"Tante, ada apa?" Niko merasa ada yang tidak biasa dari Bunga, bagaimana tidak.Sebab, Bunga mendatangi kediamannya tiba-tiba, bahkan di malam hari seperti ini.Mungkin juga ini untuk pertama kalinya, sebab selama ini jika memang diperlukan dirinya yang diminta datang oleh Bunga.Walaupun demikian tetap saja Niko merasa terkesan pada Bunga."Duduk Tante," Niko pun mempersilahkan Bunga untuk duduk di sofa ruang tamu.Bunga mengedarkan pandangannya, melihat Rumah Niko yang ternyata cukup besar."Rumah ini hasil kerja keras kamu?" Tanya Bunga dengan kagum."Ya, Tante," Niko tersenyum dengan bangganya.Bunga pun mengangguk, kemudian duduk saling berhadapan.Niko menantikan saat-saat Bunga mengutarakan kedatangannya saat ini, entah apa yang ingin dikatakan oleh Bunga sehingga terlihat begitu serius."Bagus.""Ini rumah impian Niko, mungkin saja bisa ditempati bersama dengan Nia nantinya," jelas Niko dengan bibirnya yang tersenyum bahagia.Membayangkan wajah Nia sungguh membuatnya menjadi
Malam yang semakin larut tak dapat memejamkan mata Dion, entah mengapa kini dirinya mendadak memikirkan Nia terus-menerus.Hingga akhirnya memutuskan untuk melihat apakah istrinya itu sudah tidur.Istri?Ini benar-benar gila.Dion pun sejenak terdiam di depan pintu kamar Dila, dirinya ragu untuk masuk.Namun, tiba-tiba saja Dion mendengar suara tangisan Zaki dari kamar yang tidak kedap suara itu.Membuatnya tak lagi menunda-nunda untuk membuka pintu kamar.Benar saja, ternyata Nia sedang kesulitan untuk menenangkan Zaki.Bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sudah berada dalam kamar."Sayang, perutnya sakit ya," Nia tahu bayinya sedang tidak nyaman pada bagian perutnya, sebab sejak pagi tadi Zaki memang diare.Membuat tidur bayi itu terusik.Wajar saja jika terus menangis tanpa hentinya, bahkan Nia pun menangis karena tak tahu harus melakukan apa lagi.Berjuang sendiri, melakukan segala sesuatunya sendiri.Saat dirinya membutuhkan pundak untuk menopang diri, tapi terus saja dipaksa unt
"Kamu kenapa?" Dion menyadari keanehan pada Nia, tubuh wanita itu tampak gemetaran dan juga mengeluarkan keringat dingin.Padahal dirinya hanya melingkarkan tangannya pada perut Nia.Menurutnya itu adalah hal yang wajar, mengingat mereka adalah pasangan suami istri yang sah."Tuan, aku gerah. Aku nggak bisa tidur nyenyak kalau tempatnya sempit," Nia pun mendudukkan tubuhnya, ingin berpindah tempat.Tetapi tidak bisa, karena Dion pun ikut mendudukkan tubuhnya di samping Nia bahkan menahannya saat berniat akan menuruni ranjang."Ini tidak sempit, tempat tidur ini masih sangat luas," Dion tak mengerti sampai di sini pun.Sebab, alasan Nia terkesan tidak masuk akal.Walaupun demikian Dion mencoba untuk memakluminya.Baiklah mungkin Nia masih butuh waktu untuk bisa lebih dekat dengannya.Meskipun demikian Dion tak ingin lagi keduanya memiliki jarak dan kecanggungan seperti selama ini."Ayo tidur lagi," Dion kembali menarik Nia untuk segera membaringkan tubuhnya.Dengan terpaksa Nia pun kem
"Nia, kamu sudah memiliki anak. Kenapa masih saja seperti ini?" Dion tak mengerti mengapa Nia menolaknya."Tuan, jangan. Aku mohon," Nia memohon dengan air mata yang berlinang, berharap Dion tak melakukan hal itu.Hingga akhirnya tangisan Zaki pun menggelegar, membuat Dion pun menghentikan aksinya.Saat itu Nia pun mengambil kesempatan untuk melepaskan dirinya, kemudian menggedong Zaki dengan cepat.Dion pun meninju udara dan kemudian segera menuju almari, sesaat kemudian memakai pakaiannya kemudian keluar dari kamar.Sedangkan Nia terus berusaha untuk menenangkan anaknya yang terus saja menangis kencang tanpa hentinya.Setelah berhasil menenangkan Zaki, akhirnya Nia pun memutuskan untuk membereskan semua pakaiannya.Nia tak mau kalau harus mengalami hal yang sama, perjanjian mereka hanya untuk ibu bagi Dila.Lantas bagaimana jika dirinya malah ditiduri, tentunya nanti dirinya akan hamil lagi, kemudian bercerai dan kembali hamil tanpa suami.Masa lalu yang kelam membuatnya menjadi wan
"Saya kecewa, kamu penipu!""Bu, nggak gitu...." Nia tak tahu lagi harus menjelaskan apa, sesaat memberanikan diri untuk melihat Dion.Namun, rasanya tidak mungkin mengatakan apa yang membuatnya memutuskan untuk pergi.Semuanya sungguh sangat menyulitkan sekali seakan tak mengijinkan untuk bisa bernapas."Kembalikan semua uang yang sudah saya keluarkan untuk pengobatan Ibu kamu, setelah itu kamu bisa keluar dari rumah ini!" Tandas Bunga kemudian pergi dengan langkah kaki yang cepat.Tanpa ingin mendengarkan penjelasan dari mulut Nia sama sekali.Punggung Nia pun bergetar, seiring dengan air mata yang keluar.Begitu juga dengan Zaki yang menangis karena suara yang begitu keras membuatnya terjaga.Sedangkan Dion masih berdiri di tempatnya, melihat Nia dan Zaki menangis bersama-sama.Dion pun merasa bersalah, kemudian mencoba untuk mengusap punggung Nia."Aku minta maaf," Dion pun menuntun Nia untuk duduk di sisi ranjang, "tenangkan Zaki, aku akan kembali. Jangan menangis lagi."Dengan s
"Tuan, aku mohon," Nia pun memutar gagang pintu, ingin pergi dari sana.Tetapi, Dion menahannya. Karena tak ingin sampai Nia benar-benar bertemu dengan Reza di luar sana."Nia, dia anak mu. Tidak ada Reza di sini!" Kata Dion.Nia pun kembali melihat Zaki, ternyata benar. Hanya ada Zaki yang tertidur lelap di ranjang.Napas Nia masih terengah-engah menatap wajah bayinya yang sangat lucu itu.Sayangnya ayah dari bayi itu adalah lelaki bejat yang sudah menusukkan luka yang begitu dalam."Kamu baik-baik saja?" Dion memberikan mineral pada Nia.Sesaat kemudian Nia pun meneguknya dengan cepat.Melawan perasaan takut yang selama ini selalu menghantuinya."Kamu istirahat dulu," Dion kehabisan kata-kata, saat ini dia hanya ingin Nia menjadi lebih baik.Hingga akhirnya Nia pun menuruti perintah Dion, berbaring di samping Zaki.Tapi tangannya menahan Dion untuk pergi.Dion menatap tangan Nia yang memegang tangannya untuk pertama kalinya Nia begitu berani."Tuan, aku berjanji akan melakukannya. T
Malam harinya Nia pun merasa lebih baik, dirinya menunggu kepulangan Dion dari pekerjaannya.Sedangkan Dila pergi bersama dengan Bunga menghadiri acara pesta ulang tahun salah satu teman sekolah Dila.Tok tok tok.Suara ketukan pintu membuat Nia bergegas untuk membukanya."Asih?""Ini ada bok bayi, kata Tuan Dion untuk tempat tidur Zaki. Katanya juga di letakkan di kamar ini saja," jelas Asih.Nia pun mengangguk, kemudian mempersilahkan dua orang satpam yang berada di belakang Asih untuk masuk membawa bok Bayi, meletakkannya sesuai dengan arahan Nia."Aku balik dulu, kamu sakit ya?" Tanya Asih."Nggak juga," jawab Nia.Setelah Asih pergi Nia pun menatap bok bayi yang dibeli oleh Dion.Sejenak Nia menarik napas berat menatap benda tersebut.Karena dirinya semakin merasa berhutang pada keluarga Dion.Dari mana dirinya nantinya bisa membayar semua itu pikir Nia.Hingga sesaat kemudian pintu pun terbuka, Dion masuk ke dalam kamar membuat Nia yang duduk di sisi ranjang pun segera berdiri.
"Kamu nggak nyaman tidur satu ranjang sama aku?" Dion menyadari bahwa Nia terus saja bergerak, seakan risih dengan dirinya.Tetapi Nia menepis semua itu, bahkan memilih untuk menutup matanya.Mulai malam ini dirinya akan berusaha untuk tetap tenang saat bersama dengan Dion.Sampai akhirnya semalam penuh Nia tidak tidur sama sekali.Bahkan saat Dion bangun Nia sudah tidak berada di sampingnya, sedangkan pakaian untuknya sudah tersedia.Segera Dion mandi dan juga keluar dari kamar mencari keberadaan Nia, pagi-pagi begini sudah pasti mengurus Dila sebelum berangkat ke sekolah.Benar saja tebakan Dion, sebab Nia sedang membatu Dila memakai seragam sekolah sambil menggedong Zaki.Dion pun masuk dan mengambil Zaki dari gendongan Nia, agar memudahkan sedikit pekerjaan wanita tersebut.Setelah itu sarapan bersama, lalu mengantarkan Dila ke sekolah.Tetapi Dion terlebih dahulu menawarkan dirinya, sehingga Nia tidak perlu lagi mengantarkan."Ke sekolahnya sama Papi aja," kata Dion."Ye!" Dila