Ini masih jam makan siang. Ayesha tidak langsung turun ke lantai tempat ruang kerjanya. Bertemu Nola dan beberapa rekan yang lain sedang menikmati makanan di lounge, dia akhirnya memutuskan untuk singgah sebentar di sana.“Dari mana saja kamu?” Nola bertanya pada Ayesha yang tampak segar itu.Aroma shampo di kamar mandi ruang kerja Hilbram begitu tajam. Bahkan Ayesha bisa membaunya sendiri. Jadi merasa Nola menatapnya dengan penuh kecurigaan.“A-aku tadi dari ruangan Tuan Hilbram, lanjut menyempatkan sholat dulu.”“Aku juga baru sholat, kok tidak ketemu?” Nola masih bertanya.“Barusan kok, tadi aku lihat kamu baru keluar mushola saat aku masuk!”Duh, jadi serba salah begini ya?Tenang, Sha...Ayesha berusaha menguasai dirinya. Dia cemas sekali kalau sampai harus terlihat mencurigakan. Rasanya sudah seperti berselingkuh dengan big bos di kantor ini. Padahal big bosnya suaminya sendiri.“Aku pesan makanan dulu!” Ayesha bangkit dan mengambil makanan di rak hidangan. Melirik ke arah Nol
Hilbram termenung menatap kosong hadapnya untuk menunggu panggilannya bisa tersambungkan cepat. Ketika, ponselnya berdering dia segera mengambil benda itu dan mengupingnya.“Maaf, Tuan! Pak Rahman sedang menjemput anak dan pengasuhnya di bandara,” suara Damian, sekretarisnya di Qatar terdengar.“Kau tidak bisa menghubunginya?” Hilbram sedikit kesal, sejak kapan dia harus menunggu jika harus menghubungi asistennya?“Kalau saya bisa menghubungi beliau, tentu sudah saya sampaikan apa yang Tuan inginkan!” Damian masih mencoba menjelaskan.Hilbram terhenyak dan tidak mengerti dengan jalan pikiran Rahman. Sepertinya pria itu sudah mulai menunjukan taringnya untuk bisa melawannya perlahan. Hilbram harus memikirkan banyak kemungkinan dan cara agar bisa memahami Rahman dengan baik.Dibanding Rahman yang sejak kecil sudah membersamainya, Hibram sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mengerti dan memahami orang yang sejak dulu melayaninya itu. Rahmanlah yang punya kewajiban memahaminya.Na
Ayesha terkejut dengan sindiran Fatma yang merasa sudah menunggunya sejak tadi. Lalu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Tante,” ujar Ayesha pada wanita itu.“Jangan mentang-mentang kau nyonya di sini lalu merasa seenaknya sendiri, ya?” Fatma tidak tahan ingin memarahi wanita yang sudah merebut perhatian Hilbram dari anaknya itu. “Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah membuat Tante merasa kurang nyaman.” Ayesha masih berusaha menjaga sikapnya.“Benar, kau benar-benar sudah membuatku tidak nyaman!” Fatma menatap Ayesha yang bahkan belum duduk itu.Biar saja melihat wanita itu berdiri di sana. Fatma merasa wanita ini sungguh tidak pantas bersanding dengannya. Setelah mengetahui fakta bahwa keponakannya itu memungutnya dari rumah bordil, Fatma punya alasan untuk merasa muak pada Ayesha.Ayesha hanya menunduk. Dilihatnya tadi aura kebencian yang tersirat dari tatapan mata wanita ini, seolah menyadarkannya bahwa kastanya sangat berbeda dengan kasta wanita itu—yang merupakan putri dari kel
“Heran saja dengan keluarga Tante, setiap hari bergumul dengan kemewahan, lalu mendapatkan warisan saja sudah membuat Tante dan Charlie gelap mata. Macam orang yang tidak pernah pegang banyak uang saja!” sindir Hilbram pada tantenya itu.“Charlie hanya kena tipu, Bram!” Fatma membela suaminya.“Hanya?” Hilbram tersenyum miring.Hilbram tahu Charli bukanlah seorang pebisnis. Dia hanyalah sutradara film yang bahkan tidak ada satu pun karyanya yang sukses. Lalu sok-sokan mencoba berbisnis bermodalkan harta warisan tantenya itu.Sekarang, wanita ini datang menangis-nangis karena Charli sudah tanpa persetujuannya menjual saham bagiannya—demi lolos dari tuntutan hukum orang-orang yang berinvestasi dalam proyeknya bersama temannya—yang sudah kabur membawa uang mereka.“Bisakah kau mencarikan jalan keluarnya, Bram?” Fatma yang kebingungan itu hanya butuh solusi dari Hilbram, bukannya malah dicecar banyak pertanyaan.“Setelah Charli sudah menjual saham bagian Tante, tidakkah itu sudah menyel
“Tunggu, aku yakin ini gara-gara istrimu itu. Dia pasti sudah mengadu yang bukan-bukan padamu ‘kan?” Fatma menyimpulkan, tidak mungkin keponakannya itu tiba-tiba menarik kembali ucapannya tanpa sebab. “Bukan karena dia mengadu, tapi karena Tante sama sekali tidak menghormatinya sebagai istriku.” Hilbram mengingatkan wanita itu. Jika dia masih membutuhkannya, seharusnya juga menghormati istrinya. “Apa yang perlu dihormati dari wanita pelacur sepertinya?” Fatma jadi emosi saja mengetahui sebab Hilbram menarik kembali bantuannya, karena membela wanita itu. Hilbram menatap tajam Fatma mendengar wanita itu menghina istrinya dengan kemarahan. “Tarik kembali ucapan, Tante! Minta maaf pada Ayesha!” tukas Hilbram, namun melihat Fatma seolah tidak mau melakukannya. “Untuk apa aku meminta maaf, sejak kedatangan wanita yang kau ambil dari tempat pelacuran itu, keluarga kita berantakan, Bram!” Fatma tidak berhenti mempengaruhi Hilbram. Rahman sudah menyampaikan bahwa dokter mengatakan kem
Ayesha terlihat berjalan masuk ke kantor. Dia melihat Dannil dan Verni sedang bersama. Entah mengapa mereka sepertinya sengaja berhenti untuk menunggunya.“Selamat pagi?” sapa Ayesha pada dua orang itu.“Sha, kau diantar siapa?” Dannil bertanya dengan raut menyelidik.Ayesha menatap dua orang itu dan menyembunyikan keresahan tentang apakah mereka melihatnya turun dari mobil yang mengantarnya tadi?Dia menoleh ke belakang melihat sebuah mobil berhenti di depan daycare untuk menurunkan seseorang. Ketika berlalu, orang yang diturunkan tidak terlihat dari tempatnya berdiri.Ayesha pikir, mereka juga tidak akan melihat saat supir menurunkannya di depan daycare tadi. “Kenapa? Aku setiap hari memang ada teman searah yang menumpangi. Apa penting untuk memberitahu dengan siapa aku diantar?”Verni yang sejak tadi terdiam jadi ikutan menyahut.“Pak Dannil ini kemarin melihatmu masuk ke mobil mewah, jadinya dia tadi mencoba memastikan apakah penglihatannya benar. Kami merasa mobil mewah yang
Ayesha merapikan beberapa dokumen yang sudah selesai dikerjakannya. Sudah saatnya untuk pulang. Dia menekuk—nekuk jemarinya yang tegang karena seharian harus wara-wiri di atas keyboard.“Akhirnya selesai juga, Alhamdulillah!” ucap Ayesha terlihat lega mengambil ponselnya di meja untuk dimasukannya ke dalam tas. Namun benda pipih itu terlihat berkedip. Ayesha menahannya sejenak untuk melihat pesan dari siapa yang masuk.“Astaga, Adam?!” Ayesha terkejut melihat foto putranya yang duduk di meja kerja Hilbram di kantor ini.“Kenapa, Sha?” Nola yang sudah siap pulang terlihat menjinjing tasnya, namun masih menyempatkan menanyakan mengapa Ayesha tampak terkejut menerima pesan seseorang.“Anakmu kenapa?” tanya Nola memastikan lagi.“Ahaha, anakku tidak apa-apa kok. Tadi hanya lihat fotonya yang belepotan dari pengasuh daycare.” Ayesha jadi terpaksa berbohong karena temannya yang selalu kepo itu.“Oh, aku kira ada apa? Ya sudah aku duluan baliknya!”“Baik, hati-hati Nola!”Ayesha melambaikan
“Astaga, aku kira Mas yang hebat bisa buat dia anteng di depan meeting tanpa rewel.”Ayesha baru tahu bagaimana pria ini bisa membuat anaknya tidak rewel. Ternyata ada layar bersebelahan yang membuka channel cocomelon. Meski suaranya di mute, tentu gambar-gambar lucu itu menarik perhatian Adam.“Sini anak aku, enak saja masih kecil sudah dieksploitasi untuk meeting!” gumam Ayesha mengambil Adam dari tangan sang papa yang hanya tertawa kecil itu.Tapi Hibram serius, Adam adalah putranya. Dia sudah akan mengenalkan dunianya ini sejak dini pada sang putra. Karena pada akhirnya dialah yang harus mengambil alih tanggung jawab.“Enak saja, kalau Adamnya pengen jadi penyanyi atau yang lain bagaimana?” Ayesha mengomentari ucapan suaminya yang sudah lebih dini menyatakan bahwa sang putra adalah big bos perusahaan ini pada akhirnya.“Waaah, berarti kita harus bikin anak banyak biar tidak bingung cari penerus.” Hilbram mentowel pipi istrinya itu, lalu menciumnya karena sudah kangen.“Ahhhhh....