Di sebuah ruangan, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Kakinya berada di atas meja, sedangkan tangannya memegang bolpoin. Sesekali, tangannya bergerak mengetuk meja.Pikirannya mendadak menerawang jauh, memikirkan seorang wanita yang tidak tahu mengapa bisa membuatnya terus kepikiran.Semalaman, Dion memang mengurus Nia. Namun, entah mengapa membuat pagi ini terus membayangkan wajah wanita itu.Wajah pucat dengan peluh yang bercucuran.Wajah yang membuatnya merasa kasihan, seakan wajah itu begitu banyak menyimpan keresahan, bahkan luka.Luka yang begitu dalam, namun hanya bisa diam menerima semua kenyataan.Tampak ada kerinduan yang begitu dalam pada kedua orang tuanya. Semalaman penuh, Nia terus memanggil kedua orang tuanya."Apa dia sangat menderita?" Dion pun bertanya-tanya, dan merasa tertarik akan hidup Nia sebelum menikah dengannya.Seolah rekaman, Dion memutar kembali ingatannya saat Nia menceritakan tentang kisah hidupnya, hingga mengandung anak dari Reza.Dion p
Tok ... tok ... tok!Nia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Meskipun tak mungkin ada jawaban dari dalam sana.Perlahan, tangannya memutar gagang pintu. Setelah pintu setengah terbuka, Nia pun melihat ke dalam.Saat itu, Dion juga terlihat sedang memperhatikannya. Seketika, Nia pun menundukkan kepalanya, kemudian melangkah masuk."Maaf. Ada apa, Tuan?" Kedua tangan Nia saling meremas, takut jika ternyata Dion memarahinya.Nia tahu, Dion adalah seseorang yang tak suka keterlambatan. Apalagi, keteledoran dalam suatu pekerjaan.Itulah yang terjadi pada Nia saat pagi tadi, bahkan sampai melupakan anaknya sendiri. Mungkin, jika tidak dengan bantuan Asih menjaga Zaki semalam, entah seperti apa hari ini anaknya itu.Dion masih saja diam sambil menatap Nia dari ujung kaki sampai ke atas.Tak ada yang istimewa sama sekali, tetapi entah mengapa membuatnya menjadi penasaran."Tuan, saya minta--" Nia berhenti berbicara saat tatapan mata Dion begitu tajam padanya."Sudah minum obat?" Te
Setelah diusir paksa oleh "temannya" itu, Niko pun memilih untuk pergi dengan pinggangnya yang terasa sakit. Dia tidak bercanda. Bahkan, Niko kini berjalan dengan kaki yang mengangkang."Om Niko kenapa?" tanya Dila bingung karena melihat Niko yang berjalan aneh.Niko pun melirik Dila. Ternyata, ada Nia yang berdiri di belakang tubuh mungil itu.Seketika itu juga, Niko berusaha untuk terlihat tegap, gagah, dan tidak ingin dianggap lemah."Om Niko, sedang olahraga, Sayang." Niko pun memberi alibi berharap Nia yang mendengar jawaban itu juga bisa mengaguminya."Tapi, mirip monyet, ya, Om," kata Dila dengan polosnya.Glek!Niko pun meneguk saliva kasar, terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dila.Bocah itu selalu saja berkata kebenaran. Namun, kali ini membuatnya kehilangan harga diri di hadapan seorang wanita yang menjadi incarannya."Nia, kamu udah makan siang, belom?" Niko pun memilih berbicara dengan Nia dari pada berbicara dengan Dila yang terus saja membuatnya malu karena kepol
"Om harap kamu bisa menghargai wanita, ya, Reza. Ah, Om lupa kamu sudah menikah." Niko pun merasa tak enak hati setelah berbicara lancang.Sementara itu, Reza masih terdiam. Apa yang dikatakan oleh Niko benar-benar menjadi beban baginya.Lelaki tak bertanggung jawab, bejat, bajingan. Semua itu memang pantas disematkan padanya. Reza pun menyadari semua itu.Gagal dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lalu, namun tidak lantas membuatnya ingin gagal juga menjadi seorang Ayah.Reza tak akan membiarkan siapa pun untuk mengambil anaknya. Anaknya tetaplah anaknya dan harus mengenal Reza sebagai Ayahnya. Bukan orang lain, seperti yang dikatakan oleh Niko barusan!Bahkan, Reza siap bersaing dengan Niko--demi bisa mendapatkan Nia kembali.Reza sudah tahu seperti apa pernikahan antara Dion dan Nia, sehingga tak akan terlalu sulit untuk mendapatkan wanita tersebut.Reza yakin dan percaya diri--bahwa di hati Nia masih ada dirinya.Sampai kapan pun, akan tetap begitu. Jadi, Reza pun be
Sore harinya, Zaki diletakkan di atas ranjang, tepatnya di kamar Dila.Pintu kamar yang terbuka lebar, membuat siapa pun dapat melihatnya dari luar sana.Begitu juga, dengan Reza. Mendadak, langkah kakinya terhenti seketika itu juga.Dia menatap wajah bayi yang sedang bermain bersama dengan Dila.Sedangkan Nia, wanita itu tak tampak di sana. Perlahan, kaki Reza pun melangkah masuk.Entah sadar atau tidak. Tetapi, semakin hari, semakin besar rasa penasarannya terhadap bayi mungil itu.Kali ini, Reza pun memberanikan diri untuk menatap lebih dekat."Kak Reza?" Dila tersenyum menyapa Reza yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.Reza seakan tak mendengar sama sekali saat Dila menyapanya. Sebab, terlalu fokus pada tujuannya--yaitu, Zaki.Mata bulat Zaki terbuka lebar, matanya hitam pekat. Semakin Dila mengajaknya berbicara, semakin membuat bayi itu menggerakkan kedua tangan dan kakinya.Perlahan, tangan Reza pun bergerak. Bibirnya tersenyum saat melihat wajah Zaki yang kini tersenyum pad
Nia pun mengangguk setuju setelah Reza berbicara dengan yakin."Apa kamu mau?""Tentu!" Reza tersenyum dan merasa bahagia saat mendengar jawaban Nia, sudah disangkanya merebut Nia tidak akan terlalu sulit.Buktinya, dengan mudah Nia mau kembali padanya, kan? Reza pun yakin Nia masih begitu mencintainya.Mencintai dengan hati yang besar, sehingga tak akan mudah untuk berpindah hati begitu mudah.Lagi pula, pada siapa Nia akan berpindah hati?Dion?Tidak mungkin! Dion bahkan terlihat begitu dingin. Jadi, tak akan mudah membuat seseorang jatuh hati padanya.Apalagi, Reza juga tahu komunikasi Nia dan Dion begitu minim."Aku senang sekali, Nia. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Dan, belajar untuk mencintaimu demi anak kita .... " Bibir Reza benar-benar tersenyum bahagia, tak bisa dikatakan oleh bibirnya saja.Kedua tangannya terangkat dan mencoba untuk mengambil Zaki dari Nia.Reza ingin memeluknya, menciumi wajah Zaki yang begitu menggemaskan."Tentu, TIDAK!" papar Nia tegas tiba-tiba.
Sepulang dari kantor, Dion pun segera menuju kamar Dila. Kebiasaan rutin sebelum akhirnya menuju kamarnya.Namun, sesampainya di depan kamar Dila, mata elangnya malah melihat pintu terbuka lebar. Tak hanya itu, terdengar suara dari dalam sana. Suara perdebatan dengan segala ketegangan. Mata Dion melihat Reza yang berusaha mengambil Zaki dari Ibunya. Bahkan, beberapa perdebatan yang cukup menyulut emosi disaksikan oleh Dila, putrinya. Padahal, sudah jelas anak itu masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang dewasa.Keterkejutan Dion tak hanya sampai situ. Dion dapat menyaksikan Dila yang menjerit ketakutan saat Reza melakukan kekerasan pada Nia."Papi, tolongin Mami!" Dila pun menghambur memeluk Dion, seakan meminta pertolongan untuk menyelamatkan Nia.Segera, Dion mengelus kepala anaknya, hingga akhirnya meminta Dila untuk pergi menuju kamar Bunga."Tapi, Mami?" Dila tampak ragu untuk pergi, meninggalkan Nia di sana.Matanya berkaca-kaca melihat Nia--yang masih meringis
Setelah kepergian Reza dari ruangan itu, Dion pun merangkul pundak Nia dan menuntunnya kembali ke dalam kamar Dion. Ketika sampai, barulah Dion melepas tangganya."Terima kasih, Tuan." Nia menunduk sebagai ucapan terima kasih. Jika tidak ada Dion, mungkin kini tangannya sudah patah--dicengkram kuat oleh manusia tak punya hati, seperti Reza.Dion hanya mengangguk. Namun, matanya terus tertuju pada pergelangan tangan Nia yang membiru. Bahkan, baru disadarinya bahwa di sudut bibir Nia juga tampak bercak darah. Seketika, rasa kasihan timbul dalam diri Dion. Dion pun mengambil kotak obat lalu mengobati Nia dengan tangannya sendiri."Tuan, saya bisa sendiri." Nia merasa tak enak hati saat menyadari perlakuan Dion yang begitu lembut mengobatinya.Mendengar penolakan Nia, Dion hanya menatap tajam wanita itu--membuat nyali Nia menciut dan memilih diam membiarkan Dion mengobatinya."Tuan, saya minta maaf. Karena, saya sudah membuat ketidaknyamanan barusan. Terutama, pada Dila."Sayangnya, Di