“Tuan, Nona Thalita sudah dibawa pulang dan Nyonya Fatma juga sudah dijemput. Kondisi rumah Kota Pusat masih dalam renovasi, jadi belum layak untuk ditempati.” Taher melaporkan pada sang Tuan. Meski tahu ada sang nyonya di sampingnya.Ayesha menatap Taher yang berlalu setelah menyampaikan hal itu. Dia berpikir seolah pria itu sengaja menjelaskan tentang kondisi rumah Kota Pusat di hadapannya agar dirinya bisa memaklumi kalau Thalita tidak bisa pergi ke sana saat ini.“Kenapa rumah di Kota Pusat direnovasi?” tanya Ayesha kemudian meminta penjelasan. Padahal sebelumnya tidak ada sesuatu hal.“Kau mengira aku yang meminta itu agar Thalita tidak di antar ke sana?” Hilbram mulai merasa Ayesha sangat menyebalkan dengan terus mencurigainya.“Mas sakit hati sekali sepertinya?” Ayesha merasa suaminya dengan terang-terangan menunjukan rasa sebalnya.“Bukan begitu, Sayangku...” Hilbram segera menyadari sudah kelepasan salah bersikap.“Aku ‘kan sudah bilang tidak masalah juga Thalita tinggal d
Panggilan dari Ayesha membuat Hilbram teralihkan dari fokus pekerjaannya. Dia menyambar ponsel di meja kerjanya.“Iya, Sayang?” ujar Hilbram cepat, berharap istrinya itu berubah pikiran dan memintanya menjemputnya.“Aku hanya minta waktu sebentar, Mas. Kenapa masih mengirim orang mengawasiku? Tidak enak dengan Hanin sekeluarga yang kalau tahu merasa privasinya terganggu!”“Apa?” Hilbram terkejut Ayesha bahkan tahu hal itu.Hilbram tahu, Ayesha memang wanita cerdas, dia cepat sekali menghafal semua tentang dirinya. Sepertinya dia harus hati-hati dengan langkahnya.“Aku tidak bisa membiarkan anak dan istriku dalam bahaya, Sayang! Kau sudah tidak bersamaku, jadi aku tidak bisa tenang memikirkan kalian.” Hilbram dengan terpaksa mengakuinya. Saat panggilan diakhiri, Hilbram sambil keheranan menatap Miko. Raut kesal nampak juga di wajahnya.“Anak buahmu tidak profesional sekali. Istriku sampai tahu ada orang yang mengintainya.”“Benarkah?” Miko juga jadi keheranan. Sejeli apa nyonyanya
“Kau tidak sendiri, Sha! Ada aku bersamamu,” ujar Hanin yang terlihat lebih murka dari Ayesha sendiri.Dia melihat sahabatnya itu hanya terdiam dengan tatapan kosong sepanjang jalan, Hanin bertambah sakit hati.“Turunin aku sebentar, Nin!” ujar Ayesha yang merasa pusing.Hanin menghentikan mobilnya dan melihat Ayesha terburu-buru keluar. Dia duduk di trotoar jalan yang sepi itu sambil menangis sesenggukan. Hanin menatapnya dengan penuh iba. Bukan sekali ini dia melihat sahabatnya seperti itu.Ayesha bukan wanita yang jahat dan kejam hingga harus menerima takdir cinta yang terus membuatnya hancur itu. Ayesha anak sebatang kara yang malang. Hidupnya susah dan penuh cobaan. Pria kejam itu apa tidak punya rasa belas kasihan saat harus membuat wanita sebaik Ayesha mengalami semua ini.Bukankah akan lebih sederhana kalau dia mengakhiri hubungannya dengan Ayesha saat mereka terpisah waktu itu, jika dalam hatinya masih juga mencintai wanita lain?Apa karena mereka orang kaya lalu bisa seena
“Kau yakin akan balik ke rumahmu sendiri?” Hanin yang mengunjungi Ayesha menanyakan tentang rencana sahabatnya itu.“Iyalah!” sahut Ayesha cepat. Seolah tidak mau merubah keputusannya. Dia akan segan jika tanpa malu terus tinggal di tempat orang.“Sudah siap akan bertemu kembali dengan suamimu itu?”“Kenapa tidak, cepat atau lambat aku juga pasti bertemu dengannya.” Ayesha dengan mantap menjawabnya.Sebulan ini mengunci diri dari dunia luar membuatnya mulai bisa berpikir lebih baik. Mencoba mendewasakan hati dan pikirannya dalam kesendirian dan doa-doanya disetiap sholatnya. Dia bersyukur, hatinya memiliki iman yang selalu bisa membimbingnya.Setelah ini, dia harus mempersiapkan diri menjalani babak baru hidupnya. Ayesha sudah ikhlas jika pada kenyataannya suaminya itu memang masih memiliki hubungan asmara dengan sepupunya sendiri. Dia juga sudah menyiapkan mental menjadi seorang single parent untuk Adam. Sejak hamil dia memang sudah memupuk mental seperti itu.“Sha, Pak Dirga tidak
Ayesha meminta Adam dari gendongan Hilbram. Dia lebih memilih menghubungi Dirga untuk menjemputnya. Seharusnya pria itu memaklumi mengapa Ayesha sampai harus bersikap demikian.“Kita pulang sama Om Dirga, ya?” ujar Ayesha yang melihat Dirga sudah menghampiri.Untungnya, Adam tidak menolak. Anak kecilnya itu juga sudah akrab dengan Dirga. Sebulan ini, pria itu sudah merelakan waktunya untuk menemani Adam.“Om...Om...” Adam terlonjak senang melihat Dirga datang.Ayesha langsung berjalan menuju mobil Dirga tanpa sedikitpun melirik Hilbram yang masih berdiri di sana. Dirga yang mengambil stroler itulah yang menyapa sang pemilik yayasan tempatnya mengajar. Tidak mungkin dia mengabaikan begitu saja pria itu.“Permisi, Tuan!” ujarnya basa-basi lalu segera memasukan stroler itu dan bersiap melajukan mobilnya keluar halaman rumah sakit.Meninggalkan pria yang masih berdiri membeku menatap mereka sampai tidak terlih
Bunyi deru mobil itu membuat Ayesha terbangun. Dia sadar kalau barusan ketiduran. Sepertinya hanya terlelap sesaat.Namun, melihat Adam yang sudah bermain di boxnya dengan sudah harum dan berganti baju, Ayesha keheranan. Tidak mungkin dia bermimpi sudah memandikan anaknya itu.“Astaghfirullah!” gumamnya melihat jam di dinding kamarnya yang menunjukan sudah menjelang malam.Dia tentu sudah tertidur berjam-jam. Ayesha baru ingat belum sholat ashar. Bergegas keluar mengambil air wudhu. Mungkin sekalian sholat maghribnya.Selesai sholat dia melirik lagi putranya yang masih anteng di boxnya itu. Siapa yang memandikan dan mengganti bajunya?Tatapannya kembali ke arah pintu. Di rumah ini tidak ada siapapun kecuali dirinya dan suaminya itu. Hilbram pasti sudah memandikan Adam saat dia tertidur tadi.Pria itu memang begitu. Kalau mencoba menarik perhatian, akan terus melakukannya sampai berhasil. Seperti dulu saat mereka kembali bersua setelah kesalahpahaman itu. Hilbram dengan gigih mencoba
“Kau yakin pria ini yang mencoba menabrakku waktu itu?” tanya Hilbram memperhatikan wajah pria itu. Sekilas dia terlihat sedikit familiar. Tapi dimana dia pernah melihatnya? “Dia pernah mengendarai mobil ferrari sport dengan nopol sama persis yang Bos hafalkan!” ujar Miko memberi penjelasan. Hilbram sudah mengingat semuanya. Tentang tragedi penabrakannya waktu itu hingga berakhir koma dan amnesia. Dia sempat melihat dengan jelas plat mobil itu. Hilbram bahkan bisa mengingat nomor plat itu dengan baik. Tandanya, ingatannya sudah pulih kembali. “Apa pria ini berhubungan dengan Rahman?” Hilbram kembali meminta penjelasan. “Pria ini sangat sulit dilacak, aku pikir dia pasti bukan orang sembarangan. Aku belum bisa memastikan ada tidakknya kaitan pria ini dengan Rahman. Kalau memang ada, berarti fix pria ini memang anak buah Rahman yang memang sengaja mencoba menghabisi nyawa Anda.” Hilbram manggut-manggut. Dia sudah mulai curiga pada Rahman sejak dia memisahkannya dengan Ayesha. S
“Astaga, Mas!”Ayesha tidak sengaja membuka suaranya pada Hilbram yang tidak tahu sudah berapa lama ada di sana?Padahal, sebelumnya dia masih menikmati sikap diamnya pada pria ini.Bahkan semalam, ketika Hilbram kembali lagi untuk bicara padanya, Ayesha malah mengunci pintu kamarnya.Rasanya belum puas bisa mengabaikan keberadaan suaminya itu di rumahnya.“Kau pergi masih pagi dan baru pulang malam begini?” Hilbram menutup pintu setelah Ayesha begitu saja masuk ke dalam.“Boleh menjenguk orang sakit, tapi anaknya juga dipikirkan!” Hilbram bertutur pada Ayesha yang menaruh sepatunya di rak sepatu. Entah sampai kapan Ayesha akan mendiamkannya.Hilbram melihat Ayesha masih bergeming lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia hanya menghela napas panjang. Sebenarnya, dia pria yang mudah terpancing emosi. Namun untuk wanita itu Hilbram sudah menebalkan kesabarannya.Hilbram cemas, saat ini dalam kondisi pikirannya yang ruwet dan melihat putranya yang diabaikan, akan membuatnya tidak bisa mengend