, untuk siapa lagi?" ucap Faiz sambil mencium lembut kepala Aisyah."Aaaa, kak Faiz, ternyata romantis banget!" ucap Aisyah sambil bergelayut manja di pelukan Faiz. Faiz membalas dengan mengeratkan pelukan mereka.Detik berikutnya, Aisyah merenggangkan pelukan mereka dan matanya tertuju pada sebuah kotak besar yang sangat indah. Aisyah menunjuk ke arah kotak itu lalu bertanya, "Kalau yang itu untuk Aisyah juga?" Faiz menjawab, "Yap, betul. Itu juga milikmu, Humairaku."Aisyah segera berlari kecil dengan antusias membuka kotak tersebut dan... sebuah boneka menyembul keluar dari kotak itu. Di tangan boneka itu bertuliskan, "Humairaku, bolehkah aku unboxing kamu hari ini? Heheh ( ◜‿◝ )♡"Aisyah terdiam, memeluk tubuhnya sambil menatap wajah Faiz, lalu berucap, "Ihhh, kak Fa