"Bibi, jangan banyak bertanya di jalan! Lebih baik kita segera pulang dan membahas semuanya di rumah. Oke?" Tantri menyerobot masuk tanpa diminta. Tantri berusaha menyelamatkan Arsaka dari desak tanya sang bibi. Ia tahu jelas bagaimana karakter wanita paruh baya yang selama ini merawat dan mengasuhnya dengan sepenuh hati semenjak ibu dan ayahnya tiada. Yusti menimang-nimang guna mengambil keputusan. Lalu ia pun mengangguk setuju dan tanpa aba-aba wanita itu menyambar lengan Tantri dari sisi Arsaka. "Belum muhrim!" cetus Yusti lalu menarik paksa Tantri agar berjalan lebih dulu bersamanya. Ada kekecewaan di dalam benak Arsaka ketika Yusti meraih gadis itu ke dalam jeratannya. Ia tak bisa melawan walau ia mampu. Ia lebih kuat tenaga dan status, tapi ia sadar bukan ini yang Tantri inginkan. Arsaka hanya bisa mengulum senyum dan berjalan bersisian dengan Yadi mengikuti ke arah mana dua perempuan di hadapannya melangkahkan kaki. Tak lama kemudian, dua orang wanita yang tidak bisa dikat
Arsaka dan Tantri saling melirik satu sama lain lalu mengangguk bersamaan. Mereka dengan sigap pergi ke halaman dan duduk bersebelahan di bangku kayu panjang di bawah pohon mangga. Mereka tidak mau mengisi waktu untuk mendengarkan perdebatan dua manusia tak lagi muda di dalam rumah. Lebih baik bagi mereka menunggu tukang makanan yang menjajakan dagangannya pagi ini di tepi jalan. "Jawab aku, Yadi! Kenapa kamu mengatakan hal itu di depan dua nenek lampir tadi? Kamu gila, ya!" desak Yusti melanjutkan Interogasi. "Gila? Ya dibilang gila sebenarnya juga nggak, Yusti. Aku melakukan semua ini demi nama baik Mbak Tantri dan Den Saka. Kalau kita memberitahu dua ibu-ibu tadi—""Dua nenek-nenek!""Ya itulah pokoknya. Di depan ah itulah kalau Mbak Tantri dan Den Saka mau menikah pasti akan jadi geger. Pamali katanya kalau belum menikah tapi sudah sering datang ke rumah. Kan nanti ujung-ujungnya mereka bakalan mikir yang nggak-nggak sama Mbak Tantri dan Den Saka. Lebih baik mereka nggak tahu ap
Tantri terdiam sejenak. Ia menatap ke arah calon suaminya dengan bimbang. Haruskah ia jujur? Tantri menunduk sejenak sebelum menjawab pertanyaan Arsaka."Mas…" "Ya? Katakan saja, Tantri. Saya siap mendengar dan menerima penjelasan dari kamu." Tantri menggigit bibir bawahnya. Ia begitu kikuk. Tapi ia sadar, Arsaka menantikan jawabannya."Saya akui, Mas. Saya dan Mas Banyu… Oh maksud saya, saya pada Mas Banyu, saya memang mengagumi dan salut sama Mas Banyu selama bertahun-tahun. Dia adalah tipikal pria yang saya sukai. Dia adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Tapi saya sadar hubungan kami hanya bisa sebagai kakak dan adik. Atau bisa juga dikatakan kami hanya bisa bersahabat baik yang bisa saling mendukung satu sama lain. Kami tidak bisa melanjutkan hubungan apa pun selain itu. Apakah Mas percaya dengan kata-kata saya barusan? Ataukah Mas Saka masih meragukan hubungan kami? Kalau Mas Saka ragu, itu wajar. Tapi memang itulah kenyataannya. Saya tidak berbohong pada Mas Saka. S
Arsaka bangun dari posisinya. Ia pun bersimpuh di lantai dan meraih tangan Tantri. Pria itu menggenggam erat jari jemari Tantri dengan secercah rasa yang dapat dikategorikan sebagai rasa cinta yang mulai bertumbuh di hatinya."Saya memang berniat menikahi kamu. Tapi saya belum melamar kamu secara langsung dari hati ke hati. Walau rencana pernikahan kita dibuat oleh desakan ibu saya, saya merasa tetap harus mengutarakan hal ini sama kamu. Awal perkenalan kita memang tidak semanis gula, tapi saya harap hubungan pernikahan kita nanti akan sekuat batu karang di lautan. Karena apa? Saya yakin akan ada banyak rintangan yang menghadang guna menguatkan mental kita berdua sebagai suami dan istri. Nggak cuma itu, kita berbeda sikap, karakter, watak satu sama lain, dan masih banyak lagi. Akan butuh banyak penyesuaian diri di antara kita saat menjalani biduk rumah tangga. Saya harap kamu kuat saat kita menikah nanti." Arsaka mengungkap hal itu dengan manis. Pria itu menyudahi pernyataannya den
Arsaka menutup mata. Ia membiarkan kepalanya terarah pada Aleta agar wanita itu bisa dengan mudah menampar atau memukul wajahnya. Ia hanya ingin sang mantan bisa merasa lega telah melakukan hal itu kepadanya.Tapi apa yang terjadi tidak sesuai prediksi. Bukannya memukul, Aleta malah menurunkan tangannya lalu menatap wajah Arsaka dengan tatapan penuh cinta lalu memeluknya. Arsaka yang terkejut refleks mendorong tubuh Aleta hingga wanita itu nyaris terjatuh. "Saka? Apa benar nggak ada lagi aku di dalam hati kamu?" Aleta menitikkan air mata. Ia tak percaya dengan apa yang ia alami saat ini. "Kenapa kamu tega mendorongku, Saka? Aku ini Aleta. Wanita yang pernah menemani kamu selama lima tahun. Bagaimana bisa kamu meninggalkan aku hanya demi perempuan yang baru kamu kenal? Apa selama lima tahun ini semua usaha dan perjuangan cintaku ke kamu adalah hal yang sia-sia?" Aleta menangis. Air matanya tidak bisa berhenti walau ia ingin.Didorong Arsaka? Mimpi burukkah ini? Atau memang nyata? Ale
Di pelataran Rumah Sakit tempat Aleta dirawat, beberapa orang berdiri sambil menatap satu sama lain. Beruntungnya ada seseorang yang bisa menemani Aleta di kamar inapnya. Kalau tidak, Guntur dan Debora tidak mungkin ada di sini berhadap-hadapan dengan Mona Rosalie."Sekarang apa yang mau kamu bicarakan di sini? Jelaskan kepada kami alasan di balik ketidaksetujuanmu dalam hubungan yang pernah terjalin antara Aleta dan anakmu! Jelaskan sekarang juga, Mona!" tegas Debora meminta penjelasan. Ia menatap wanita di hadapannya dengan penasaran tingkat dewa.Mona menghirup napas dalam-dalam sebelum mengungkap fakta. Ia mengulas senyum tipis sebelum siap menggelontorkan kata-kata yang mungkin saja bisa membuat lawan bicaranya mati kutu.Ditatapnya sekilas Tantri yang mau tak mau harus tetap berada di sana. Gadis itu menunduk malu karena tidak tahu hal apa yang harus dirinya perbuat di sana di antara orang-orang ini. "Karena kalian sudah tidak sabar, maka aku akan mengatakannya sekarang juga.
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe