Pagi ini suasan kelas sangat jenuh, semua siswi sudah berdandan centil menunggu Daniel. Tapi belum muncul juga hingga beberapa teman Frisca terlihat kesal. "Frisca, Pak Daniel ke mana sih, kok kelasnya diganti sama Pak Sam?" Brenda, gadis berambut pirang yang duduk di belakang Frisca mulai bertanya. Seolah mereka semua tahu kalau Frisca sumber jawaban dari kebingungan mereka tentang Daniel. Anastasia yang duduk bersama Frisca langsung berdecak pelan. "Apa kau pikir Frisca ini stalkernya Pak Daniel yang tahu ke mana aja laki-laki itu pergi?!" sinis Anastasia. "Ada kok, cuma dia bilangnya tidak masuk ke kelas kita hari ini. Dia pergi meeting pagi tadi di kantornya sama beberapa koleganya dari Praha. Mungkin sekarang sudah di sini." Frisca menjawab dan menjelaskannya secara detail pada teman-temannya. Brenda, Selia, Kalle, dan yang lainnya menaikkan kedua alisnya. Mereka sedikit heran tentang Frisca yang tahu sedetail itu. Kalau Anastasia dan Allana yang tidak lagi heran dengan jaw
Setelah satu minggu Frisca menjalani kehidupan normalnya seperti dulu, tidak ada hambatan apapun. Hubungannya dengan Daniel sangat baik, laki-laki posesif yang terus mengintai Frisca ke manapun Frisca berada. Pagi ini Frisca berada di kampusnya, gadis itu membawa banyak buku dari perpustakaan dengan sangat kewalahan. "Berat," lirih Frisca membawa tumpukan buku. "Ke mana Anastasia, tumben belum datang." Langkah gadis itu melewati sebuah ruangan, Frisca menoleh ke dalam sana di mana nampak Daniel yang tengah mengobrol dengan seorang wanita. Sangat akrab dan begitu dekat. Mereka sedang asik tertawa, bahkan wanita itu juga nampak memukul pelan pundak Daniel. Bisa-bisanya wanita itu genit dengan Daniel. "Ekhem! Cemburu hanya nambah berat, mana bukunya!" Frisca mendongak menatap sosok laki-laki yang berdiri di hadapannya saat ini. Leon berdiri tersenyum manis memakai jersey basketnya berwarna merah. Frisca memberikan semua bukunyapada Leon dengan kasar. "Bawa ini semua, bawa!" pekik
Daniel mengembuskan napasnya panjang kala keluar dari dalam mobilnya seraya menyampirkan mantel hangat miliknya di lengan. Lengan panjang kemeja yang ia gulung sampai siku. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah. Kedatangannya malam ini tidak disambut oleh sang istri kecilnya seperti biasanya. Melainkan hanya Bibi yang sedang menyiapkan makan malam untuk Daniel. "Malam Bi," sapa Daniel membuat wanita itu menoleh ke belakang dan tersenyum. "Malam juga Tuan." Bibi mengembuskan napasnya pelan. "Itu Tuan, Nona sudah makan malam, tadi pulang sore diantarkan Tuan Dante. Katanya tidak mau bertemu Tuan dulu, lagi males kata Nona."Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang dia di mana?" "Nona ada di kamarnya, Tuan." Daniel mendongakkan kepalanya menatap lantai dua, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Keningnya mengerut diikuti alisnya yang terangkat sebelah setelah membaca selembar kertas yang ditempelkan di depan pintu kamarnya. 'Tidak menerima laki-laki genit t
Pagi tiba, Frisca baru saja bangun dari tidurnya. Tidak biasa dirinya tidak mendapati suaminya di sampingnya seperti biasa."Ke mana Kak Daniel, tumben," cicit Frisca menyibakkan selimutnya. Gadis itu beranjak turun dari atas ranjang dan berjalan keluar dari dalam kamar tersebut. Frisca berdiri di selasar, di sana ia melihat seorang Daniel yang nampaknya bergegas pergi. "Ekhem!" Deheman penuh kesengajaan membuat sosok laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam di bawah sana mendongak menatapnya. Seketika Daniel melambaikan tangannya meminta pada istrinya untuk segera turun. "Aku pikir hari ini libur," cicit Frisca cemberut. "Aku ada pertemuan dengan rekan bisnisku, Sayang. Maaf ya, nanti malam saja kita jalan-jalan, okay?" Daniel mengusak pucuk kepala Frisca dengan gemas. Frisca menjadi lesu, padahal hari ini ia ingin berduaan dengan Daniel. Tapi laki-laki itu nyatanya sama saja seperti Kakaknya, sangat sibuk. Kalau Daniel tidak bisa membuat mood Frisca membaik, Frisca masih punya
"Terima kasih bunganya ya, Niel." Sarah tersenyum-senyum menghirup aroma mawar merah yang ia rebut begitu saja dari tangan Daniel saat ia bertemu tanpa sengaja dengan laki-laki itu di depan restoran. Daniel menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Sebenarnya aku membelikan bunga itu untuk seseorang. Tapi sudahlah, biar aku nanti membelikannya lagi." Senyuman Sarah yang tadinya merekah kini perlahan pudar setlah Daniel mengatakan kalau ternyata bunga itu tidak sebegitu tulus ia berikan padanya. Mereka berdua saling diam menikmati hidangan yang tersaji untuk keduanya, namun perhatian Daniel dan Sarah tiba-tiba teralihkan saat mendengar keributan dari depan. "Mana Daniel hah?! Biar Kakak banting dia!" teriak Dante menggulung lengan kemeja yang dipakainya."Jangan malu-maluin, Kak Dante!" teriak Frisca menangis mengejar Dante. "Kak! Laporin Mama nih! Kak Dante, ihhh!" Frisca berlari mengejar sang Kakak yang kini berjalan dengan kesalnya ke arah meja di mana Daniel yang Sarah bera
Pagi ini Dante mengantarkan Adiknya ke kampus, kegiatan satu ini membuat laki-laki itu kembali mengingat saat Adiknya belum menikah di mana Frisca menjadikan Dante sebagai sopir yang bertugas mengantarkannya ke kampus. "Belajar yang pinter! Jangan kebanyakan nangis! Malu sama umur, udah mau dua puluh satu masih cengeng aja balik ke TK!" maki Dante saat Frisca hendak keluar dari dalam mobil."Iya, iya! Jangan marah mulu ah Kak, panas telinga Frisca! Lagian siapa juga yang cengeng!" "Ngaca! Usia sudah dewasa tapi pikirannya masih kayak bocah lima tahun! Sudah sana-sana, Kakak telat nih!" kesal Dante. Sedetik Frisca tersenyum manis memiringkan kepalanya. "Uang jatah," pintanya mengulurkan tangannya. Dante merotasikan kedua matanya dan mengambil dompet kulit hitam miliknya. Ia mengambil beberapa lembar uang dan diberikannya pada sang Adik. "Nih! Dasar bocah," sinis Dante. Gadis itu cemberut. "Kak, ini dapat apa? Frisca hari ini mau beli novel, beli topi, beli...." "Husssttt!" Dante
"Hujan deras, Kak Daniel belum pulang...." Frisca berdiri di halte depan kampusnya, blouse motif bunga-bunga yang ia pakai tidak mampu menahan dinginnya udara sekitar. Rok lipit seatas lututnya juga membuat kedua kaki Frisca merinding kedinginan. Namun ia tetap setia menunggu Daniel yang sedang ada urusan dengan beberapa dosen lainnya di kampus. Frisca duduk di sebuah bangku sebelum ia menoleh ke arah gerbang kampus di mana banyak mobil milik para dosen yang sudah keluar. "Kak Daniel!" Frisca melambaikan tangannya pada mobil sang suami. Mobil milik Daniel berhenti di depan halte, buru-buru Frisca masuk ke dalam sana. "Kenapa belum pulang duluan, Sayang? Bajumu basah, hah?" Daniel mengulurkan tangannya menyentuh blouse yang Frisca pakai. "Basah sedikit, tidak papa." Frisca tersenyum manis. Daniel mengembuskan napasnya pelan, ia menoleh ke belakang dan mengambil mengambil mantelnya. "Ayo lepas bajunya," ujar Daniel dengan mudahnya. Kedua mata Frisca sontak terbeliak. "A... Apa
Kedua mata Frisca terbuka begitu perutnya terasa sangat lapar. Ia mengerjapkan kedua matanya pelan setelah mengingat kegiatannya dengan Daniel beberapa jam yang lalu. Perlahan Frisca membuka selimutnya dan ia bernapas lega saat dirinya sudah dipakaikan kembali baju piama hangat oleh Daniel. "Suamiku baik sekali," kekeh Frisca menggigit ujung ibu jarinya. "Tapi di mana dia sekarang?" Frisca menyempatkan masuk ke dalam kamar mandi sebentar sebelum ia keluar dari dalam kamar. Ia menengok ke lantai satu di mana Daniel sedang berdua dengan Dante. Gadis itu tersenyum dan berjalan ke menuruni anak tangga. Daniel dan Dante menatapnya sebelum Daniel melambaikan tangannya. "Wahh, ini nih bocil kematian baru bangun! Nagapain aja lo hah?!" sentak Dante. Frisca pun menyipitkan kedua matanya dan duduk di pangkuan Daniel seoleh ia tidak melihat Dante di hadapannya. "Ada suaranya tapi tidak ada orangnya, dasar setan!" sindir Frisca. "Dasar bocah sialan!" Dante menimpuk wajah Frisca dengan ban