Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Gadis jelek itu, dandanannya ... iih, sama sekali bukan tipeku." Aku merutuk dalam hati."Rei, kenalkan ini Aluna," ucap mama memperkenalkan kami."Tuh, benar kan," cibirku dalam hati dengan wajah cemberut.Wajah gadis itu menunduk malu ketika pertama kali kami bertemu, matanya mengerjab beberapa kali saat mama mengenalkannya padaku. Sungguh, tak kusangka jika akhirnya aku menerima perjodohan ini. Perjodohan konyol dan tak masuk akal.Namanya Aluna, gadis yang baru berusia sembilan belas tahun, yang rencananya akan dinikahkan papa denganku.Yah, denganku. Reshwara Anindra Sastrodirjo. Pemuda tampan dan mapan di usia yang hampir menginjak tiga puluh tahun. Pemuda yang banyak diimpikan setiap wanita ini, malah akan menikahi seorang gadis yang masih remaja.Hei ... tidak! jangan mengira aku tidak laku karena belum juga menikah, tapi karena aku memang menginginkan seorang wanita yang cantik dan sempurna untuk mendampingiku.Tapi, gadis ini? apa kata orang jika mereka mengetahui gadis bau
Aku melangkah malas ke ruang keluarga. Papa bilang ingin membicarakan sesuatu padaku. Ah, aku yakin, pasti pembicaraan tentang pernikahanku yang tentunya akan membuatku bosan.Aku masih tak mengerti dengan jalan pikiran papa. Apa untungnya menikahkanku dengan Aluna? Bukankah masih banyak gadis lain yang lebih baik darinya. Kenapa tidak memilih salah satu anak perawan dari kolega bisnis papa, seperti anak Pak Handoko yang baru saja lulus dari luar negeri itu? Entahlah. Pikiran papa terkadang kampungan."Kau sudah datang, Rei? Ayo sini duduk dulu," Papa menyapa ketika melihatku yang baru saja tiba.Aku memasang wajah datar, lalu mengambil posisi duduk yang nyaman di sofa, tak hanya papa, ada mama dan Raina disana."Minggir," usirku pada Raina, adik perempuan semata wayangku."Apaan sih, mas. Kan bisa duduk disana. Aku sudah lebih dulu duduk di sini," Ketus Raina sambil memonyongkan bibirnya. "Aku maunya disini," Dengan terpaksa, adikku itu menggeser tubuhnya."Kau benar-benar menyeba
Angin sepoi-sepoi mengiringi kepergian kami. Hembusan angin juga nampak membelai lembut rambut panjang Luna yang diikat ke belakang. Penampilannya sederhana dengan make up tipis dan poni yang disisir menyamping, tetap saja tak membuatku terpesona.Aku sengaja membukakan pintu mobil untuknya, karena menyadari tatapan mata mama yang masih memperhatikan kami. Kulakukan ini karena malas akan mendengar siraman rohani dari mama bila tidak memperlakukan calon menantu kesayangannya dengan baik. Meski semua sikap baik ini penuh kepalsuan dan kepura-puraan, tetap saja ada rasa emosi dan kesal dalam dada karena biasanya para wanita yang seharusnya memanjakanku.Perlahan, mobil yang ku kendarai bergerak menjauh meninggalkan rumah. Kulirik, gadis ini masih diam dan menatap keluar jendela, seakan-akan aku adalah sopir pribadinya. Aku membiarkannya saja, sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku sengaja fokus menyetir tak mengajaknya bicara. Lagipula, aku tak tahu apa yang bisa dibicarakan dengan g