"Kelihatannya dia pria yang baik. Sejak kapan kalian bersama?" Samantha akhirnya membuka suara saat sedang berduaan saja dengan Brianna.Ponsel Steven tiba-tiba berdering, dan dia sedang keluar untuk menjawab teleponnya.Brianna menundukkan kepalanya untuk menjawab Samantha, "Kami pacaran beberapa tahun lalu, tapi kemudian perpisahan kalian membuatku tidak percaya lagi akan cinta, dan akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Tapi setelah kami bertemu lagi, dia berhasil meyakinkanku untuk menikah dengannya."'Ya, Steven berhasil menikahiku dengan uang.' pikir Brianna di dalam hatinya.Brianna tidak mungkin menjelaskan kepada ibunya bahwa dia menikah dengan Steven agar bisa membiayai pengobatan Samantha.Samantha memegang tangan Brianna, "Brie... Tidak semua orang seperti ayahmu. Jangan berkaca pada kegagalanku, tapi lihatlah diluar sana masih banyak yang berbahagia sampai maut memisahkan. Kamu berhak untuk bahagia. Aku bisa lihat dia sangat perhatianmu." Samantha menepuk pelan
Brianna tidak menyangka Steven akan memperlakukan dia dan Samantha dengan sangat baik. "Steven... Kamu terlalu sempurna untukku." Brianna menyentuh ranjang besar dan terlihat sedih.Steven adalah satu-satunya pria yang pernah ada di dalam hidupnya. Tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan Steven padanya saat ini. Melihat perubahan sikap Steven pada Brianna, membuat Brianna memiliki sedikit harapan, mungkin hubungan ini akan berhasil.Brianna terperangah dengan kamarnya yang bahkan lebih luas daripada kamar apartemen tempat mereka tinggal sebelumnya. Kamar itu di dominasi warna putih dan abu-abu. Pakaiannya sudah terlipat rapi di lemari pakaian. Sebagian kecil adalah pakaian miliknya, sebagian besar lainnya adalah baju-baju baru yang disediakan Steven untuknya, berbagai model dan warna tergantung di sana. Seperti memindahkan butik ke dalam lemari pakaiannya. Ada juga meja rias dengan setumpuk produk mahal perawatan wajah, kulit, rambut, dan parfum.Malam hari....Brianna dengan hati-hat
"Wah.. wah... wah... Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini… Apa yang kamu lakukan di sini, Brianna?" Dia mencibir pada Brianna.Tanpa diduga Brianna berpapasan dengan Lisa Gonzales di kamar kecil. Wanita itu mengenakan gaun hitam super ketat, menunjukkan lekuk tubuhnya. Dia memiliki rambut pirang bergelombang panjang dan riasan tebal di wajahnya."Terserah apa yang mau kulakukan, bukan urusanmu. Toh hotel ini bukan milikmu..." Balas Brianna santai."Maaf, saya tidak bermaksud menghina, hanya saja seingatku, kau hanya bekerja sebagai penjaga toko pakaian. Tidak mungkin gajimu cukup untuk makan di restoran ini, kan." Melihat Brianna tidak meresponnya membuat hatinya mendidih. "Ah... Kamu di sini untuk 'terima pesanan' pria kaya, kan? Atau kamu mencari om-om senang?" Ujar Lisa dengan gaya yang dibuat-buat.Brianna mengepalkan tinjunya karena marah. Sudah satu tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, Saat itu Brianna tak bisa membalas hinaan ibu dan anak itu karena statusnya
Keesokan harinya, saat Brianna bangun dari tidurnya, dia melihat Steven baring di sebelahnya, masih tidur lelap. Tanpa sadar Brianna memperhatikan Steven yang sedang tidur. Wajahnya tampan nyaris sempurna, hidungnya mancung, alis matanya tebal, bibirnya yang penuh membuatnya tampak menggoda."Sudah cukup melihatnya?" Tiba-tiba pria yang sedang tidur itu mengeluarkan suara mengagetkan Brianna.Dengan spontan Brianna bangkit dari ranjang, dan terhuyung-huyung karena pusing. Tangan Steven dengan sigap menangkapnya dan menariknya duduk kembali."Bangun tidur jangan langsung tiba-tiba berdiri seperti itu, otakmu akan kekurangan oksigen." Kata Steven sambil menatapnya dalam, membuat Brianna tidak berani membalas tatapan matanya.Steven bangun dan menelepon, "James, tolong bawakan pakaian untukku dan istriku. Dan minta bagian restoran membawakan sarapan. Terima kasih."Setelah menelepon dia pun masuk kamar mandi dan mandi. Setelah beberapa saat pusingnya hilang, Brianna kembali bangkit dari r
Steven dan Brianna keluar dari hotel bersama. James sudah menunggu mereka di lobi hotel. Tanpa mereka sadari, Lisa yang juga menginap di hotel itu, melihat mereka keluar dari lift bersama. Tangan Steven memeluk pinggang Brianna dengan mesra. Lisa memotret pasangan itu diam-diam sampai mereka menaiki mobil Maybach hitam dan pergi. Bibirnya menyeringai jahat melihat foto yang dia ambil. "Aku ada rapat jam 10 nanti, tidak bisa mengantarmu. James akan mengantarmu pulang sesudah menurunkanku di kantor, atau kamu bisa ikut denganku ke kantor.""Tidak perlu. Aku akan menemui ibuku di pusat rehabilitasi." Sela Brianna."Baiklah, pusat rehabilitasi searah dengan kantor, aku akan mengantarmu dulu."Setibanya di pusat rehabilitasi, Brianna segera mencari ibunya. Samantha sedang berada di taman sambil membaca buku."Bu, aku datang." Brianna menyapa dan mencium pipi Samantha."Kamu sudah datang. Steven tidak datang bersamamu?" Tanya Samantha sambil melirik mencari sosok menantunya."Tidak Bu, dia
"Jadi, Ibu berpikir aku adalah wanita simpanan Steven?" Akhirnya Brianna mengerti maksud Samantha. Brianna mengira ibunya tahu dia terpaksa menikah dengan Steven untuk biaya pengobatan ibunya. Tapi ternyata Samantha mengira kalau dia hanyalah wanita simpanan."Bu, sesudah rumah tanggamu hancur karena seorang wanita simpanan, mana mungkin aku mengikuti jejak menjadi wanita simpanan juga? Kami benar-benar menikah, Bu. Aku lajang, dia juga lajang, kami sah suami dan istri Bu." Jawab Brianna sedikit kecewa karena Samantha meragukannya."Mana buktinya kalau kalian sudah menikah? Mana foto pernikahan kalian? Dan mana cincin pernikahanmu?" Tanya Samantha curiga."Kami mendaftarkan pernikahan kami di catatan sipil, dan buku nikah disimpan di brankas Steven. Dan cincin... Aku tidak memakainya." Bohong Brianna. "Kau kan tahu aku tidak suka memakai perhiasan." Lanjutnya lagi."Sebaiknya kamu tidak membohongiku, Brie.""Aku tidak membohongimu, bu. Kamu ingin melihat cincinku? Besok aku akan memp
"Ah..."Brianna tersentak kembali dari pikirannya, dan tangannya tidak sengaja menyentuh panci sup ayam yang mendidih."Apa kau baik-baik saja?" Sylvia bertanya dengan cemas sambil mematikan api."Aku baik-baik saja, Bibi Sylvia." Dia berbisik menahan rasa sakit yang membakar di tangannya."Sini, aku akan mengobati tanganmu." Bibi Sylvia membujuknya. "Tidak apa-apa Bibi, aku bisa mengobatinya sendiri nanti. Bisakah kamu membantuku menyelesaikan masakan ini, Bibi Sylvia?"“Jangan khawatir, serahkan padaku. Sebaiknya obati lukamu sekarang dan istirahatlah. Aku akan memanggilmu saat makanan sudah siap.”"Oke Bibi, maaf sudah merepotkanmu."Di luar terdengar suara mesin mobil berhenti. Steven masuk ke rumah dengan mantel tergantung di lengannya. "Selamat datang di rumah, Steven." Sapa Sylvia sambil mengambil mantel dari tangan Steven."Terima kasih, Bibi Sylvie. Di mana Brianna?" tanya Steven penasaran."Nyonya Brianna ada di kebun." Jawabannya serak.Steven segera berbalik dan menuju ke
'Haruskah aku memberitahu Steven?' Pikir Brianna sambil menaiki tangga menuju kamarnya dan Steven. Ini adalah pertama kalinya dia akan tidur di kamar ini, bersama dengan Steven. Namun setelah situasi canggung diantara mereka di meja makan tadi, membuatnya ragu sejenak.Akhirnya dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu.'tok... tok...'Tidak terdengar jawaban dari dalam kamar.'Mungkin dia masih marah...'Brianna mengurungkan niatnya untuk menemui Steven dan kembali ke taman mencari udara segar. Saat Brianna hendak melangkah menjauhi kamar, pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan Steven meraih tangannya."Apa yang kamu lakukan dengan mengetok pintu? Ini kamarmu, kamar kita!" Steven menyeret Brianna ke kamarnya. Terdengar sedikit nada kesal dari kata-katanya.Steven hanya mengenakan handuk yang melilit menutupi tubuh bagian bawahnya. Rambut hitamnya masih basah, meneteskan air ke dadanya yang bidang. Melihat Steven yang setengah telanjang, wajah Brianna memerah. "Kaa...Kamu telanjang..."