Sesampainya berada di ruangannya, Rey langsung menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja. Namun, ketika sudah mendapatkan kunci mobil tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangnya.Tok! Tok! Tok!"Masuk!""Rey, ada apa?" Abbas bertanya ketika melihat wajah Rey yang tampak cemas."Ternyata tadi malam Delisha menginap di Mansion Wijaya," kata Rey dengan suara terengah."Lalu mengapa kamu terlihat begitu khawatir?"Rey tampak begitu khawatir karena dari tadi Delisha belum datang ke kantor. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi."Sudah jam segini, tetapi Delisha belum datang ke kantor. Aku hanya ingin tahu dia sedang apa.""Kamu akan pergi ke Mansion Wijaya?"Rey mengangguk. "Aku harus memastikan keadaannya saja.""Lalu bagaimana dengan pekerjaan hari ini?" Abbas merasa bingung bila Rey tidak ada di kantor karena pekerjaannya masih menumpuk. Apalagi mereka akan bertemu dengan klien hari ini juga."Aku serahkan semuanya sama kamu.""Tetapi, Rey—""Sudahlah, aku percaya
"Kalau Delisha tidak menemui Papa. Lalu, dia pergi ke mana, Pa?"Suara Rey sudah begitu memberat, memikirkan keadaan Delisha yang tak tahu entah ke mana."Papa juga tidak tahu, coba Papa akan menghubungi Delisha."Jonathan sudah meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mulai menghubungi nomor putrinya. Akan tetapi nomornya tidak aktif."Nomornya tidak aktif. Ke mana dia?"Wajah Jonathan sudah mulai cemas tidak biasanya nomor putrinya tidak aktif. Walaupun Delisha akan ke rumah, biasanya Delisha akan mengabarinya terlebih dahulu.Atau mungkin kah ada orang yang sudah menculik Delisha?Pikiran Jonathan sudah mulai tidak menentu, yang ditakutkan adalah hal buruk yang terjadi pada putrinya."Kalau begitu Rey akan mencari Delisha lagi, Pa.""Baiklah, Papa juga akan menyuruh anak buah Papa untuk mencari keberadaan Delisha."Rey menganggukkan kepalanya. "Makasih, Pa.""Kamu tidak perlu berterima kasih, walau bagaimanapun Delisha adalah putriku. Aku pasti juga akan merasa cemas bila p
Rey mengendarai mobilnya begitu cepat, seperti kilatan petir yang menyambar, tidak peduli seberapa cepat ia mengendarai mobil. Asalkan ia segera sampai di kampung halaman Delisha. Rey sangat cemas dan bingung, dan ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua tempat sudah ia kunjungi dan kini harapan terakhirnya adalah kampung halaman istrinya, Delisha."Ya Tuhan, semoga saja Delisha ada di sana," monolog Rey dengan penuh harapan.Rey sudah mencoba menghubungi orang-orang terdekat Delisha, termasuk teman-teman dan keluarga Delisha, tetapi tidak ada yang tahu tentang keberadaannya. Delisha juga tidak memberikan petunjuk apa pun sebelum menghilang. Rey merasa sangat khawatir dan putus asa. Dia merasa seolah-olah seluruh dunianya telah runtuh.Rey memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Delisha. Delisha berasal dari desa kecil di daerah pedesaan yang jauh dari kota tempat mereka tinggal. 4 jam sudah berlalu.Ketika Rey tiba di kampung halaman Delisha, ia merasa seolah-olah ia memasuki du
Dalam kegelapan malam yang semakin larut, Delisha merasakan tangan yang kasar meraih tangannya dengan keras. Ia mencoba berteriak, tetapi segera sebuah kain kasar menutupi mulutnya dilepaskan oleh preman tersebut. Huft!Mereka hanya membuka kain yang menyumpal mulut Delisha. Akan tetapi tidak dengan tangan dan kakinya yang masih terikat. Di ruangan itu hanya lampu kecil yang memancarkan sinar samar-samar, Delisha hanya melihat dua sosok yang berdiri di depannya. Mereka mengenakan penutup wajah yang mengerikan, sangat menyulitkan untuk mengenali siapa mereka."Siapa kalian? Kenapa kalian menculikku? Aku tidak tahu apa yang kalian inginkan dariku?" ujar Delisha. "Jangan mencoba untuk berteriak atau bergerak," kata salah satu dari mereka dengan suara serak yang menusuk hati, "kalau tidak, kami akan membunuhmu sekarang juga!"Delisha hanya bisa menatap dengan mata penuh ketakutan. "Mengapa kalian menculikku?" lirihnya dengan suara yang gemetar."Kami punya alasan tersendiri, mengapa kami
"A-arfan … to-tolong aku, a-aku takut."Arfan meraih tangan Delisha yang bergetar, sepertinya wanita itu begitu sangat ketakutan. "Kamu kenapa? Apa yang kamu takutkan?""A-aku … aku …" Delisha tidak bisa berkata, lidahnya begitu terasa sangat kaku untuk berucap dan menjelaskan semuanya kepada Arfan.Arfan berusaha menenangkannya. Lelaki itu menyentuh bahu Delisha dengan perlahan. "Tenanglah, Delisha. Mari, kita masuk ke dalam dan bicarakan apa yang sebenarnya terjadi."Delisha mengangguk dengan napas yang terengah-engah. "Terima kasih, Arfan."Arfan membawa Delisha masuk ke dalam Hotel MD Corporation tempatnya bekerja. Hotel ini terkenal karena keanggunan arsitekturnya dan pelayanannya yang luar biasa. Mereka melangkah masuk ke dalam lobi yang megah, di mana lantai marmer bersih mengkilap di bawah lampu gantung kristal yang menghiasi langit-langit. Arfan segera membawa Delisha menuju ruangan VIP yang terletak di lantai atas."Delisha, silakan duduk," ucap Arfan dengan ramah, menunjuk k
Rey menatap Delisha dengan mata yang penuh percikan api dengan perasaan yang begitu sangat cemburu. "Apa yang sedang kalian berdua lakukan?"Delisha mencoba menjelaskan dengan sebaik mungkin, "Rey, aku …"Arfan merasa perlu untuk menjelaskan semuanya kepada Rey, lalu dia berkata, " Tuan Rey, Anda sudah salah paham. Saya akan mencoba menjelaskan kepada Anda, bahwa—"Namun, Rey langsung menyela perkataan Arfan, rahang tegasnya sudah mulai mengeras. "Arfan, perusahaan tempat kamu bekerja memiliki kebijakan ketat tentang karyawan yang berpacaran. Jika kamu tetap mendekati Delisha, aku tidak akan segan-segan memecat kamu." Arfan terdiam sejenak, ia tidak tahu lagi harus berkata apa kepada Rey. "Tuan, tapi … ""Tidak ada tapi-tapian, pergi sekarang juga kamu dari sini!" Rey mengusir Arfan untuk segera pergi dari Mansion Wijaya, karena ia begitu muak dengan lelaki itu, sebelum kesabarannya habis dan tiba-tiba ia melayangkan pukulannya kepada Arfan, ia berharap Arfan segera pergi dari hadapan
"Lakukanlah, tapi tidak dengan menyakitiku, Rey." Delisha berkata dengan penuh kelembutan.Rey menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan kemarahannya yang sudah memuncak berada di atas awan. Dia akhirnya melepaskan cengkraman tangannya yang mencengkram tangan Delisha begitu erat.Delisha tersenyum manis saat Rey akhirnya melepaskan cengkramannya yang kuat. Dia merasa lega karena Rey mendengarkan permintaannya.Namun, sepertinya Rey benar-benar tidak akan melepaskan Delisha kali ini, meskipun Rey sudah melepaskan cengkraman tangannya, lelaki itu tetap melakukan keinginannya yang sudah berada di awang-awang.Delisha hanya pasrah atas apa yang semua Rey lakukan kepadanya, tetapi wanita itu tetap bersyukur karena Rey melakukannya tidak dengan menyakitinya lagi.Kepenatan dari malam yang sudah menguras emosi mereka dan peristiwa yang telah mereka alami akhirnya mengalahkan mereka berdua. Delisha dan Rey akhirnya tertidur dengan pulas di ranjang yang empuk tanpa sehelai benang yang menut
Rey yang sedang duduk di sebuah sudut kafe bersama sahabatnya, Abbas. Ketika sedang membicarakan tentang Delisha, tiba-tiba pintu kafe terbuka dengan perlahan, seorang wanita memasuki ruangan tersebut. Rey memalingkan wajahnya ke arah pintu dan tiba-tiba matanya terbelalak kaget ketika melihat Erlin, mantan kekasihnya. "Erlin," gumam Rey lirih.Abbas yang melihat reaksi Rey yang agak kaget, bertanya kepada sahabatnya itu, "Ada apa, Rey? Kamu baik-baik saja?"Rey tak membalas, ia hanya menunjuk ke arah Erlin yang sedang berjalan menuju mejanya, menggunakan dagu saja.Abbas melihat ke arah yang ditunjuk oleh Rey, ternyata ia melihat Erlin yang tampak menawan berjalan ke arah mejanya dengan senyuman manis di wajahnya."Hai, Rey," sapa Erlin dengan suara lembut yang mendayu-dayu, wanita itu duduk di kursi yang bersebelahan dengan Rey. Rey merasa agak tidak nyaman dengan kehadiran Erlin yang tiba-tiba. Dia mencoba untuk tetap tenang dan menjawab dengan ketus, "Ada apa?"Erlin tersenyum ti