Aku masuk kedalam Apartemen milik Adira. Kaki ku melangkah perlahan kearah kamar ku bersinggah tanpa sepatah kata. Sejak diperjalanan menuju kemari, kami hanya diam saja. Tidak ada yang membuka suara, bahkan Adira pun tidak mengucapkan sepatah kata untuk mengiyakan permintaanku tadi. Langkah kaki ku terhenti saat tiba didepan pintu bilik ku yang tertutup. Rasanya aneh jika aku masuk kedalam lagi. Ada sebuah kenangan manis yang berujung pahit didalamnya. Aku pun mengatur napasku agar tenang, tangan kananku juga perlahan meraih ganggang pintu kabin. Perlahan aku membukanya, sorot mataku dibuat terkejut saat melihat kamarku yang semula berantakan menjadi sangat rapi. Siapa yang melakukan ini? “Kamu boleh tidur dikamar ku jika memang tidak ingin tidur dikamar mu lagi,” Aku tersentak saat mendengar suara Adira dari dekat. Ia ternyata sudah berdiri tepat dibelakangku. Memperhatikanku yang sedari tadi enggan masuk kedalam kamar ku sendiri.
Satu bulan telah berlalu. Usia pernikahan Ayana dan Adira sudah berlalu selama satu bulan. Selama ini mereka hanya diam, tanpa ada yang berani mengajak bicara jika itu tidak perlu. Apalagi setelah kejadian dimana Adira dengan paksa merebut mahkota Ayana tanpa rasa cinta, ia semakin berusaha untuk menjauhi Ayana. Sedangkan Ayana hanya bisa pasrah dan mengikuti alur yang sudah digariskan oleh tuhan. Seperti biasa, Ayana memasak untuk Adira walaupun masakan itu selalu basi karena tidak ada yang memakannya selama ini. Tapi Ayana melakukan ini dengan ikhlas, ia tidak pernah menyimpan dendam pada sikap Adira yang sangat kasar padanya. Ayana tersenyum setelah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia menghampiri Adira yang juga berjalan menuju pintu Apartemen. “Bapak tidak sarapan dulu? Saya sudah masak nasi goreng hari ini. Bukankah bapak suka?” tanya Ayana dengan melihat wajah Adira yang terus mengabaikan keberadaannya. “Saya tidak suka. Berhentilah memasak untuk ku, itu
Arsen melangkah lesu memasuki kantornya. Terlihat dari wajahnya yang sangat lusuh setelah mengantar Ayana ke dokter pagi ini. Pikirannya sungguh tidak bisa tenang melihat kondisi Ayana saat ini. “Kemana aja lo?” Arsen menengadah saat ada yang mengajaknya bicara. Terlihat Adira berjalan setelah keluar dari lift dan kini menghampiri Arsen. “Gue ma--” Arsen menghentikan ucapannya saat melihat Zayna dibalik punggung Adira. Zayna tampak menggandeng lengan Adira dengan romantis, terlihat dari raut wajahnya yang berseri-seri. “Sayang, kita mau makan siang dimana?” tanya Zayna dengan menatap lekat Adira dari dekat. “Kamu yang pilih tempatnya buat kita makan siang.” Putus Adira yang membuat Zayna kegirangan. Arsen menghela napas berat. Ia berdecak kesal melihat sepasang kekasih yang sangat dibencinya ini. “Lo pernah mikir ngga kalau istri lo udah makan siang atau belum dirumah?” tanya Arsen random yang membuat Adira mengernyit sembari tertawa.
Aku mengeliat diatas kasur. Mataku menatap sekeliling, ternyata sudah petang. Aku kelelahan setelah menangisi takdirku yang begitu kacau. Aku pun perlahan bangkit dan menutup gorden yang masih menampakkan pemandangan jalanan di kota Seoul saat malam hari. Aku memegangi perutku saat terasa perih. Aku teringat jika belum makan apapun sejak kemarin malam. Bahkan hari ini pun tidak, dan aku sungguh melewatkan obat yang diberikan dokter kepadaku tadi. Aku akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum kembali tidur. Rasanya hanya ini yang bisa ku lakukan. Lima belas menit berlalu, aku pun sudah merasa sedikit segar setelah membersihkan diri. Kini saatnya aku untuk kembali tidur hingga esok hari. - “Ayana suka sama makanan ini Sen?” tanya Rissa memastikan bahwa makanan yang ia bawa benar-benar kesukaan Ayana. Arsen mengangguk pada Wanita disampingnya. Ia melihat kearah Rissa yang terus memandangi bungkus makanan tersebut. “Lo ngga percaya
Rissa dan Arsen terus menemani malam Ayana yang kelam. Rissa berusaha menghibur hati ibu muda ini agar kuat dalam menjalani kenyataan pahit yang menimpanya. Begitu juga dengan Arsen yang berusaha melucu untuk membuat adik kecilnya tersenyum. “Bang, lo kapan deh punya pacar?” tanya Ayana dengan menatap Arsen. Arsen tertawa seketika mendengar pertanyaan Ayana. Ia menggeleng, malu mendengar pertanyaan Ayana. “Apa sih, gue mau fokus ngurus lo. Mau jadi abang yang baik buat lo,” jawab Arsen tegas. Ayana menghela, “Sampai kapan? Lo tiap tahun makin tua ya,” sahut Ayana dengan ketus. “Dih,sakitnya udah hilang ya jadi ketusnya balik lagi.” Ucap Arsen dengan menoyor kepala Ayana pelan. Ayana tertawa mendengar ucapan Arsen. Arsen yang merasa lelah pun tiba-tiba meninggalkan dua wanita ini sendiri didalam kamar Ayana. Sorot mata Ayana terus mengikuti arah pergi punggung Arsen, hingga menghilang dibalik tembok. Ayana pun merubah tatapannya un
Air mata Ayana terus mengalir tanpa henti karena merasa sakit dibagian perutnya, dan juga memikirkan keadaaan anaknya disana. Apa ia merasa baik-baik saja? Setelah mendapatkan perlakuan buruk dari sang Ayah. Arsen dengan sigap terus menggendong tubuh Ayana, ia membawanya ke rumah sakit terdekat dari Apartemen milik Adira. Untung saja jaraknya tidak jauh, jadi Ayana bisa dengan cepat ditangani. Arsen dan Rissa merasa panik menunggu Ayana yang sedang berjuang untuk anaknya. Bagaimanapun Arsen sangat menyayangi Ayana walaupun bukan berasal dari keluarga biologisnya. Sudah dua puluh lima menit dokter menangani Ayana, akhirnya beliau pun keluar. Arsen dengan segera menghampirinya. “Bagaimana keadaan Ayana, Dokter?” tanya Arsen dengan raut cemas. “Keadaan janin Nona Ayana sangat lemah, namun masih bisa untuk diselamatkan karena benturannya tidak terlalu keras mengenai bagian perutnya. Namun, untuk keadaan ibunya sendiri sangat lemah. Jika jantung Nona
Hari ini adalah hari minggu, dimana Adira maupun Ayana libur dari kegiatan yang biasa mereka jalani. Seperti pagi – pagi sebelumnya, Ayana sudah disibukkan dengan morning sicknessnya. Ia harus berlari beberapa kali kedalam kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Setidaknya ia merasa senang, karena anak-anaknya tumbuh dengan baik. Saat Ayana sibuk didalam kamar mandi, ia mendengar suara ketukan pintu beberapa kali. Namun ia tidak menggubrisnya dan terus memuntahkan seluruh isi perutnya. Ayana tertegun saat merasa ada seseorang yang memijat tengkuknya dengan halus. Perlahan Ayana pun mendongak, dan melihat sosok yang terpantul melalui cermin dihadapannya. Adira tampak sabar memijat tengkuk Ayana hingga ia merasa lega. “Maaf saya lancang masuk, soalnya dari tadi sudah saya ketuk tapi tidak ada jawaban,” ucap Adira kemudian setelah Ayana sudah merasa baikan. Ayana tersenyum sembari mengangguk. Ia pun membenarkan posisi berdirinya den
Adira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ia menatap lurus, kearah dimana Ayana tidur dengan pulas. Sarah malam ini menyuruh Adira dan Ayana menginap. Libur satu hari kerja, tidak masalah untuk perusahaan milik Adira. Sesekali ia memegangi pipinya yang terasa nyeri akibat pukulan keras dari Rajendra. Pikirannya kini berputar pada kondisi Ayana yang sangat lemah. Ia pun tadi sempat menghalangi Rajendra saat hendak memukulnya, hingga Ayana lah sebagai gantinya yang terkena pukulan Rajendra. Adira menghela napas berat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Hidup sebagai orang dewasa sangatlah melelahkan. Masalah hidupnya kian hari semakin bertambah, tidak ada satupun yang terselesaikan dengan baik. Kini Adira pun bangkit, ia berjalan perlahan menuju ranjang tempat Ayana tidur. Ia duduk tepat disebelah Ayana dengan perlahan. Adira menatap lekat wajah istri kecilnya tersebut. Tangannya ia ulurkan untuk menata helaian rambut Ayana yang menutup