“Wait, wait... kenapa marahnya ke aku?” Sebastian tidak terima Hanin berkata dengan nada emosi seolah dirinyalah yang melakukan kesalahan.“Aku engak marah ke Anda, Tuan Sebastian. Tapi pada teman Anda yang tidak punya perasaan itu!” Hanin jadi sebal. Bahkan pria ini pun menyebalkan sekali.“Iya deh, nanti aku ingatkan temanku itu. Apa aku harus melaporkan dan membuat bukti bahwa aku sudah berusaha mengingatkannya?” Sebastian seperti ingin menggoda Hanin.“Boleh, agar aku bisa lebih percaya padamu!” Hanin menanggapi candaan Sebastian, walau kemudian menyesalinya.“Asyik, kalau udah percaya kita lanjut ya, Non!” Sebastian malah terus berusaha menggoda.Mata Hanin membelalak dan pipinya tiba-tiba bersemu kemerahan. Dia harus cepat-cepat undur diri dari pria itu sebelum kemana-mana pembicaraannya.“Kok lama, Nin? Apa kamu sakit perut atau kenapa-kenapa?” Ayesha melihat Hanin baru keluar. Dia cemas jangan-jangan Hanin ada masalah.“Enggak, i am okey!” ujarnya menggandeng tangan Ayesha.M
Ayesha sebenarnya menyesalkan bagaimana bisa Santi sampai lengah hingga ada orang yang melakukan hal itu pada bayinya?Katakanlah orang iseng—anak kecil mungkin yang main gunting-gunting rambut bayi. Tapi, bukankah itu akan mengerikan jika benda tajam itu melukai bayinya?“Ibu ngapain saja sampai enggak tahu ada yang main gunting rambut Adam?” Hanin seolah mengintrogasi Santi. Dia juga terlihat mencemaskan Adam.“Ibu nitip sebentar karena susu Adam ketinggal di rumah, Ibu juga tidak tahu bagaimana? Orang di sana juga baik-baik saja tidak ada hal yang aneh. Adamnya juga gak rewel. Tahunya pas di rumah.” Santi merasa tidak enak sampai dimarahi Hanin begitu.“Nin, jangan begitu!” Ayesha mengingatkan sahabatnya itu agar tidak berlebihan. Yang penting sekaarang Adam tidak kenapa-kenapa.“Sudahlah, jangan diambil serius. Adam belum di aqiqohi dan dicukur rambutnya ‘kan? Mungkin itu juga jadi mengingat
Memandangi putranya yang tertidur dengan damai, Ayesha sebenarnya resah memikirkan tentang pekerjaan yang disampaikan Praja.Dia sudah seharusnya bekerja secepat mungkin karena sudah tidak memegang banyak uang. Hanya tinggal beberapa ratus ribu di dompetnya untuk jaga-jaga. Itu pun uang yang ditemukannya dalam amplop saat mengunjungi rumahnya dan sekedar beres-beres. Sepertinya itu uang simpanannya sendiri di masa lalu yang lupa menaruhnya di suatu tempat.Tapi, apakah menerima tawaran bekerja di perusahaan milik pria yang sudah menghancurkan hatinya adalah pilihan yang bijak?Luka hatinya masih perih jika mengingat semua sikap pria itu terhadapnya. Ayesha benar-benar mulai merubah penilaiannya terhadap pria yang pernah mengatakan sangat mencintainya itu. Semua kebenaran yang dilihatnya sendiri mematahkan anggapannya selama ini—bahwa Hilbram masih mencintainya.Hanya saja, dia harus mengesampingkan semua itu demi bisa bertahan hidup dan
“Kenapa tidak enak?” Santi terkejut tiba-tiba Ayesha menyampaikan akan tinggal di rumahnya sendiri, setelah mendapat kabar bahwa Kakak Hanin akan pulang bersama istrinya.“Tidak apa, Tante. Adam juga sudah lebih besar. Insyaallah saya bisa ngurus sendiri.” Ayesha tidak mau terus-terusan merepotkan.“Kakaknya Hanin mungkin hanya beberapa hari di rumah, masih ada kamar lain di rumah ini. Sudah, di sini saja!” Santi masih merasa tidak tega.“Tidak apa, Tante. Lagipula kasihan rumahnya kalau enggak ditempati dan dirawat, bisa-bisa banyak barang yang rusak.”Santi tidak medesak lagi. Bagaimanapun Ayesha juga punya hak untuk menentukan tinggal di mana. Dia juga bukan putrinya yang harus dipaksa menuruti sarannya.“Tapi kalau kamu jadi kerja, Adam bagaimana?” Santi teringat bahwa Ayesha memutuskan mengambil pekerjaan yang ditawarkan suaminya. Katanya, masih minggu depan baru dapat panggilan.
Hilbram menatap amplop di meja kerjaanya dengan penuh kegelisahan. Sepertinya merasa belum siap jika hasil dari tes DNA itu menunjukan bahwa anak itu bukanlah darah dagingnya.Ayesha sudah menegaskan bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Hal tersebut membuatnya merasa cemas.Padahal, dia belum bertemu sekalipun dengan bayi itu. Rasa ini hanya karena dia tidak rela bahwa hubungannya dengan wanita itu harus diakhiri. Sementara Hilbram sudah sepakat membuat suatu keputusan setelah semua ini clear.Dia mengalami banyak tekanan di dunia kerja, banyak tantangan dan bahkan ancaman nyawanya sekalipun. Tapi di hadapan hasil tes itu, tangannya lemas.“Kau harus siap dengan segala sesuatunya” gumam Hilbram menghela napas panjang lalu menguatkan hati mengambil hasil tes itu dan membukanya.Saat membaca isinya yang hampir memenuhi satu halaman dengan data-data ilmiah yang Hilbram tidak terlalu paham, membuatnya bingung. Kenapa juga harus ada keteran
Hilbram baru saja pulang dari kantor dan mendapati sesuatu yang mecengangkan di dalam kamarnya saat menyalakan lampu. Dia melenguh kasar mendapati Thalita yang sudah duduk di atas ranjangnya dengan pakaian yang terbuka.“Sedang apa kau di kamarku?” Hilbram menarik Thalita agar keluar dari kamarnya.Namun Thalita malah memeluk Hilbram sambil cengengesan. “Mau tidur sama suamiku, lha!”“Jangan bercanda, Tha! Keluar dari kamarku!” Hilbram mendorong tubuh Thalita hingga terhempas ke tempat tidur kembali.“BRAAM!!” Thalita berteriak pada Hilbram yang kasar itu.“Jangan berteriak seperti itu kepadaku!”“Normal enggak sih kamu? Apa kamu sama sekali tidak tergoda untuk tidur bersamaku?” Thalita malah berpose seronok mengoda Hilbram.“Keluar!” Hilbram menatap tajam Thalita lalu dengan cuek meninggalkannya ke kamar mandi.“Br
Hilbram memikirkan banyak hal di kepalanya sampai panggilan di mejanya terabaikan. Ketika dia sudah melihatnya beberapa menit kemudian, Hilbram sampai harus memicingkan matanya melihat video kiriman dari temannya Sebastian. Kenapa Sebastian mengirimkan video seperti ini padanya? Namun begitu jarinya mengusap layar itu, Hilbram seolah melihat sesuatu yang tidak asing. Dibukanya lagi dengan teliti, melihat seorang wanita menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdunya hingga membuat beberapa undangan terpaku. “Ayesha?” Hilbram memperjelas penglihatannya. Benar, kamera Sebastian menyorot pada sosok wanita yang terlihat begitu anggun dalam balutan pakaiannya yang sederhana. Menyanyikan lagu mellow hingga membuat banyak orang terpana. Sesaat bahkan Hilbram pun terkesan melihat ibu dari putranya itu ternyata memiliki kemampuan tersembunyi. Ah, jangan bilang tersembunyi. Mungkin dulu dia sudah tahu Ayesha bisa bernyanyi. Hanya saja dia lupa semua itu. Sial sekali amnesianya ini. Kenapa
“Oh, jadi kamu mau turun? Aku turunin di depan ya?” Sebastian malah sengaja membuat Hanin bertambah kesal.“Oke, siapa takut. Turunin saja di depan!” Hanin menantang. Padahal ini tengah malam, dia wanita penakut dan merasa ngeri kalau diturunkan di jalan yang sepi dan gelap itu.“Ya ampun, jangan bertengkar terus dong!” sahut Ayesha yang duduk di bangku belakang. Sejak tadi hanya mendengarkan kedua orang di depan itu berdebat.Dia melirik Hanin dan Sebastian bergantian. Ada yang terasa aneh. Sepertinya keduanya saling membawa perasaan.“Sory, Sha! Ini temanmu bawel sekali sih,” gerutu Sebastian.Hanin hanya mencebik dan tak lagi berkomentar karena rumahnya sudah di depan mata. Saat keduanya sudah keluar, tiba-tiba Hanin balik.“Eh, sebentar! Kalau menolong jangan setegah-setengah, dong!” tukasnya mengetuk kaca jendela mobil Sebastian.Sebastian membuka kaca mobilnya dan tidak mengerti apa yang dimaksud Hanin. Apa ada hal lain yang harus dilakukannya?“Sudah, ah, Nin. Jangan ngrepoti