Zara termenung di jendela kamarnya, menatap taman belakang yang asri karena tangan dingin sang Bunda. Ucapan Arsha dan Angga siang tadi terngiang dalam benaknya.Semuanya mengatakan perjuangan Arkana dalam mencintainya. Arkana juga seringkali mengatakan cinta, pria itu sampai mengatakan jika Zara tidak perlu mencintainya cukup ia saja yang mencintai Zara.Lalu ingatannya ditarik mundur ke masa lalu.FLASHBACK ON “Zar, lo ada masalah apa sih sama Kak Arkana sampe dia terus-terusan ngisengin elo?” Ariana yang merupakan teman sekelas yang paling dekat dengan Zara bertanya demikian. “Enggak tau gue juga, naksir kali dia sama gue.” Zara menjawab tak acuh, ia mengatakan apa yang dikatakan sang Bunda kepadanya. Arkana bersikap seperti itu karena menyukainya.“Jangan ke ge’eran, lo ... Kakak kelas yang suka sama dia tuh cantik-cantik tauuu!” Ariana menekan pipi Zara dengan telunjuknya di akhir kata.Zara hanya tersenyum, ia memang sedang berbicara asal.Kantin yang saat itu ramai seketika
“Tolong lengkapi datanya pada setiap quartal dan tolong carikan rencana anggaran beserta realisasinya sampai lima tahun ke belakang,” titah Willy kepada sekertarisnya yang bernama Winda seraya memberikan berkas yang telah ia tanda tangani.“Baik, Pa ... saya permisi,” pamit Winda kemudian undur diri setelah mendapat anggukan dari Bosnya.Perhatian Willy kembali ia alihkan pada layar komputer, jemarinya begitu cepat menekan huruf beserta angka pada keyboard.Tenggelam berjam-jam dengan pekerjaan yang begitu ia syukuri setelah lama dalam pelarian hanya mengandalkan otot untuk mencari sesuap nasi.Sebuah pesan masuk ke ponselnya lantas tersenyum saat membaca isi pesan tersebut.Maya : Ayah sayang, jangan lupa makan siang. Bunda mau jalan-jalan sama Zara, boleh ‘kan?” Willy langsung mengetikan sesuatu membalas pesan istrinya.Willy : Boleh donk, istriku tercinta. Kabari Ayah pulang jam berapa, nanti Ayah jemput.Maya : Siap cintaku. Willy : Hati-hati ya, Bun. Ayah titip Zara. Ayah sayan
Apa pun yang Arkana inginkan harus terlaksana saat itu juga meski harus mengorbankan banyak hal.Seperti saat ini, Arkana bisa terbang pulang ke Indonesia dalam kurun waktu kurang dari satu jam.Tidak peduli bila Pilot maupun awak kabin kerepotan bersiap dan mendadak mendaftarkan penerbangan mereka ke menara kontrol dan harus merubah jam terbang pesawat lain.Ia juga tidak mempedulikan kerja sama bisnis senilai Triliunan rupiah dan malah meninggalkan sekertaris, Direktur terkait dan bagian legal untuk mendengar keputusan klien esok hari.Pokoknya Arkana harus pulang malam ini juga untuk menolong Zara dan Bundanya yang diculik oleh Baron.Raditya bahkan mengirim foto Zara yang mengenaskan baru bisa ia buka ketika telah mengisi daya pada ponselnya.Arkana belum bisa merubah raut wajahnya yang tegang, penuh emosi bercampur cemas.Baron, satu nama itu yang terngiang dalam benak Arkana setelah mendapat seluruh informasi dari Raditya.Willy di kabarkan syok dan ia bingung harus kemana menca
“Nak Arkana.” Suara Willy terdengar lemah dengan raut wajah memelas.Arkana segera menyambutnya, tidak perlu memelas pun ia akan membantu pria itu terlebih Zara adalah gadis yang sangat dicintainya.“Om tenang dulu, saya udah tau di mana Zara dan Tante Maya di sekap ... sekarang saya dan yang lain akan menjemput Zara.” “Nak!” Willy berseru sambil menggelengkan kepala. “Jangan ... ini masalah Om, biar Om yang menyelesaikannya sendiri dengan Baron.” Willy menyayangi pria yang mencintai anaknya itu, tidak ingin Arkana terseret oleh masalahnya. “Saya sudah menyiapkan uangnya, Om.” Arkana memberi kode kepada Roger agar membawakan dua tas hitam berisi uang.“Biar saya yang melakukan pertukaran.” Arkana menegaskan.Willy menahan tangan Arkana, ia menggelengkan kepala lagi. “Pikirkan keluargamu, pikirkan Zara ... biar Om saja dan bila Om tidak bisa keluar dari sana, tolong jaga Zara untuk Om.” Willy tidak dapat membendung air matanya, ia menangis menyesali pertemuannya di masa lampau hing
“Pak Baron, saya mohon ... anda bisa bunuh saya tapi tolong lepaskan anak dan istri saya ... mereka tidak bersalah.”Di tengah rasa sakit karena timah panas bersarang di tempurung lututnya, Willy Darmawan memohon kepada Baron sambil bersimpuh di lantai.“Bawalah uang ini dan pergilah,” ujar Baron sambil meringis.Pria itu tertawa tapi terdengar kering bahkan siapa pun pasti mengira bahwa tawa Baron hanya untuk menutupi ketakutannya.“Ada hubungan apa anda dengan Arkana Gunadhya?” tanya Baron, menaikan dagu Willy dengan moncong senjata api.Zara yang masih sadarkan diri berteriak sekuat tenaga tapi tertahan oleh kain yang menutupi mulutnya, wajahnya telah basah dengan keringat dan air mata.Tatapan Zara memohon agar Baron tidak melukai Ayahnya, satu timah panas saja di tubuh sang Ayah sudah cukup membuat hati Zara hancur berkeping-keping.“Nak Arkana adalah kekasih anak saya, dia juga yang membantu saya mengumpulkan uang sebanyak ini ... .” Willy memohon, apapun akan ia lakukan meski ha
Author Note :Teman-teman pembaca, Author meminta maaf karena ada kesalahan publish di Chapter sebelum ini.Tapi sudah Author publish ulang dan bisa teman-teman baca ulang ya, Terimakasih .**** “Berapa orang kita yang meninggal?” Arkana bertanya pada Darius yang berdiri di belakangnya.“Tiga orang ... tujuh luka berat dan sisanya luka ringan,” balas Darius melaporkan.“Beri santunan yang besar untuk keluarga tim kita yang meninggal dan beasiswa untuk anak-anak mereka,” titah Arkana dengan nada rendah.“Oke,” balas Darius cepat.Arkana menatap sendu pada wanita paruh baya yang terbaring tidak berdaya di atas ranjang ruang ICU.Dokter yang menangani Maya menceritakan banyak organ dalam di tubuh Maya yang rusak akibat benturan atau pukulan benda tumpul.Arkana menduga bila Baron menjadikan Maya pelampiasan karena ia tidak bisa habis-habisan menyiksa Zara mengingat gadis itu adalah incaran Jordi.Beberapa jam setelah selesai operasi—kondisi Maya menurun dan saat ini beliau sedang dalam
“Emh ... .” Desahan merdu terdengar memenuhi ruangan kamar dominasi warna coklat yang maskulin.Raditya mendorong tubuhnya cukup keras, menghujam Bunga yang tungkainya melingkar di pinggang pria itu.Peluh membanjiri tubuh mereka karena gelora hasrat membakar dari dalam.Bibir Raditya mengulum, mengisap bahkan menggigit puncak berwarna coklat yang telah mengeras di dada Bunga. Bunga melengkungkan tubuhnya ke atas, mendekap kepala Raditya di dadanya.“Yang lama di situ, Dit ... emh.” Bunga setengah memohon.Desahan Bunga yang sensual membuat gerakan Raditya kian cepat.Tidak puas dengan posisi tersebut, Raditya menegakan tubuh dan menggerakan Bunga agar merubah posisi berbaringnya menjadi menyamping tanpa melepaskan apa yang telah tertanam di dalam perempuan itu, Raditya kembali menghentak, awalnya perlahan kemudian lama-lama semakin kencang.Bunga yang mendapatkan hujaman bertubi-tubi mengerang, mendesah bahkan berteriak tidak peduli tetangga di apartemen Raditya akan mendengar.Rasa
Zara merasakan tubuhnya remuk redam dan ia seperti tidak memiliki tenaga untuk menggerakan kaki juga tangannya.Bau disinfektan segera saja menyerang indra penciumannya, kening Zara berkerut saat merasakan kepalanya yang sakit seperti baru saja dihantam oleh palu Thor.Perlahan Zara membuka mata, meski samar ia bisa melihat sosok wanita memakai pakaian putih-putih sedang berdiri di sampingnya.Zara mengerjap lagi menajamkan indra penglihatannya, kini pandangnya sedikit jelas dan ia terkejut saat mendapati Bunga sedang melakukan sesuatu pada infusan yang terancap di tangannya.Seketika Zara menegakan tubuh, alarm dalam tubuhnya berbunyi nyaring membuatnya dalam mode waspada karena bisa saja Bunga ingin berbuat jahat kepadanya saat ini.Tapi kemudian Zara memegangi kepalanya yang luar biasa sakit.“Pelan-pelan, lo baru siuman setelah empat hari,” tegur Bunga mengingatkan dengan nada ketus.Zara memejamkan mata, menarik mundur ingatannya secara paksa karena ia bingung kenapa bisa berada