“Sialan! Apa yang sedang mereka lakukan?!”Aretha yang baru saja keluar mansion untuk menyambut Denver, langsung dibuat kebakaran jenggot kala melihat prianya tengah bersama Anais.‘Dasar, ini tidak bisa dibiarkan!’ batinnya dengan berang.Dia yang mengenakan gaun hitam berlengan buntung itu menderap cepat, meski kakinya berdiri di sepatu hak tinggi.“Menyingkir dari calon suamiku, wanita sialan!” sentak Aretha yang tanpa segan mendorong sang Kakak menjauh dari Denver.Gerakan brutal itu, seketika membuat si pria melepaskan cengkeraman. Bahkan Anais yang tiba-tiba mendapat serangan, nyaris saja ambruk.Beruntung wanita tersebut bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, hingga dia langsung mengetahui sosok yang bertindak kurang ajar padanya.“Berani sekali Kak Anais menggoda Kak Denver lagi!” Aretha mendengus dengan tatapan berapi-api. “Pria ini sudah membuangmu, jadi harusnya kau sadar diri, Kak! Mengapa masih berusaha menempel padanya?! Apa Kakak pikir Denver akan kembali padamu?!” Sunggu
Nyaris saja Anais tersedak air yang baru diteguknya. Setiap pasang mata pun mengarah padanya seolah kesal dengan reaksi yang dia tunjukan. “Mengapa saya harus membantunya, Ayah?” tukas wanita tersebut menaikkan sepasang alisnya. Ya, Anais memang tak ingin berpura-pura baik jika menyangkut adik ataupun mantan tunangannya. Hatinya memanas, tapi dia berupaya menata iras mukanya agar tetap tenang. Dia mengencangkan dagu dan kembali berkata, “saat ini sudah banyak tim ahli yang mengurusi acara pertunangan maupun pernikahan. Lagi pula saya bukan perencana pesta, saya juga terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Setiap nadanya seakan ditujukan pada sang adik dengan amat menekan. Wanita itu berpaling ke arah Tigris, rasa kesal membuat mulutnya lanjut menutur tajam. “Jadi maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan itu, Ayah!” Tanpa menunggu acara makan malam tersebut selesai, Anais sudah lebih dulu bangkit dari bangkunya. Perasaan risih pun membawanya mangkir usai berpamitan dengan Tigris dan Pin
‘Apa yang dilakukan pria aneh itu di tempatku?’ batin Anais bertanya-tanya.Baru beberapa menit dirinya melepas tegang, kini perkara lain timbul segera setelah Jade menghubunginya. Sungguh, dengan ini dia semakin tidak menyukai setiap tingkah pria tersebut.“Nyonya Velma, tolong katakan padanya bahwa jadwal saya sedang padat. Sehingga saya tidak bisa menemui tamu yang belum membuat janji,” tutur Anais pada Kuratornya.Namun, alih-alih menurut seperti biasanya, Velma masih mematung dengan tampang yang menyimpan banyak kecanggungan.Alisnya terangkat samar, lalu ragu-ragu berkata, “maaf, Nona. Orang itu bilang, ada sesuatu yang harus diserahkan langsung pada Anda.”Seketika, bagian dalam mulut Anais terasa kering. Rasa tak nyaman pun merasukinya hingga membuatnya geram.Bahkan belum sempat menimpali, Jade yang masih tersambung telepon dengannya pun bicara, “jika tidak keluar, saya yakin Anda pasti menyesalinya, Nona.”‘Sialan! Apa yang dikatakan pria tak waras ini?’ Anais bergeming mur
‘Dia yakin ingin bertemu denganku di tempat ini?’ Anais membatin dengan wajah tercengang.Lehernya tampak tegang seakan ada laba-laba yang merayapinya. Wanita itu sungguh ragu untuk melangkah ke dalam, terlebih saat membayangkan hanya ada dirinya dan Jade di ruangan tersebut.“Silakan masuk, Nona.” Carlein yang masih memegangi gagang pintu pun bertutur.Ucapan asisten Jade itu seketika membuyarkan Anais dari ketegunan. Dirinya bisa melihat Carlein yang memandangnya dengan tatapan aneh.Alih-alih meluruskan keadaan, Anais pun memberinya anggukan hormat dan segera melenggang ke arah Jade berada.‘Sial sekali wanita ini harus terlibat dengan Tuan,’ geming Carlein dalam benaknya.Bahkan asisten yang mengenal betul tabiat Jade, sungguh menyayangkan pertemuan sang tuan dengan Anais.Namun, hal yang terjadi kini bukanlah ranahnya. Carlein akan bersikap seperti biasa, menerima dan menjalankan setiap perintah yang dikemukakan oleh Jade.Sementara di dalam, derap sepatu hak tinggi Anais menjadi
‘Bahkan saat terdesak, wanita ini masih tak menjatuhkan egonya!’ Jade bergeming dalam batin.Netranya saling beradu dengan manik hazel Anais yang kini terpampang membara. Ya, meski hancur pun, Anais bukan tipe orang yang akan memohon untuk diselamatkan. “Jika Anda membutuhkan wanita untuk memuaskan nafsu Anda, silakan cari orang lain! Mengapa harus saya?!” dengusnya penuh gertakan.“Karena … ini adalah Anda. Saya menginginkan Anda, Nona!” Sang pria langsung menyambar dengan tegas.Dan ucapan itu, seketika membuat Anais tertegun. Rahangnya mengeras, giginya menggertak seolah ingin mengunyah Jade hidup-hidup.Dia yang sudah ingin menusuk pria itu dengan garpunya pun memberang, “Anda benar-benar gila!” Namun, reaksi Anais malah memacu api dalam dada sang pria bergelora. Jade mengukir seringai sinis seakan mengejek dirinya.“Anda harus tahu, saat ini wajah Anda tampak sangat merah, Nona,” tukas Jade masih memaku tatapan.Hal itu pun langsung membuat sensasi panas naik ke pipi Anais. “M
Alih-alih masuk melalui pintu yang dibuka oleh Carlein, Anais justru beranjak ke bagian depan dan mendaratkan diri di bangku samping kemudi.‘Me-mengapa dia memilih duduk di depan?’ batin Carlein tak habis pikir.Dirinya sudah menyiapkan jalan agar Anais bisa bersanding dengan Jade, tapi agaknya sang wanita malah tak menginginkannya.“Ehem!”Sementara itu, Jade yang masih santai di dalam, langsung berdehem kala mendapati Anais yang bertingkah angkuh.“Saya mengatakan ini untuk meluruskan. Bukannya saya tidak ingin duduk di sebelah Anda, tapi saya hanya memberi kebebasan supaya Anda bisa bersantai dengan nyaman.” Putri angkat Tigris Devante itu lebih dulu membuka suara.Mendengarnya, Jade pun mengangkat kedua alis. “Ah … ternyata begitu. Harusnya Anda bicara saat Carlein sudah masuk ke mobil. Dia pasti salah paham.”Pria itu sungguh kasihan pada sang asisten yang pastinya terkejut dengan tingkah wanitanya.Begitu Carlein masuk, suasana menjadi amat hening. Bahkan terasa kian dingin kal
“Gaun?” Anais bergeming usai membuka kotak bernuansa emas yang diberikan Aretha tadi.Sebuah dress hitam dengan model v neck berlengan buntung, mungkin akan tampak elegan saat dipakainya. Namun, pikiran wanita itu tak pernah tenang jika menyangkut sang adik. Meski dunia runtuh sekalipun, Aretha tidak mungkin berbaik hati tanpa niat tersembunyi, hingga Anais tak bisa menerima hadiah itu begitu saja.“Mengapa dia memberiku gaun ini? Bahkan untuk dipakai ke pertunangannya?” ungkap wanita itu bertanya-tanya.Anais menatap lekat pakaian dengan merk ternama tersebut, tapi segera memasukannya kembali ke kotak dan melemparnya ke ranjang.‘Jangan pikir aku terlalu bodoh, Aretha. Mau menggunakan taktik apapun, kau tidak akan bisa membuatku jatuh ke dalam perangkapmu!’ decaknya bertekad dalam batin.Rahang wanita itu terlihat mengeras, dirinya pun beralih ke kamar mandi seraya menyugar belahan rambutnya dengan penuh geram. Berbagai emosi yang membludak mendorong Anais untuk melepas penat. Dia y
‘Dia?’ Anais mengerjap dengan netra bulatnya.Mau seberapa lama dia menilik pria yang baru saja turun dari mobilnya, sosok itu tetap saja membuatnya tercengang.“Wah … aku tidak salah lihat ‘kan? Sial, aku kira dia orang lain!” tukas Anais masih memaku pandangan.Eldhan, yang malam ini datang memakai setelan jas biru tuanya, tampak lebih bersinar dari biasanya. Auranya berubah teduh, sungguh serasi dengan garis wajahnya yang juga rupawan.“Apa kau sudah lama menungguku?” tutur sang pria kala berhenti di hadapan Anais.Wanita yang memegangi dompet mungilnya itu memindai teman prianya dari atas sampai bawah. Tingkahnya itu seketika memacu rasa segan bagi Eldhan, hingga pria tersebut berdehem agak keras. “Ehem! Apa yang kau lihat?” sungutnya seraya merapikan pangkal dasi yang terasa mencekik lehernya.Anais tampak menahan senyum, sampai-sampai membuat area tulang pipinya menegang.“Cih!”Alih-alih langsung menjawab, wanita itu mendesis kecut sembari membuang pandangan.“Apa aku seburuk