Masih di rumah minimalis yang sama. Diana berlarian mengejar Yuda yang hendak berangkat kerja. Merasa tak bisa mencapai tubuh Yuda, wanita itu langsung berteriak."Kau masih cari Aruna!"Langkah kaki Yuda seketika terhenti dengan tangan menggantung di hadapan pintu mobil. Pria itu segera berbalik, nampak marah dengan nama yang disebutkan oleh Diana."Jadi kau yang membongkar dompetku? Dasar sialan!"Diana menarik napas. Rupanya pria itu telah menyadari sejumlah uang yang hilang. Melihat Diana yang begitu santai usai mencuri, membuat Yuda merangkai cara untuk menghukum di dalam otak."Apakah itu lebih penting ketimbang Aruna?" tanya Diana."Apa aku meracau saat mabuk?" Yuda justru balik bertanya, satu hal yang pria itu takuti dengan jelas, yakni pembunuhan malam itu."Aku melihat Aruna, foto wanita yang ada di dompetmu."Yuda menatap serius, kemudian terburu mendekat. "Kau bilang apa barusan?"Bibir Diana langsung mengulas senyum, nampak senang melihat Yuda yang tertarik. "Aruna, aku m
Aruna membiarkan suaminya tetap memeluknya. "Kau harus minum obat, aku akan buatkan sarapan untukmu."Mendengar kata obat. Erland langsung menyesap kulit lehernya. Tentu membuat Aruna berusaha mendorong suaminya untuk menjauh."Erland," sebutnya dengan nada protes."Diam, aku sedang menerima obatku.""Kau tidak waras!"Erland tak menghiraukannya. Tetap menyesap lehernya, bahkan lebih antusias. Aruna yang kesal mengambil sendok di dekatnya.Telinga dia mendengar suara sendok beradu, langsung melirik ke arah tangan Aruna. Lantas, Erland terburu menjauh sendiri. Tidak masalah jika tenaga Aruna saja, kalau sendok bisa jadi benjol."Sayang, apa kau ingin memukul dengan sendok?" tegur Erland dengan menatap tak percaya.Jemarinya menunjuk kamar di lantai atas. "Pakai bajumu, setelah itu tunggu aku buat sarapan dan terakhir minum obat. Apa tiga hal itu saja sulit bagimu?"Erland tersenyum. "Baiklah, istriku yang galak."Netra Aruna mengikuti tubuh Erland yang berjalan pergi dan menaiki anak t
Sementara Yuda yang telah dibebaskan dari tuduhan. Nampak kesal, karena pria itu menyewa orang untuk mencari tahu keberadaan wanita bernama Irene. Sayangnya, jangankan mendapat informasi, orang yang disuruh pun tak kembali sama sekali."Siapa orang yang menyembunyikan kamu, Aruna? Sehebat apa dia? Hingga aku kesulitan mencari dirimu."Yuda menyandarkan punggung pada sofa dengan mata menatap langit-langit. Pria itu nampak kesal, membunuh Diana bukanlah orang lain, justru harus Yuda sendiri. Sayangnya pria itu sudah keduluan orang lain."Harusnya dia mati sebelum aku memberinya uang," gerutu Yuda dengan kesal.Tapi, pria itu jauh lebih geram. Karena tak mendapat petunjuk terbaru mengenai Aruna."Apa dia berbohong demi uang? Tak mungkin Aruna mengganti namanya tiba-tiba."Lantas, Yuda menatap jam di dinding. Pria itu harus bekerja untuk mendapatkan uang dan menyewa orang lagi. Meski, Yuda tak yakin, tapi dia tak mau berhenti mencari keberadaan Aruna.***"Nyonya, tuan menelpon untuk menc
Yuda berdiri dengan tangan penuh berkas terkumpul. Pria itu menatap nomor lift yang Aruna naiki dengan serius. Hingga tersenyum sinis."Jadi, tempatmu berada di lantai paling atas ya Aruna? Apa kau ingin aku menjemputmu, Sayang?"Membayangkan Aruna bersimpuh dengan tangan memohon ampun pada Yuda yang memegang ikat pinggang. Pria itu tersenyum senang. Tapi, kebahagiaan sesungguhnya bagi Yuda adalah menculik Aruna dan mengurung wanita itu.Sementara Erland sendiri sedang sibuk menatap layar presentasi sembari menanti Daffa membawakan dokumen yang diminta. Tapi, pintu yang tiba-tiba diketuk membuat pandangan seluruh orang tersita.Begitu pula dengan Erland yang bersiap untuk memarahi karena telah mengganggu. Namun, amarah itu semakin memuncak bersama rasa panik yang menjalar. Saat mata dia menyaksikan sosok Aruna berdiri di ambang pintu."Erland," sebut Aruna dengan tangan mengangkat berkas kuning. Terburu Erland berdiri dan meninggalkan rapat demi mendekati Aruna. Membuka pintu masih d
"Bukankah ini sudah siap?" Aruna bertanya dengan mata menatap sebentar, demi memastikan sekali lagi.Aruna menatap milik Erland yang sudah berdiri. Tapi, tangan Aruna sepenuhnya berada di sana. Erland tersenyum melihat Aruna yang menelan ludah."Gerakkan tanganmu, Sayang," tuntun Erland.Atas permintaan itu, Aruna mulai menggerakkan tangannya membuat Erland memejamkan mata. Dia menikmati perbuatan Aruna. Namun, Erland yang tak sabar langsung merebahkan dirinya.Aruna sendiri menatap tangannya dengan tak percaya. Pasalnya, ia merasakan bagaimana tekstur milik suaminya. Aruna yang sibuk dengan pemikirannya sendiri, tersentak dengan tubuh yang sudah bersatu mulai bergerak karena Erland."Ah sebentar."Jemari Aruna yang mendorong pundak, langsung digenggam oleh Erland. Lantas kembali menusuk dengan cukup kasar."Pelan-pelan," keluhnya."Tenang saja, kau akan lebih puas nanti," bisik Erland kemudian menyesap lehernya sangat kasar.Aruna menggigit bibir yang dipoles lipstik, guna meredam su
Aruna benar-benar kesal hingga memukul Erland dengan kasar. Erland mengadu kesakitan dan sepenuhnya berhenti meraba. Apalagi tatapan tajam dari sang istri."Aku istrimu, bukan wanita bayaran yang bisa kau ajak main di mana saja!" sewotnya.Erland menatap dalam diam, lantas mulai bicara, "justru sudah jadi istri, di mana saja boleh.""Kau masih bicara?" tegurnya kesal.Mata Erland tetap membingkai wajah sang istri. Diam jauh lebih lama, dan membiarkan Aruna keluar dari mobil. Dia mengikuti tubuh sang istri dengan tatapan mata."Sial," gerutu Erland pelan dan menarik napas.Lantas, dia ikut keluar dari mobil. Membiarkan mata Aruna menatap sangat tajam sekaligus marah."Kita ke sini untuk apa? Belanja atau tidak!""Belanja!" sahut Erland sama kesalnya.Aruna mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Erland yang menghela napas. Dia kerap membandingkan Aruna dengan Irene, yang memiliki karakter terbalik. Terkadang Erland merasa menyenangkan hidup bersama Aruna, dengan sifat berbedanya. Tapi
"Kau bilang apa?" tanya Erland dengan amarah yang jelas.Aruna masih terlihat santai. "Iya, aku ingin menambahkan foto baru di dinding."Erland diam dengan mata menatap ke arah lain. Sementara Aruna yang melihat suaminya tak menyahut, membuatnya kembali bicara."Aku lihat hanya foto lama, jadi aku ingin berfoto dan memajangnya di sisi yang kosong. Bagaimana menurutmu?""Jadi, kau ingin mengisi dinding yang masih kosong?" tanya Erland setelah mendengar dan amarah sedikit menghilang."Benar." Aruna terdengar antusias.Hal itu, mengundang Erland untuk menatap tertarik pada sang istri. Kehidupan seperti apa yang Aruna jalani dahulu? Itulah yang dia pikirkan. Sosok wanita cerita sekaligus galak, Erland penasaran dengan segala hal tentang Aruna."Baiklah. Aku akan mendatangkan fotografer ke rumah, kemudian mencetaknya." Erland setuju kalau soal menambahkan, bukan mengganti."Oke," sahutnya masih terlihat senang.Jemari Erland mengusap wajahnya. "Apa kau mengantuk?""Belum. Aku masih ingin m
Meski kesal atas pukulan telapak tangan Aruna yang membuat hidung bangir berdenyut. Tapi, Erland memutuskan untuk berhenti sejenak, karena sang istri kesakitan dalam berhubungan."Apa dengan bantal cukup?" tanya Erland."Akan lebih cukup, jika kau berhenti dan biarkan aku istirahat."Erland tak menurut. "Kita akan pakai bantal dan aku akan lebih lembut."***Erland mengetuk meja dengan jemari. Dia nampak tak tenang, memikirkan fotografer yang datang ke rumah. Mengarahkan Aruna berpose."Kau yakin fotografernya seorang wanita?" tanya Erland membuat Daffa yang membereskan meja langsung melirik."Bukankah Anda sudah memastikannya sendiri, Tuan?"Lantas, mata Erland menatap ponsel yang menunjukkan proses pemotretan. Memang seorang wanita yang mengarahkan sekaligus memfoto Aruna."Meski begitu, aku tetap tidak suka orang lain tahu wajahnya, bahkan menyentuhnya," ujar Erland membuat Daffa menatap dalam diam.Dia takut membiarkan Aruna seorang diri, dengan pintu terbuka dan fotografer bebas