Part 4Aini membelai lembut punggung Aira. Ia menangis dan mengusap air matanya menggunakan lengan baju yang kebesaran.“Cika, dia anak baru. Seharusnya kamu bisa mengayomi dia. Seharusnya kamu nasehati saja. Tidak perlu mengajaknya berkelahi,” kata Ustadzah. “Kamu kenapa masih suka membuat onar?”“Saya tidak suka barang-barang saya diambil. Saya tidak suka kalau ada orang asing seenaknya saja memakai barang saya,” ujar Cika tidak suka. “Dan saya tidak mau dia ada di kamar saya,” katanya lagi.“Kalau begitu, kamu pindah kamar.” Ustadzah memutuskan demikian.“Tidak bisa begitu, Ustadzah! Saya yang lama. Kenapa harus mengalah dengan anak yang baru? Tidak! Saya tidak mau pindah!” tolak Cika.“Kalau begitu, jangan bikin ulah lagi! Sekarang, kamu minta maaf sama Aira!”“Tidak mau. Dia yang sudah mengambil piring saya, kenapa saya yang minta maaf? Dia dong, yang minta maaf?”“Tapi kamu yang menyerang dia dulu, Cika.”“Tidak mau. Dia yang harus minta maaf dulu sama saya.”Aini merasa kepalan
Part 5Aira sudah memakai baju lengkap. Beberapa anak yang hendak sekolah juga memakai baju yang sama. Lagi-lagi, Aini harus merasa kasihan dengan anak itu. Aira memakai baju yang agak besar juga.“Apa itu juga punya Mbak Dinta?” tanya AIni penasaran.“Iya,” jawab Aira pelan sambil memakai sepatu.Cika yang belum mau masuk ke kamarnya lewat dan berbisik dengan teman yang bersamanya. “Idih, Mbak Aini sudah kayak ibunya Aira saja, ya? Lebay banget gak sih?” bisiknya.“Iya. Berlebihan sekali.”Mereka memandang sinis pada Aira yang duduk di pinggiran teras bilik sambil memakai sepatu.“Ingat, Aira! Jangan apa?” tanya Aini.“Jangan nakal.”“Kalau kamu nakal, Mbak Aini gak mau lagi berteman sama kamu,” pesan Aini.“Iya, Mbak.”“Kalau dinakali harus apa?” tanya Aini lagi.“Harus diam.”“Bagus! Sekarang, kenalan sama teman-teman yang akan sekolah ya? Mereka adalah saudara kamu di sini,” kata Aini lagi lalu memanggil beberapa anak yang akan pergi ke sekolah.Mereka diminta mengajak Aira berang
Part 6Hari itu, Aira sudah mulai mengikuti kegiatan mengaji di pondok. Cika masih tidak mau kembali ke kamar mereka.“Kamu kenapa sih tidak pernah mau tadarus, Cika?” tanya Aini saat Cika hanya asyik menggambar.“Males,” jawabnya singkat.“Terus kamu kesini mau apa? Dua tahun di pondok, kamu belum apa-apa. Kamu ngaji kitab ya cuma berangkat saja. Tidak paham dengan apa yang disampaikan ustadz. Sholat masih bolong-bolong. Kamu anggap apa pondok ini? Tempat mengungsi dari orang tuamu?” tanya Aini kesal.Setiap kali dinasehati demikian, Cika selalu pergi.Hari-hari telah berjalan normal. Aira mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan pondok. Ia mulai mengaji dan sedikit demi sedikit beberapa anak mau berteman dengannya. Aini terus mengawasi perkembangan emosional Aira.Banyak yang Aini ajarkan. Mulai dari doa-doa, cara-cara sholat yang benar, dan juga cara beradab dan bertingkah laku saat masuk ke rumah Kyai. Anak-anak lain sampai menyebut kalau Aini pantas sebagai ibu Aira. Entah kenapa
Part 7 Sejak melihat Aira tempo hari, Han jadi berulang kali datang ke pondok. Setelah hari Jumat itu, ia kembali datang tiga hari setelahnya, lalu empat hari setelah itu, tiga hari setelahnya lagi. Ada saja alasan Han untuk mengunjungi Cika. Pada kedatangan pertama setelah melihat Aira, Han hanya menemui Cika seperti biasa saja. Ia beralasan jika mau mengabarkan ibunya sakit. Lalu bertanya pada anak keduanya itu menginginkan apa. “Mama sakit apa, Yah?” tanya Cika. “Mama agak pusing kepalanya,” jawab Han. “Kebanyakan mabok sih, jadi sakit kepala. Gak inget sama anaknya di sini. Gak pernah mengunjungi sama sekali. Aku ini anak kandung apa anak tiri sih, Yah? Atau, Mama sengaja membuang aku kemari agar bebas mabuk-mabukan ya?” tanya Cika. “Jangan seperti itu! Mama hanya ingin kamu bisa mengaji. Gak kayak Mama yang gak bisa apa-apa akhirnya punya pergaulan bebas seperti itu.” “Dan Ayah hanya diam saja tidak melarang dan menasehati Mama begitu?” tanya Cika memojokkan. Ia ingat bena
Part 8“Ayah pulang, ya?” kata Han putus asa padahal ingin sekali bertemu dengan Aira.“Ayah benar-benar ingin bertemu Aira?” tanya Cika tiba-tiba.“Iya. Kenapa?”“Aku akan mengabulkannya jika Ayah mengabulkan keinginan aku,” kata Cika.“Apa itu?” tanya Han penasaran juga tertarik.“Aku mau Mama kesini jenguk aku. Maka aku akan memperbolehkan Ayah bertemu dengan Aira.” Sebuah penawaran yang terasa sulit bagi Han. Lelaki itu mengusap kepala Cika berkali-kali. "Harus itu syaratnya?" tanyanya. "Iya.Ahrus itu syaratnya. Karena aku ingin sekali dijenguk Mama. Maka, aku rela. mengorbankan perasaanku demi itu.""Emangnya apa yang membuat kamu membenci Aira?" tanya Han. "Apa yang membuat Ayah menyukai dia?""Tidak ada alasan untuk suka seseorang, Cika," kata Han. "Haruskah hanya aku yang mempunyai alasan untuk membenci? Sementara Ayah tidak punya alasan kenapa menyukai Aira? Satu lagi. Kenapa Mama benci sama aku, Yah? Berikan alasannya!""Mama tidak membenci kamu, Cika.""Jelas Mama membe
Part 9Semenjak permintaan Han pada Cika, gadis itu lebih pendiam dari biasanya. Perilaku yang jahil, usil dan nakal menurun drastis. Saat melihat Aira, gadis itu terkadang merasa iri karena tidak bisa mendapatkan kasih sayang dari teman-teman sekitar seperti Aira.Genap empat puluh hari sudah Aira berada di pondok pesantren. Ia sudah bisa beradaptasi dan memiliki teman. Perilaku mau menang sendiri perlahan hilang. Membuat Aini tersenyum lega karena suatu hari nanti saat waktunya ia pulang, sudah bisa meninggalkan gadis itu seorang diri.“Kamu sudah bahagia dan betah di sini Aira?” tanya Aini.“Iya, aku sangat betah karena ada Mbak Aini. Aku senang karena bisa kenal dengan Mbak Aini dan teman-teman yang lain,” katanya terlihat bahagia.Aini merahasiakan jika beberapa bulan lagi ia akan pulang dan tidak akan kembali ke pesantren lagi. Biar saja di saat ia pulang, Aira akan tahu.Setiap hari, Aira sudah melakukan aktivitas seperti biasanya. Mengaji, hafalan, lalu juga mengerjakan tugas
Part 10“Assalamualaikum, Mbak Rahma,” ucap Aira saat sampai pintu dapur.“Waalaikumsalam, Aira. Kenapa?”“Mbak Rahma, apa belum ada panggilan untuk aku?” tanya Aira penasaran.“Lhah, tadi diumumkan di pengeras suara ‘kan? Nama Aira sudah dipanggil apa belum?”“Belum dipanggil. Tapi aku takut yang panggil salah nama. Atau kelewat.”Rahma tertawa kecil. “Tidak akan, Aira. Mereka tidak akan salah panggil nama,” jawabnya.“Mbak Rahma, tolong tanyakan ke sana. Barangkali memang ada ayahku dan tidak tahu caranya memanggil aku.”Rahma ingin tertawa melihat kelucuan Aira, tetapi urung karena tersadar, gadis kecil di hadapannya sedang bersedih menunggu kehadiran orang tuanya. “Baik, Mbak Rahma tanyakan ya? Aira tunggu di sini,” katanya lalu pergi.Rahma sebenarnya tahu jika hal itu tidak akan mungkin salah, tetapi demi membuat Aira senang, ia melakukannya.“Bagaimana, Mbak Rahma?” tanya Aira saat melihat gadis yang memakai sarung batik itu kembali.“Belum ada. Mungkin masih di perjalanan. Jad
Part 11 Iyan menatap gerobak mie ayam yang isinya masih selalu penuh setiap harinya. Setelah berdebat panjang tempo hari, akhirnya ia pergi merantau ke sebuah tempat yang jauh dari rumahnya. Berjarak lima kabupaten dari tempat tinggalnya, Iyan merantau dengan berbekal nekat. Seminggu setelah Aira pergi ke pesantren. Dengan mengontrak sebuah rumah kecil yang hanya berisi kamar, satu ruang tamu dan satu kamar mandi, ia mencoba hidup merantau di daerah orang. “Aku harus punya uang dalam satu bulan setidaknya tiga juta, agar bisa pulang menjenguk Aira,” kata Iyan di malam pertama ia merantau. Memilih berhijrah karena Iyan ingin melupakan semua yang terjadi dan menimpa hidupnya. Dengan berkeliling kompleks perumahan mewah, Iyan membunyikan mangkok menggunakan sendok. Berharap jia setiap harinya bisa mendapatkan keuntungan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Iyan melah setiap harinya harus membawa sebagian besar bahan-bahan yang dijualnya. Hingga pada hari dimana seharu