Part 13Cika adalah gadis nakal yang melindungi dirinya sendiri. Memilih diam dan membalut lukanya dalam keheningan. Tak jarang terbangun tengah malam hanya ingin meratapi nasib tanpa ada yang tahu. Menangis sambil memeluk boneka kesayangan pemberian dari pembantu yang merawatnya dulu.Iya, hanya sebuah boneka saja, ia dapatkan dari seorang pembantu. Berkali-kali mengurai kenangan yang dilewati semasa masih kecil hingga dewasa, tetap tidak ia temukan Ines ada di sana. Sosok yang dipanggil mama sejak dirinya bisa berbicara itu, tetap diam. Seingat Cika belum pernah sekalipun Ines memanggil Namanya, menyuruh makan atau apapun.Pernah suatu ketika, saat ulang tahun Kevin, kakak semata wayangnya yang dirayakan secara besar-besaran dan mewah, Cika meminta hal yang sama terhadap Ines. Bukan makian, buka juga hardikan, tetapi perempuan itu tidak mau mendengar atau menanggapi sama sekali. Rasanya, ia memang hadir dalam keluarga itu karena tidak dibutuhkan sama sekali.Saat itulah, Siti, pemb
Part 14“Kamu punya teman curhat sejak dulu?”“Tidak.”“Kenapa?”“Aku malu bercerita.”“Jangan malu bercerita asalkan pada orang yang tepat,” kata Aini lagi.“Aku belum menemukannya.”“Kamu boleh cerita sekarang,” bujuk Aini. “Pada aku. Dan aku janji tidak akan memberitahu pada siapapun,” janji Aini.Cika menangis dan mulai bercerita. Aini pura-pura terkejut agar Cika tidak marah kalau ia sudah melihat tulisan ungkapan hatinya.“Kenapa dia membenciku?” tanya Cika.Aini diam. Memikirkan apa yang tepat untuk dikatakan. Itu masalah yang serius. Masalah keluarga Cika. Namun, ia kasihan pada Cika yang tidak pernah tahu apa alasan ibunya demikian.Mereka sama-sama diam, menikmati sinar rembulan yang berjalan semakin ke tengah. Angina malam berdesir halus menerpa wajah keduanya.Aini seharusnya tidak perlu masuk terlalu jauh pada kehidupan Aira dan Cika. Ia semestinya abai dengan apa yang menimpa kedua anak itu. Namun, hatinya begitu sakit mendapati kenyataan jika teman-teman kecilnya itu me
Part 15“Aini, ayo, kenalan sama mbah kakungnya Aira,” ajak Nusri.Aini dengan malu-malu menurut. Melangkah di belakang Aira dan Nusri. Aira terus berceloteh bahagia.Mereka bertemu Hanif dan saling berbincang. Hingga tak terasa, waktunya Hanif dan Nusri sudah selesai.Di sudut aula yang lain. Seorang lelaki gagah terus mengamati Aira.“Kami pamit dan titip Aira, ya, Aini,” kata Nusri.Aira menangis saat akan ditinggal kakek neneknya.“Katanya sudah betah, kok menangis?” tanya Nusri.“Aku mau ketemu Ayah,” jawab Aira.“Doakan Ayah dapat rezeki, ya? Biar bisa pulang menemui kamu,” kata Nusri.Aira mengangguk. Ojek yang tadi mengantar telah siap kembali membawa Nusri dan Hanid. Dengan berat hati, Nusri meninggalkan Aira sambil menangis. Bagaimanapun, ia sangat tidak tega membiarkan cucunya yang masih kecil hidup di sana. Ingin rasanya membawa pulang dan mendidiknya di rumah.“Sudah hilang mbahnya, ayo kita masuk,” ajak Aini.Aira menurut sambil mengusap terus air matanya. Ia sangat sedi
Part 16“Kamu ditanya apa saja tadi sama ayahnya Cika?” tanya Aini setelah aira bersamanya.“Banyak.”“Apa saja?”“Aku sudah makan apa belum. Aku salah jawab belum, mau diajak makan berdua naik mobil.”“Teru?” dintaya tentang Ayah kerjanya apa.”“Kamu jawab jujur semuanya?” tanya Aini“Lain kali kamu harus hati-hati sama orang itu ya?” titah Aini.“Iya, Mbak. Tapi dia tadi tidak apa-apain aku kok, Mbak,” kata Aira. “Tapi dia bilang kalau Ayah dan Ibu adalah temannya. Dia lihat wajahku katanya mirip Ayah dan Ibu, makanya sangat kasihan sama aku.”Aira masih terlalu kecil dan bisa saja dikelabui. Tidak ada kebetulan yang sangat kebetulan seperti itu. Orang tua Aira rumahnya jauh dengan ayah Cika. Dari pondok pesantren itu saja, sudah berlawanan arah. Rumah Aira ke arah barat dan rumah Cika ke arah timur.Itu yang dipikirkan Aini.Aini tidak bisa menjelaskan kekhawatirannya sama Aira. Tidak mungkin akan mengatakan itu pada anak kecil seusia Aira. Meski dirinya tumbuh dalam lingkungan pes
Part 17“Mas ….” Iyan mendengar seseorang memanggilnya saat tengah mendorong gerobak.Ia menoleh. “Panggil saya?” tanyanya.“Iya. Bisa mundur? Saya mau pesan banyak,” kata wanita berambut lurus dengan wajah yang ramah.“Bisa, Mbak, saya mundur ya?” Iyan menarik gerobaknya mundur. “Mau pesan berapa?” tanyanya saat sudah sampai di depan rumah wanita yang memanggilnya itu.“Mas, saya pesan mie ayamnya lima belas ya?”“Iya, Mbak. Mau pakai mangkuk atau pakai plastik?”“Pakai mangkuk saja, soalnya mau saya bawa buat karyawan saya,” jawabnya. “Mas, saya masuk ambil uang dulu, ya?” tanya dia lalu masuk ke dalam.Iyan dengan cekatan memasukkan mie ke dalam plastik.“Berapa semuanya, Mas?”“Seratus lima puluh ribu saja, Mbak.”“Ok.” Wanita itu mengulurkan uang dua lembar pecahan seratus ribuan.“Walah, Mbak, saya belum dapat uang buat kembalian,” kata Iyan.“Ya sudah, ambil saja.”“jangan dong, Mbak! Lima puluh ribu itu banyak lho,” kata Iyan menolak.“Gak papa. Itung-itung perkenalan. Lagian,
Part 18 Han membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang kecil tetapi asri. Seorang wanita berusia tujuh belas tahun langsung keluar dari dalam dan menyambutnya. Pagar rumah yang tinggi dan selalu tertutup membuat rumah itu aman dari sorotan warga sekitar. Terlebih terletak di sebuah perumahan dengan penjagaan yang sangat ketat. “Dari mana saja?” tanya Sely sambil bergelayut manja. “Pasti habis jenguk Cika, ya?” “Iya.” “Kok sekarang jadi sering jenguk sih?” “Soalnya dia maksa pengen ketemu Ines.” “Ya diajak saja lah, Yang istri kamu itu. Masa seorang ibu jahat banget gitu? Atau, aku saja yang jadi ibunya?” tanya Sely dengan tatapan nakal. “Kita buat saja yang baru,” kata Han, lalu merengkuh tubuh wanita yang berkulit putih itu dan membawanya ke dalam pelukan. Menghujaninya dengan ciuman yang bertubi-tubi. “Kamu ganas banget banget sih, yank?” “Habisnya kangen banget. Kamu sering menggodaku di telepon. Tapi gak mau diajak video call.” “Gak mau lah, kalau cuma video call. Aku ma
Part 19Malam, aku hanya bisa memelukmu dengan tangis yang menganak tanpa henti.Rindu, aku hanya bisa menelan pahit rasa itu seorang diri.Lara, adalah gambaran yang sulit untuk ku ungkapkan sedalam apakah itu.Dan sepi, adalah teman abadi dalam hidupku.Sebait puisi ditulis Cika dan menempel pada pintu lemarinya.Sudah dua minggu, ayahnya belum juga datang menjemput untuk pulang. sebuah tas yang dipersiapkan Cika teronggok di sudut ruangan yang kosong. Satu per satu baju yang semula sudah tertata rapi, diambilnya untuk digunakan kembali. Tak jarang temannya bertanya kapan ia akan pulang.Hati, jangan pernah berharap! Hidup hanya untuk sebuah kesunyian.Cika menulis lagi dalam buku diary nya.“Aku lelah, aku ingin pulang. Pulang yang sebenarnya. Jika harus pulang ke pangkuan Ilahi pun, aku mau,” kata Cika sambil memeluk lutut.Ia sudah membuang jauh harapan itu dan berusaha membuka mata, bahwa dia hanya hidup seorang diri di bumi ini.Saat bangun, tatapan mata Cika berhenti pada soso
Part 20Cika mematung. Ingin berlari memeluk wanita yang menampakkan wajah sendu terhadapnya itu, tentu saja ia tidak bisa. Ia bahkan tidak mengenal sama sekali sifat seorang Ines.Ines mendekat. “Apa kabar?” tanyanya dingin.“Ba-baik,” jawab Cika duduk.“Dimana kita bisa duduk?” tanya Ines lagi.“Sa-sana.” Cika menunjuk sebuah tempat.“Ayo, kita kesana,” ajak Ines.Cika mengikuti langkah kaki Ines menuju sebuah sudut dimana di sana terdapat meja lesehan. Ines langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Meluruskan kaki dan menggerakkan kepalanya berulang kali. Terlihat sekali kalau ia sangat lelah mengendarai mobil dengan jarak tiga jam.“Mau minum apa?” tanya Cika menawarkan.“Tidak usah. Aku bawa minum di mobil.”Untuk kali pertamanya dalam hidup, Cika merasa begitu dekat bahkan bisa berbincang dengan wanita bergelar ibu itu. Mereka saling diam, canggung dalam kebisuan.“Ada perlu apa Mama kemari?” tanya Cika. “Maaf memanggilmu Mama, karena aku hanya mengenal panggilan itu saja s