Miko malam ini duduk di teras rumah sendirian. Anak itu memangku anjing kecil peliharaannya yang Dante belikan. Di sana, Miko diam menatap kilauan air kolam yang sangat terang malam ini. Miko memikirkan kehadiran adiknya di tengah-tengah mereka semua. 'Mami sama Papi, mereka bener-bener nggak ya, Sayang sama Miko? Apa kalau sudah adik, Mami dan Papi sayangnya cuma sama adik? Seperti yang Om Dante bilang?' Miko merasa resah, ia tidak mau kehilangan kasih sayang mami dan Papinya begitu saja. Anak itu kembali mendengus pelan dan ia menggantung kedua kakinya di atas sofa. "Miko kangen Mama Silvia," gumam lirik anak itu dengan kepalanya yang miring dan ekspresinya yang sedih. "Tapi sayang, Mami Silvia kan tidak pernah sayang sama Miko." Miko mengusap-usap kepala anjing kecil yang ia panggung dan anak itu tersenyum manis. "Dulu Miko juga pernah diusap-usap seperti ini, sama Mami dan Papi. Hemm... Sekarang pasti yang diusap-usap adik terus." Tanpa diketahui anak itu, ternyata di bali
"Miko mau sekolah berangkat bareng Papi?" Tawaran itu sangat-sangat tumben dilontarkan oleh Daniel pada putranya, meskipun dalam hati Miko juga bertanya-tanya, mimpi apa Papanya semalam. Bocah itu terlihat sedikit cuek dan murung, mungkin benar kata Dante kalau Miko sedikit takut, kesal, dan anak itu mulai mempertimbangkan posisinya. "Miko." Frisca menatap anak itu lagi. Secepatnya Miko menggeleng. "Eum... Nggak deh, Miko mau berangkat bareng Om Dante aja. Papi kan orangnya sibuk, nanti yang ada Miko buat Papi terlambat," jelasnya. "Nggak kok, kalau cuma ke sekolah saja, Papi bis-" "Nggak usah, Miko nggak mau," sela bocah itu cepatseraya menundukkan kepalanya. Barulah Frisca menatap suaminya dan ia mengangguk meminta pada sang suami untuk menuruti apa yang diinginkan anaknya. Di samping Miko, ada Johan dan Dante. Tatapan mata mereka pada Daniel begitu tulus karena tahu bagaimana kesalnya hati Daniel saat sang putra menolaknya. "Biar Miko bareng Papa aja, Niel. Dante juga har
"Miko, kalau misalnya Miko jadi anak Om Dante, mau nggak?"Dengan perasaan yang jahil seperti biasa, Dante memberikan penawaran yang aneh-aneh pada Miko. Sedangkan anak itu hanya diam mengerjapkan kedua matanya dan memberikan lirikan yang amat sangat tajam pada Dante. "Euumm... Kan Miko sudah punya Mami sama Papi, Om!" seru anak itu. "Kalau Om jadi Papinya Miko, terus tidak punya Mami, itu kan nggak lucu! Miko jadi anaknya Duda gitu, iya nggak, Om?!" Helaan napas pelan terdengar dari bibir Dante, ternyata menyebalkan juga saat seruannya dijawab dengan sangat polos oleh Miko. Tapi tidak salah juga dengan jawaban Miko, bahkan Siera di sana juga terkekeh saat mendengar jawaban dari Miko yang membuat Dante kena mental. "Miko pintar sekali," ujar Siera mengusak pucuk kepala Miko dengan gemas. "Iya dong Tante, lagian pertanyaan Om Dante itu aneh." Miko cemberut menjawabnya. "Ada Tante Siera yang mau jadi Mamanya Miko, gimana?!" Dante tiba-tiba berucap. Siera langsung menoleh dan mel
"Kau punya hubungan apa dengan sekretaris barumu itu, Dante?! Papa lihat kalian dekat sekali." Johan menatap sang putra, Dante yang tengah duduk bersama Frisca yang memangku Celia, hanya diam saja. Dan di sana, Daniel juga memperhatikan Dante yang abai pada Papanya. Memang, Dante selalu mudah mengabaikan Papanya meskipun dia yang selalu dibanggakan. "Pacarnya Dante dia, Pa," sahut Daniel. Demi apapun, ia menolak memanggil Dante dengan embel-embel 'kakak' karena tidak enak pula Daniel dengar. Seketika Dante meraih bantalan sofa dan ia lemparkan pada Daniel dengan sangat mudah. Memang kadang Daniel juga sesuka hatinya mengatakan sesuatu. Tapi kali ini benar-benar membuat Dante kesal. "Enak aja kalau ngomong, punya bukti apa kalau aku dan Siera punya hubungan yang istimewa?!" sinis Dante pada adik iparnya tersebut. Daniel hanya terkekeh. "Aku memang tidak punya bukti apa-apa, tapi aku pikir kau mungkin hanya malu saja untuk mengakuinya." Jawaban dari Daniel membuat Dante merasa t
"Om, besok Miko mau pulang ke rumah, Om tidak mau kasih hadiah apa, gitu?!" Anak itu mengganggu Dante yang tengah sibuk di dalam ruangan kerjanya. Suara Miko yang sengaja membuyarkan lamunan Dante, memang sejak tadi bahkan dua jam lamanya Dante di dalam sana ia tidak fokus pada kerjaannya, melainkan malah berpikir tentang Siera. "Om, dengerin Miko nggak sih!" pekik Miko menatap sang Paman dengan tatapan kesal. Barulah Dante mengembuskan napasnya panjang dan menatap penuh permusuhan pada Miko. "Apa, hah?!" serunya agak sinis. Miko tersenyum kecil. "Itu Om, Miko nanti mau pulang ke rumah Papi. Om Dante nggak ngajak Miko jalan-jalan dulu atau bagaimana, gitu?!" Dante menjentikkan jemarinya di dagu, ia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Om Dante sibuk!" Miko cemberut, tidak biasanya Dante menolak ajakannya. Biasanya malah langsung dituruti dan iya-iya saja. Tapi kali ini Miko sepertinya harus putar otak untuk merayu-rayu Dante. Tiba-tiba saja Miko mengulurkan tangannya dan anak sit
"Miko pulang..." Suara teriakan anak itu seraya bersamaan dengan gedoran pintu depan saat hari sudah malam. Frisca yang tengah bersama Daniel di kamar lantai satu menemani bayinya, sontal langsung berdiri dan Daniel berjalan membuka pintu. Begitu pintu rumahnya terbuka, di depan sana nampak Miko tersenyum lebar membawa banyak paper bag di tangan Dante. "Nih! Bocil-mu narget!" seru Dante dengan mata yang menyipit kesal pada sang keponakan.Miko hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya saja dan memasang wajah-wajah tak berdosa. "Miko kan hanya mau mainan baru!" seru Miko seraya terkikik geli. "Ya sudah sana masuk, ganti baju terus istirahat. Miko bobo sana Mami, temani adik ya, biar Papi tidur di sofa," ujar Daniel pada sang putra. "Iya, Papi!" seru anak itu berlari masuk ke dalam rumah. Frisca yang berada di dalam kamar, ia menengok-nengok ke depan dan menanti-nanti. Ia hanya mendengar suara putranya saja. Sebelum akhirnya nampak Miko membuka pintu kamar setelah beberapa me
Beberapa tahun kemudian...."Kakak... Celia ikut!" Suara terikan itu membuat langkah Miko terhenti di ujung bawah anak tangga, pemuda itu menoleh ke atas di mana Adiknya berlari mengejarnya. Miko menenteng tas kecilnya yang berisi bola basket. Anak itu kini sudah berusia dua belas tahun, dan Miko tumbuh menjadi anak yang mempunyai posisi tubuh tinggi besar. Adiknya yang masih berusia lima tahun kini berlari terbirit-birit mengejarnya. "Mi... Pi... Adik ikut terus!" teriak Miko dengan nada kesalnya. "Ikut!" pekik Celia, anak itu tiba-tiba saja memeluk punggung Miko dari belakang. "Nggak usah, Celia! Kamu ini cengeng, di rumah saja, nanti ikut Mami ke rumah Om Dante, ajakin gelud aja nanti Om Dateng ya, Kakak mau latihan basket... Huhh... Celia!" Miko membanting tasnya ke lantai dan menatap sang adik yang berlari keluar menghadang pintu. Tingkah Celia sangat jahil dan juga nakal, hal itu seringkali membuat Miko merasa kewalahan dan marah-marah karena tingkah adiknya yang sangat-
Seperti yang Mamanya bilang, hari ini Miko libur dan tidak ada kegiatan apapun. Anak itu tidak ada kegiatan apapun selain pulang sekolah terus bermain dengan adiknya. Dan juga Celia yang sangat senang karena siang ini Kakaknya full seharian bermain bersama dengannya, anak itu berlarian ke sana dan ke sini seharian."Tumben sekali Miko ambil cuti?" tanya Dante yang berkunjung ke rumah Frisca."Aku yang minta semalam Kak, kasihan adiknya setemgah hari kemarin menangis mencari Miko," jelas Frisca seraya duduk di samping suaminya. "Miko bekerja terlalu keras," sahut Daniel mengembuskan napasnya pelan. Sejak tadi ia diam memperhatikan anak-anaknya. "Miko... Dia melakukan semua ini karena ingin diakui, bukankah itu terlalu jahat untuknya?" Frisca tersenyum, ia mengarahkan jari telunjuknya di depan bibir saat melihat Miko membawa adiknya berjalan mendekati sang Mama dan Papa."Sini Boy!" panggil Dante melambaikan tangannya pada Miko. "Duhh... Anak laki-laki kecil Om Dante, sudah besar saj