Kiya langsung menghapus pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Nomor baru yang tidak ada di dalam kontaknya, tetapi ia tahu siapa pengirimnya. Tidak lain dan tidak bukan pasti Jaelani. Lelaki itu pasti menggunakan nomor lain untuk menghubunginya, karena kontak dan akun media sosial lelaki itu sudah ia blokir.Hatinya mendadak tidak tenang jika berkaitan dengan Jaelani dan ia begitu menyesalinya sekarang. Seandainya waktu itu ia menahan diri dari godaan setan, tentulah ia tidak merasa sampai setakut ini. Namun semua telah terjadi dan Kiya hanya bisa berharap ucapan pemuda itu tidak dikabulkan Tuhan. Anak yang ada di dalam perutnya adalah anak suaminya, bukan anak Jaelani.Kiya tidak jadi menghabiskan rujak pemberian dari Jaelani, masih ada beberapa potong buah lagi dan ia langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Rasa mualnya sebenarnya cukup berkurang dmegan makan buah rujak, tetapi mengingat siapa yang memberikannya membuat Kiya tidak s
Kiya sedang menonton film drama korea tentang perselingkuhan di kaset DVD yang ia beli secara bajakan—bahkan sudah ia putar sepuluh kali hingga setiap kalimat yang diucapkan tokoh protagonist dan antagonis sudah ia hapal hampir keseluruhan. Di drama itu sang selingkuhan suaminya juga seorang gadis kaya yang cantik, persis kejadian yang ia alami saat Huri masih bersama suaminya. Pelakor memang perlu dibasmi dan sangat tidak tahu malu. jadi dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya pada Huri sudah benar, termasuk memeras sebagian kecil tabungan wanita itu.“Benar-benar cerita yang keren. Aku berharap suaminya benar-benar bertaubat dan kembali pada istri pertamanya, namun sayang sekali istrinya tidak memaafkan perselingkuhan. Karena selingkuh adalah penyakit kejiwaan yang tidak ada obatnya kecuali bertaubat dan mendapat hidayah,” gumam Kiya dengan mata fokus pada drama yang sedang ia tonton. Perutnya yang semakin buncit membuatny
Huri baru saja mengecek informasi Mbanking yang masuk ke dalam ponselnya. Ada nominal seperti biasa yang telah ditransfer oleh Elang setiap tanggal lima. Huri tersenyum tipis, lalu melirik kedua buah hatinya yang tengah bermain dengan bunyi-bunyian di atas matras yang diberi pagar dari mainan."Terima kasih Bang Elang, semoga rejeki Abang melimpah dan selalu diberi kebahagiaan bersama Teh Kiya," gumam Huri tipis dengan mata berkaca-kaca. Setiap kali hatinya menyebut nama Elang, maka seperti sebuah mesin otomatis, maka air matanya siap tumpah kapan saja.Huri mengusap sudut matanya dengan ujung jari tengah, lalu kembali fokus pada Zayyan dan Hanan yang semakin aktif dan lincah.Keduanya semakin gesit bergerak ke sana-kemari sehingga perlu perhatian khusus untuk menemani mereka saat bermain. Memang belum ada yang berjalan, tetapi keduanya sudah bisa berdiri sambil merambat memegang pinggir kursi atau meja.H
Bayi cantik telah lahir dengan selamat dari rahim Kiya. Rambutnya begitu tebal dan kulitnya yang sangat merah. Sayang sekali, berat badannya masih sangat kecil; dua kilo dua satu ons saja, sehingga bayi cantik itu terpaksa masuk ke ruang inkubator setelah dibersihkan sebentar oleh pada suster.Kiya masih terkulai lemas dengan luka jahitan cukup banyak di jalan lahirnya. Masih ada Jaelani yang setia menemaninya sambil mengusap-usap kepala wanita itu.Elang dan Bu Latifah terpaksa menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Lelaki itu bahkan sempat mengintip bayi cantik yang ia kira adalah bayinya, ternyata bayi lelaki lain. Elang terdiam sangat lama, hanya suara isakan yang terdengar sesekali dari hidungnya yang basah.Bu Latifah tidak berani mengatakan apapun, karena sebagai orang tua ia pun kaget dengan kenyataan yang satu jam lalu menjadi konsumsi kedua mata tuanya. Tentang istri kesayangan,
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a