Elden kembali memijit pelipisnya. Dia tak pernah membayangkan bahwa penerus Axion company akan berlutut seperti ini. Terlebih pria itu bersujud untuk putrinya. "Chana, apa yang bajingan ini lakukan? Hentikan dia, hentikan perkelahian kalian. Kalian membuat ayahpusing.""Ayah-" "Hentikan. Ayah sangat lelah akhir-akhir ini. Mari makan malam dengan tenang." potong Elden membuat Chana bungkam. Elden berjalan dengan mata melirik Axel sekilas. "Kau mungkin berhasil menikahi putriku, tapi jangan berpikir bahwa aku sudah setuju."Axel menyembunyikan senyumnya dengan ekspresi yang datar. Dia menatap Chana yang juga memijit kepalanya. "Sayang," "Berhenti," ucap Chana mendesah lelah. Dia menatap Axel pasrah. "Hentikan semuanya, Axel. Aku lelah." "Sayang," "Bangunlah. Bangun dan ayo kita makan malam." "Apakah itu artinya kau memaafkanku?" Chana memejamkan matanya frustasi. Seperti ini lagi, dia merasa tak berdaya dengan semua jebakan yang Axel tebar. Dia pun menganguk pasrah. Dan detik ber
Axel menaiki tangga dengan langkah pasti. Matanya menatap pintu kamar Chana yang tertutup, lalu beralih pada pintu sebelah kamar Chana yang akan dia tinggali. Hanya saja, dia tak menyangka melihat Chassy tengah mengendap dengan tangan memegang gagang pintu kamar dengan kepala yang mengintip ke dalam."Nona, apa yang kau lalukan?" Berdiri tak bergerak, Axel melihat tubuh Chassy berbalik cepat. Gaun tidur yang sangat tipis berwarna maroon sangat kontras dengan kulit putih Chassy yang terekpos samar. Aroma sedikit kuat tercium, membuatnya mundur dengan tangan menutup hidung sesaat."Aroma Chana tak seperti ini. Itu sedikit lembut dan nyaman," gumam Axel dalam hati. Tiba-tiba dia merindukan Chana lebih cepat. Dia bahkan tak menatap wajah Chassy yang tampak malu-malu dengan rona merah muda samar.Chassy tersentak, tak menyangka akan ditemukan secepat itu. Rambut panjangnya bergoyang, dia menyingkirkan rambutnya ke belakang telinga, membuat belahan dadanya terlihat jelas. "Eh, oh, Axel. Aku
Pagi hari, dua pasang kaki tampak saling berdekatan dari bawah selimut yang menutupi tubuh. Axel bangun pertama kali dan menatap wajah cantik Chana yang terlelap dalam pelukannya. Senyumnya tersungging tipis melihat Chana menggeliat dan dia otomatis menutup matanya. "Ugh," lenguh Chana lemah, dia merasa seluruh tubuhnya remuk. Dia menengadah hanya untuk mendapati wajah Axel yang terlelap. Menelusuri wajah tampan di depannya, semua hal yang telah mereka lakukan semalam terbayang. Membuat wajahnya bersemu merah namun juga rasa kesal datang saat dia mengingat bahwa Chassy dibalik semua insiden sebelum semua terjadi."Apa yang kau pikirkan?" Chana berkedip saat suara serak itu berbisik lembut di telinganya. "Kau sudah bangun?" "Apa kau sedang memikirkan alasan akan kau berikan tentang kejadian semalam?" Wajah Chana memerah sekali lagi. "Itu-" "Sayang, suka atau tidak, kita menikmatinya bersama. Aku tak akan mengaku salah seperti terakhir kali." Chana menahan tawanya, dia menyembunyi
"Ibu, Ibu, Ibu!"Tangisan Chassy terdengar pilu di tengah hujan badai yang terjadi di luar. Di rumah utama keluarga Oswald, Mesya dikembalikan dalam keadaaan yang sangat mengenaskan. Tak satupun tubuhnya terlihat baik karena banyaknya luka sayatan di atas tubuh pucat yang kurus."Tidak, ibu, bagaimana kau bisa meninggalkan aku sendirian? Ibu, ibu, bawa aku bersamamu."Chassy tampak terguncang. Selama ini dia percaya bahwa Agraf akan mengurus ibunya dengan baik. Dan ibunya segera kembali, jadi dia tak berniat menjenguk walau sekali. Tapi dua minggu kemudian, ibunya kembali dalam keadaan tak bernyawa. Ibunya pergi tanpa dia tahu apa yang selama ini telah terjadi. Penyesalan datang bagai luka yang panjang. Chassy menangis, meraung dan berkali kali tak sadarkan selama proses pemakaman.Chana, menatap lurus dari kaca mata hitamnya pada mayat Mesya yang hampir tak dikenali. Tak ada rasa sedih atau pun simpati saat tubuh Mesya diletakkan dalam peti mati. Melihat Chassy yang terguncang, hatin
Chana menoleh saat seorang pria yang cukup tampan dan tinggi tak dia kenali tiba-tiba berdiri di hadapannya. Dengan rambut tatanan rapi dan kacamata hitam yang masih menutupi kedua matanya, pria itu menunduk sesaat menghormatinya."Kakak ipar," Chana mengerutkan keningnya. Suara yang cukup asing juga nada yang terdengar baru menghampiri telinganya. Dia tak yakin, tapi jika pria ini memanggilnya kakak ipar, maka itu pasti Matteo atau mungkin saja Raizel. Karena hanya dua orang ini yang selalu memanggilnya seperti itu. "Matteo?" panggil Chana tak yakin karena wajah pria ini tak jauh berbeda dari Matteo. Keduanya cukup tampan, hanya saja pria ini sedikit lebih pendek dari Matteo.Pria itu menggeleng lemah. "Rion. Kakak ipar, aku Rion Dario Archer. Salam kenal kakak ipar, dan aku turut berduka cita. Tapi ngomong-ngomong, apakah kakak ipar membutuhkan balasan yang lebih kejam?" "Y-ya?" Archer. Saat nama keluarga itu disebutkan, Chana bergeming. Butuh waktu beberapa detik sampai dia bi
Paris, Perancis. Kota A. Bangunan tinggi yang merupakan perusahaan terbesar di kota A, Axion company, tampak sangat tenang siang ini. Di sebuah ruangan yang sunyi, Axel duduk memeriksa tumpukkan dokumen penting sedangkan Dominic baru saja masuk."Tuan muda," Axel menoleh sesaat dan kembali fokus pada dokumen di tangannya."Apa kau mengawasi mereka?" Dominic mengangguk. Dia menghela napas sesaat lalu menyuarakan laporannya. "Tuan Muda, Nona Chassy tidak keluar dari kediaman Oswald selepas pemakaman ibunya dua minggu ini. Tuan Agraf terlihat sangat sibuk memunguti sisa-sisa bisnisnya yang dapat diselamatkan. Namun itu adalah hal yang sia-sia. Karena orang kita telah melenyapkan semuanya." "Bagaimana dengan keadaan di sekitar istriku?""Nyonya Chana menemui ketua Oswald yang telah kembali dan tinggal di Villa barat kota A. Lalu akhir-akhir ini, seorang pria asing dari negara Inggris, kota G, sering mengunjungi ibu nyonya." Axel mendengarkan laporan Dominic dengan seksama. Dia menge
"Axel aku merindukanmu, sangat merindukanmu." Tatapan Chana terpaku pada dua orang yang berpelukan erat. Seluruh tubuhnya kaku, dan sesuatu yang berat menghantam sudut egonya. Sesuatu dalam dirinya seolah menertawakan dirinya sendiri, yang entah bagaimana bisa sampai di tempat ini. "Axel," ujarnya lirih. Dia ingin sekali tertawa saat kilas masa depan terbayang sekilas. Penghianatan!Sesuatu yang menjijikkan terasa merayap di atas kulitnya. Menggelitik namun sangat menyakitkan. Akhirnya matanya terbuka jelas. Sesuatu seperti ini memang tak cocok untuknya. Tidak, dia tak akan tertipu dan jatuh pada lubang yang sama. Hal seperti ini, dia harus menyingkirkannya. Langkahnya sangat ringan, berbalik meninggalkan ruangan yang terbuka lebar. Satu sudut bibirnya tertarik sinis. "Kau mengejarku layaknya seorang pria tak tahu malu tapi kau memeluk wanita lain di belakangku. Axel, kau sangat luar biasa." Hatinya yang mati kini seolah tersiram racun yang lebih mematikan. Seluruh darah di tubu
Jika Chana masih merenungkan kata-kata Alice, di Axion Company, Axel sangat terkejut dengan kedatangan Chana untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya dia tak pernah berpikir bahwa suatu hari istrinya akan datang berkunjung. Masalahnya, kenapa istrinya datang di saat yang tak tepat. Hal ini membuatnya gusar. "Chana," gumam Axel cukup jelas. Dia mendorong tubuh wanita yang memeluknya hingga terjatuh. Kepanikan terlintas sesaat di mata hitamnya. "Chelsea, menjauh dariku!" Dia bergegas mengejar Chana namun tertahan saat tangan Chelsea menahan kakinya yang baru melangkah. "Axel, jika kau berani mengejarnya maka jangan salahkan aku jika kakek mempercepat pernikahan kita." Langkah Axel terhenti, dia berbalik menatap wanita cantik yang telah merapikan pakaiannya. Tatapan matanya menghujam dalam, dia meraih rahang Chelsea tanpa belas kasihan. "Ulangi sekali lagi." Chelsea tersenyum, dia menatap mata Axel tanpa takut. "Kita akan menikah." Axel tersenyum lembut. Sangat lembut hingga orang meng