“Aku harus pumping, tapi alat dan botolnya tertinggal di rumah.” Ayesha tampak ragu menyampaikannya.
“Baiklah, aku akan carikan di kantin rumah sakit!” ujar Hilbram bangkit segera keluar.
Melihat pria yang biasanya hanya bisa menyuruh-nyuruh orang, dan sekarang malah mengerjakan apapun sendiri, hati Ayesha sebenarnya mulai melembut. Tapi masih malas untuk berpikir tentang bagaimana hubungan mereka akhirnya.
Mungkin, memang ada hal yang mendesak yang membuat Hilbram tidak lekas mencarinya waktu itu. Bisa jadi ada sesuatu juga yang membuat Hilbram tidak membalas pesan-pesannya.
Masalah pernikahan Hilbram dengan sepupunya, sudah pria itu jelaskan dan mereka sudah tidak bersama lagi.
Thalita sudah dinikahkan dengan Rahman, sang asisten yang sudah dengan kejam membuangnya. Dan Ayesha akhirnya mengerti mengapa tidak lagi melihat Rahman di samping Hilbram.
Hati Ayesha yang mudah lemah it
“Kenapa ke arah ini?” tanya Ayesha pada Hilbram yang melajukan mobilnya bukan di jalan yang menuju rumahnya. Dia menduga, Hilbram mengajaknya ke tempat lain.“Kamu masih sakit, Sha. Siapa yang jagain dan bantu-bantu kamu?” ujar Hilbram memberi pengertian.“Jangan mencemaskan hal itu, aku masih bisa kok melakukan aktifitas sendiri. Hanya tangan sebelah yang sakit, satunya masih aman.”Hilbram menghela napas mendengar Ayesha yang keras kepala itu. Untuk pumping saja dia masih butuh bantuannya. Bagaimana untuk yang lainnya? Apalagi Adam sedang aktif-aktifnya bergerak.“Masalahnya kamu juga harus jaga Adam, Sha!” suara Hanin menyahut dari kursi belakang. Dia sengaja ikut untuk membantu membawa Adam. Mumpung dia tidak ada jadwal mengajar.“Kasih tahu sama Nyonya keras kepala ini, bagaimana dia bisa ngurus Adam dengan tangannya yang digerakan sedikit saja sudah kesakitan?”&ld
“Aku akan meminta pelayan mengantar obatmu, kau harus rutin minum obat yang diberikan dokter agar lenganmu cepat membaik.” Hilbram bertutur, dia tidak ingin bertanya jawab untuk beberapa nama yang tidak diingatnya.“Oh, terima kasih!” ujar Ayesha melihat Hilbram sepertinya sedang sibuk. Ponselnya beberapa kali berdering namun dirijeknya. Sejak kemarin Hilbram menungguinya di rumah sakit.Seorang pelayan terlihat masuk membawa nampan yang berisi gelas dan obat.“Aku harus ke kantor sebentar, ada sedikit hal yang harus aku kerjakan,” tukas Hilbram mencium kening Ayesha. Ayesha sepertinya terkejut dengan kelakuan Hilbram yang tiba-tiba mencium keningnya itu. Seolah diantara mereka sudah menyelesaikan semuanya. Namun, Ayesha tidak mungkin menolak pria itu di depan pelayannya.“Layani Nyonya dengan baik!” titah Hilbram pada pelayan itu.“Baik, Tuan!” ujar Tika, sang pelayan, sebel
Ayesha meminta pengasuh membawa Adam ke tempat tidurnya saat bayi itu mulai rewel karena mengantuk. Dia membelai rambut Adam dan memegangi botol susu agar Adam bisa ngedot dengan baik. Mendengar sang mama bernyanyi lagu tidur, mata Adam perlahan terpejam dan bayi itu dengan cepat terlelap.“Pasti capek ya, Nak? Seharian main terus!” gumam Ayesha mencium Adam dan menatapnya terlelap.Memandangi sang putra yang anteng dalam tidurnya adalah obat lelah dan sedihnya selama ini. Namun, saat ini masih ada hal yang meganggu pikirannya. Teringat ucapan Taher tentang apa yang terjadi pada suaminya selama mereka berpisah. Dadanya jadi merasa sesak membayangkan hal buruk menimpa suaminya itu.Hanin benar, ternyata ada sesuatu yang membuat mereka salah paham selama ini.Hal yang membuatnya terharu adalah, Hilbram masih mencoba mencarinya meski dia kehilangan ingatan tentang hubungan mereka.Lantas, apakah Hilbram saat ini sudah sepenuhnya meng
“Aku sudah mengurus akte dan dokumen Adam, maaf aku menambahi sedikit nama dan nama keluarga di belakangnya,” ujar Hilbram membahas tentang putranya itu. Ayesha baru ingat, dia memang tidak bisa mengurus dokumen kependudukan Adam karena harus melampirkan beberapa dokumennya yang tidak bisa ditunjukan. KTP-nya saja sudah hilang. Belum lagi menyertakan data ayah yang tentu Ayesha tidak punya. “Terima kasih, aku sudah pernah mengusahakan mengurusnya, tapi terlalu ribet karena dokumen yang kurang lengkap.” Ayesha tidak perlu bertanya tentang bagaimana Hilbram tahu bahwa putra mereka belum memiliki identitas kependudukan setelah berusia hampir 6 bulan. Tidak sulit baginya mengetahui perkara itu. “Identitasmu juga sudah aku pulihkan. Taher akan mengurusnya besok.” Hilbram kembali menambahi. Kemudian baru teringat, dirinya belum meminta maaf secara sepantasnya tentang apa yang terjadi pada hubungan mereka selama ini. “Aku sudah memberikan hukuman pada Rahman untuk menyibukannya di per
“Maaf, Mas. Maafin aku!” Ayesha terisak. “Aku juga minta maaf, Sha. Kita mulai semua dari awal ya?” Hilbram mengelus Ayesha. Ayesha mengambil jarak di antara keduanya, mengatakan, “Mas, aku akan coba bantu Mas mengingat sedikit demi sedikit. Kita harus berusaha agar kau tidak kehilangan hal-hal penting dalam hidupmu!” ucap Ayesha bertekad. “Terima kasih!” Hilbram tersenyum senang akhirnya Ayesha sudah tidak salah paham lagi padanya, begitupun sebaliknya. Keduanya berpelukan lagi. “Sha, jangan salah paham tentang pernikahanku dengan Thalita ya?” ucap Hilbram merasa harus membicarakannya juga. Ayesha tidak menyahut. Masih menenggelamkan kepalanya di dekapan Hilbram. Dia jadi sedih diingatkan tentang itu. Naluri seorang istri kembali mengacaukannya. “Saat berbelanja ke mall Antariksa, sebelum melahirkan Adam, aku melihat kalian berjalan mesra dengan sangat bahagia, memilih perlengkapan bayi bersama. Aku hancur sekali, Mas.” Air mata Ayesha kembali mengalir mengingat hari itu. Di
Thalita mengerung kesal saat tangan kekar itu menarik dan melemparnya ke atas ranjang besar. Dia menatap dengan marah pada pria yang sangat dibencinya itu. Berani-beraninya memperlakukannya seperti ini. Lihat saja, dia akan mengadu pada Hilbram tentang sikap kasarnya. “Aku bilang jangan ikut campur dalam hidupku!” ketusnya pada Rahman yang sudah dengan paksa membawanya pulang saat baru saja ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang di club malam. Pemerintah Qatar sudah mulai melonggarkan kegiatan sosial. Jadinya, Thalita yang terbiasa kluyuran itu merasa menjamur di rumah saja selama pembatasan karena covid.“Aku suamimu sekarang, jadi patuhlah!” Rahman tidak berhenti dibuat kesal atas tingkah wanita yang lebih pantas menjadi anaknya itu. Minum-minuman keras dan clubbing adalah hobinya yang sangat dibenci Rahman.“Cih! Bangga sekali kau bilang suamiku. Sejak dulu kau pasti sudah mengincar ini agar kau mendapatkan ap
“Kau menertawaiku, huh?” Hilbram menatap bocah kecil yang kini ikut rebahan di ranjangnya. Sementara sang mama sedang mandi. Adam hanya terkekeh sembari memiringkan tubuhnya mencoba bangkit dan meraih wajah Hilbram untuk dicengkramnya. “Aku bilang jangan tertawa, dasar penganggu cilik!” Hilbram tampak gemas melihat Adam yang malah tertawa, kemudian ikut tertawa dan menciumi bayi yang menggemaskan itu. “Papapapa...” celoteh Adam sambil menepuk-nepuk pipi Hilbram. “Benar, aku papamu. Tapi kita sepakat ya, kau jangan menggangguku saat bersama mamamu. Oke?” Hilbram masih juga perhitungan mengingat kegiatan yaang baru panas itu sudah dihentikan karena Adam menangis tidak melihat mamanya saat terbangun. “Mamamama...” Hanya itu yang bisa dijawab Adam. “Kenapa? Kau bilang mamamu hanya milikmu?” Hilbram dengan isengnya menerjemahkan sendiri ocehan bayinya. Bayi itu hanya tergelak seolah menertawakan kegabutan orang dewasa yang sedang kesal di depannya itu. “Adam sudah ganteng dan wangi,
Setelah diantar ke lantai tempat Hilbram berkantor, Taher menyambutnya di depan pintu lift. Dengan tersenyum ramah, mempersilahkan sang nyonya untuk mengikutinya menuju ruang direktur utama perusahaan ini.Lantai ini tampak sepi. Sepertinya memang hanya untuk ruangan big bos dan para direksinya. Di depan pintu lift tadi Ayesha sekilas membaca tulisan, hanya pegawai yang punya akses saja yang bisa masuk ke lantai ini. “Silahkan, Nyonya. Tuan sudah menunggu di dalam!” Taher membukakan pintu untuk Ayesha lalu segera menutupnya lagi.Ruangan yang luas dan tampak elegan. Lalu, di mana Hilbram?“Aku di sini!” suara lirih yang tepat di telinga Ayesha mengejutkannya. Hilbram sudah berdiri di belakangnya dan tangan itu langsung menyabuk ke pinggang Ayesha. Memepetkan tubuh mereka.“Eh, Tuan!” Ayesha mencoba menahan tangan Hilbram namun justru malah terhempas di pelukan pria itu. Dia terlihat tidak tenang. Bahkan pintu itu masih bisa dibuka dari luar, tadi.Bagaimana kalau nanti ada orang y