Share

7. Insiden Pertama

**

“Pindah ke rumah lama? Apa maksudmu?”

William mengerutkan alis. Wajahnya menyiratkan rasa tidak setuju saat mendengar usulan dari Binar.

“Saya hanya nggak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya sama Mbak Rachel.”

“Apa yang bisa disalahpahami sama Rachel? Aku nggak ngerti apa maksudmu.”

Bagaimana Binar menjelaskannya? Padahal ia pikir sikap dingin Rachel kepadanya sangat kentara. Mengapa William tidak paham juga?

Perempuan itu kembali menunduk sembari mempermainkan garpu yang ia pegang. “Yah, saya hanya nggak ingin Mbak Rachel terganggu dengan perhatian yang anda berikan kepada saya, Tuan.”

“Perhatian?” Seperti baru saja menyadari hal ini, wajah William mendadak agak merona. “Yah … aku pikir itu hal yang wajar. Aku dengar trimester pertama kehamilan itu masa yang berat. Aku hanya ingin membantu.”

Wah, Binar sedikit kagum. Bahkan William mengerti hal-hal seperti ini. Rupanya pria ini sudah sangat siap menjadi seorang ayah. William adalah sosok yang tampan rupawan, berpendidikan, bergelimang harta, serta beristrikan perempuan mempesona seperti Rachel Aluna. Namun ternyata tetap ada satu sisi ketidakberuntungan yang ia miliki, yakni perihal keturunan. Tuhan memang maha adil, kan?

“Katakan saja kepadaku kalau kamu merasa kesulitan. Entah kamu sedang tidak enak badan, atau sedang menginginkan sesuatu, kamu bilang saja. Jangan salah paham Binar, bukannya bagaimana, tapi aku hanya lakukan ini agar proses kehamilanmu lancar.”

Nah, satu hal yang benar-benar bisa Binar percaya dari perubahan sikap William belakangan ini, adalah kalimatnya yang terakhir.

William melakukannya hanya demi anak yang sangat ia inginkan, bukan karena apapun.

“Bagaimana kalau saya ingin pindah saja ke rumah lama, biar nggak mengganggu Mbak Rachel di sini, Tuan William?”

Kedua alis pria itu sontak bertaut. “Maaf, Binar. Untuk yang satu ini, aku nggak bisa. Kamu harus tetap berada di sekitarku, agar aku lebih mudah memantau keadaanmu.”

Kedua bahu kecil Binar sontak merosot turun.

*

Binar berdiam diri di halaman samping rumah megah William Aarav senja hari ini. Sama seperti mansion yang sempat ia tinggali sebelumnya, halaman ini dipenuhi bunga beraneka warna. Binar setengah tidak percaya bahwa William yang sangat manly dan berwibawa itu menyukai bunga. Ah, ataukah Rachel yang demikian? Justru tidak mungkin, karena Rachel sepertinya acuh kepada segala hal di rumah ini selain pekerjaannya sendiri.

“Nyonya Binar, ini sudah sore. Anda harus masuk.” Seorang pegawai rumah berujar dari ambang pintu rumah. Binar menoleh, berusaha tersenyum saat perempuan berseragam itu menunduk dengan hormat kepadanya. “Anda nanti bisa masuk angin kalau terus berada di luar sampai sore.”

“Iya, terima kasih. Aku akan masuk.” Binar menjawab dengan bibir menyungging senyum. Ia beranjak dari bangku taman. “Apakah Tuan William sudah datang?”

Perempuan muda itu menggeleng. “Belum. Mungkin sebentar lagi. Kalau Nyonya Rachel, beliau saja baru datang.”

Binar mengangguk sembari masuk rumah. Ia berpikir-pikir, haruskah datang menyapa istri pertama suaminya? Ataukah tidak usah saja sebab takut mengganggu?

Ini adalah rumah Rachel, dan Binar sadar dirinya menumpang di sini. Maka, ia memutuskan pilihan yang pertama. 

“Boleh nggak kalau aku bawakan teh atau sesuatu buat Mbak Rachel?” Perempuan itu bertanya kepada pegawai rumah yang masih berada di belakangnya, yang kemudian ditanggapi dengan senyum lebar.

“Kebetulan sekali, biasanya Nyonya Rachel memang suka minum teh sepulang bekerja. Tunggu sebentar, biar saya siapkan, ya.”

Binar mengangguk senang. Ia pikir jalannya untuk mendekatkan diri kepada nyonya rumah yang asli bisa ia mulai dari hal-hal kecil seperti ini.

Maka beberapa saat kemudian, perempuan itu sudah datang ke meja makan dengan membawa nampan kecil berisi teko kaca dan beberapa gelas. Kebetulan sekali, Rachel sedang berada di sana. Binar mengayun langkah mendekatinya.

“Mbak?” sapanya dengan senyum merekah. “Mau minum teh bersama? Mbak baru pulang, kan?”

Rachel yang sedang menggulir layar ponsel menoleh mendengar panggilan itu. Pada awalnya, mimik mukanya tampak penuh cela saat melihat Binar. Namun kemudian setelah diam sesaat, perempuan cantik itu mengedikkan dagu.

“Boleh. Sini, kemarikan tehnya.”

Dengan senang hati Binar mengulurkan nampan berisi teko kaca itu kepada yang lebih tua. Ia pikir gayung bersambut, ia bisa memperbaiki hubungan dengan perempuan menawan itu. Namun apa yang terjadi?

PRANG!

Nampan itu jatuh terbanting ke atas lantai marmer. Isinya pecah berkeping-keping, dengan air teh panas yang tumpah ke mana-mana, termasuk mengenai telapak kaki Rachel. Seketika teriakan kesakitan menggema nyaring, memenuhi ruang makan yang lengan dan mewah itu. Binar terkesiap, seketika seluruh tubuhnya mendingin, melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan olehnya.

“Astaga, Mbak Rachel! Mbak, Mbak nggak apa-apa? Astaga, gimana bisa–”

“Apa yang kamu lakukan?” hardik Rachel sembari masih mendesis kesakitan dan memegangi telapak kakinya yang tersiram teh. “Binar, kamu sengaja melakukan ini sama aku?”

“Saya nggak sengaja. Mbak, saya benar-benar nggak sengaja. Saya pikir Mbak sudah pegang nampannya–”

“Apa kamu nggak tahu apa profesiku? Kalau sampai kakiku kenapa-kenapa, gimana dengan karirku?”

“Mbak, saya–”

“Ada apa ini? Rachel, ada apa?”

Belum sempat Binar melanjutkan kata-katanya saat William datang. Pria itu mendekat dengan langkah berderap dari pintu depan, tampak terbelalak melihat kekacauan yang terjadi di ruang makan.

“Rachel, Binar, kenapa ini?”

“Saya–”

“Willy, tolong! Binar sengaja jatuhin teko berisi air panas ke kakiku. Tolong, ini sakit banget. Kakiku kebakar rasanya,” tuduh Rachel tiba-tiba.

William mengerutkan keningnya. “Binar?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status