Jade perlahan menarik diri dari Anais, sepasang manik abu pria itu menatap wajah istrinya yang putus asa. “Kau mabuk, Anais. Kau tidak sadar dengan apa yang kau lakukan,” tutur Jade dengan air muka datar. Akan tetapi, sang wanita yang tengah dirajam sensasi panas tidak ada sisa kesabaran lagi. Dia tersiksa, dia membutuhkan bantuan sekarang juga! Dirinya pun menggeleng, dengan sorot nanar irisnya menatap Jade. “Aku menginginkanmu, aku ingin dirimu, Jade.” Suara, juga ekspresinya yang memohon pada sang suami sungguh kacau. Tentu saja itu mengusik hasrat Jade sebagai seorang pria. Terlebih ketika tangan Anais yang semula merengkuh lehernya, kini meraba bidang dada Jade dengan gemetar. Cucu Hans Herakles tersebut berupaya keras menahan gelora yang mencuat, tapi agaknya pertahanan itu runtuh melihat ketidakberdayaan sang istri. Jade meraih pergelangan tangan Anais dari dadanya seraya berbisik, “aku sudah memberimu peringatan, tapi kau sendiri yang memancingku, Anais. Jadi jangan menyes
Raut wajah Jade berubah kian mencekam begitu mengangkat panggilan dari Carlein, dan itu membuat Anais bertanya-tanya dalam hatinya. Namun, alih-alih menguarkan rasa ingin tahunya, Anais memilih bungkam seraya sibuk melingkari lengan Jade dengan perban.Usai mematikan telepon tersebut, Jade beralih melirik lengan kirinya. “Kau perawat yang baik.”“Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Lagi pula, mengapa kau bisa terluka? Apa Denver yang membuatmu seperti ini?” tutur Anais menyidik.Rasanya lidah wanita itu gatal saat menyebut nama mantan biadabnya, tapi belum sempat Jade menjawab, Anais kembali melanjutkan. “Lain kali kau tidak perlu membantuku sampai membahayakan nyawa seperti ini, karena aku tidak tahu harus bagaimana membayarmu.”Jade pun menyeringai samar mendengar sederet kalimat istrinya.“Kau pikir aku pria macam apa? Luka seperti ini tidak akan membunuhku, bahkan ini tidak sakit sama sekali—”“Ugh!” Jade seketika mengernyit saat Anais sengaja mengikat perban lebih kencang. “
“Apa kau sudah gila?!” Cedric mendengus berang usai tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. Ya, Jade yang semula mengarahkan pistolnya pada Denver, dengan cepat mengubahnya ke arah Cedric dan melesatkan tembakan. Anak timahnya tepat mengenai tali tambang yang mengikat tangan Cedric, hingga kakak iparnya itu ambruk ke bawah. Dengan tangan masih terikat, putra sulung Tigris itu terengah-engah menata napasnya. Dia yang berpikir nyawanya melayang karena pistol Jade, segera menyentak, “kau hampir membunuhku, sialan!” Maniknya menyorot tajam seolah bersiap menikam Jade, tapi adik iparnya itu sama sekali tak mengubah raut dinginnya. Justru, Jade kian berhasrat ingin merobek isi perut Cedric untuk membayar perbuatannya pada Anais. Cedric berupaya bangkit, tapi Jade yang terusik langsung menendang bahunya hingga dia kembali tersungkur. “Berengsek!” Cedrik berteriak murka. “Hei, aku akan membunuhmu! Aku akan membuatmu membusuk di neraka!” Umpatan kasar terlontar, tapi Jade sama sekali tak g
“Jangan bercanda, Tuan!” Tigris yang tersentak dengan ucapan Dewan Direksi di hadapannya, kini menajamkan pandangan.Namun, begitu lawan bincangnya menekan tombol pemutar pada alat perekam di tangannya, Tigris tak bisa berkutik sebab dalam rekaman itu terdengar jelas, bahwa dia sengaja menyiapkan kecelakaan untuk melenyapkan kedua orang tua Anais. Bahkan di sana Tigris juga mengakui bahwa dirinya ingin menguasai harta mendiang Esteban, tidak peduli jika harus membunuhnya meski pria itu saudara kandungnya sendiri.‘I-ini tidak mungkin, ini tidak boleh tersebar. Aku sudah berusaha keras, jadi tidak mungkin melepas semuanya begitu saja.’ Pimpinan DV Group itu membatin was-was dalam hati.Dengan sorot amat dingin, Tigris pun berkata, “sejak kapan Anda memiliki rekaman ini?”“Apa itu penting? Jika Anda ingin bukti ini aman, maka Anda harus membantu saya membungkam Nona Anais dan suaminya!” sahut Dewan Direksi itu mengancam.Alih-alih membalas, Tigris malah menggelegarkan tawanya. Dia terba
“A-apa yang Kak Cedric katakan?!” Aretha mendengus dengan wajah tegang. “Itu tidak mungkin. Mustahil Kak Denver meninggalkan Aretha!”Maniknya tampak gemetar, tapi Cedric yang berada di hadapannya malah bungkam. Dan itu semakin memicu kecemasan membengkak di hati Aretha.“Jawab Aretha, Kak Cedric! Katakan bahwa semua itu bohong. Kak Denver tidak mungkin pergi semudah itu!” Wanita tersebut kembali memberang dengan nada lebih tinggi.Cedric mengencangkan rahangnya amat kesal, tapi akhirnya dia berkata, “andai dia benar-benar mati, maka aku akan sangat senang!”Sungguh, batu yang mengganjal di dada Aretha seolah sirna. Mendengar balasan sang kakak, artinya Denver masih hidup.“Jangan pernah bercanda seperti ini lagi, karena itu tidak lucu. Aretha bisa membenci Kak Cedric karena ini!” Putri kesayangan Pineti tersebut menyambar dengan gigi saling mengerat.Dia sontak berbalik menuruni tangga sebab terlanjur kesal dengan tingkah kakaknya. Namun, Cedric tak bisa diam saja saat sang adik yang
Anais yang baru menginjakkan kakinya ke dalam penthouse, langsung terpaku pada Jade yang tengah menata makanan di meja.‘Apa yang sedang dia lakukan?’ batinnya dalam diam.Di sana Jade sibuk merapikan tampilan makanan yang dia masak sendiri. Dari jarak tersebut, Anais memperhatikan Jade yang kini melepas celemek hitam yang melingkari pinggangnya.‘Untuk ukuran seorang pria, dia memang memiliki badan yang bagus.’ Anais melanjutkan seiring dengan matanya yang terpaku pada pinggul suaminya.Tiba-tiba ingatannya kembali pada momen dirinya dan Jade, yang baru saja melewati permainan ranjang panas kemarin malam. Sentuhan setiap jengkal tangan suaminya begitu memabukkan lebih dari alkohol jenis apapun.Anais semakin menggenggam erat tas yang ditentengnya seraya membatin, ‘dia sangat baik dalam seks, benarkah dia pertama kali melakukannya denganku, seperti yang Carlein katakan? Atau mungkin Carlein hanya berbohong?’Wanita itu tenggelam dalam pikirannya yang rumit.Namun beberapa saat kemudia
‘Sialan! Siapa orang yang datang?!’ Cedric menggeram penuh umpatan dalam hati.Dia seketika mematikan flash lampu dari ponselnya dan refleks menunduk di bawah meja kerja sang ayah. Dari tempatnya berlindung, dirinya tak bisa melihat keadaan di sisi pintu, tapi dadanya seakan bergemuruh kala ambang itu kian terbuka lebar.‘Mungkinkah itu Ayah?!’ batin putra sulung keluarga Devante itu cemas.Asumsinya kian mencuat saat derap sepatu melangkah ke dalam. Cahaya dari luar ruangan, membuat bayangan sosok lelaki terpantul ke lantai. Dia meraih sakelar lampu hingga tempat itu seketika terang. “Tidak ada siapapun di tempat ini,” tutur orang tersebut yang suaranya tak bisa dikenali oleh Cedric. “Jika tidak ada orang yang masuk, mengapa pintunya terbuka? Mungkinkah Tuan Tigris lupa menguncinya?”Mendengar sederet kalimat tersebut, Cedric yakin bahwa lelaki yang datang itu adalah pekerja mansion.Orang tadi kembali menilik pintu dan memeriksanya. “Astaga, ternyata kuncinya rusak. Besok aku akan
“Mengapa kau membawaku ke tempat ini?” Anais bertanya penasaran saat mobil Jade berhenti di depan bangunan asing.Di sana berjajar antek-antek Jade bersetelan hitam yang serentak membungkukkan kala mereka tiba. Dan itu membuat Anais tercengang, tapi dirinya hanya memilih bungkam.‘Tempat macam apa ini?’ Maniknya menggulir ke arah suaminya seraya membatin, ‘sebenarnya kau pria seperti apa, Jade? Berapa banyak rahasia yang kau sembunyikan? Semakin lama aku dekat denganmu, kau serasa menakutkan.’Pria itu membawa Anais ke ruangan luas yang biasa dia gunakan untuk latihan menembak. Di sana terpasang target-target bidikan yang memancing hasrat untuk menaklukkan, sementara di sudut lain ada meja dengan beragam pistol menawan.“Mari bertaruh,” tukas Jade menjulurkan senjata.Sang istri mengernyiti, dia tak habis pikir mengapa Jade malah membuang waktu hanya untuk bermain di sini.“Jadi ini yang mau kau tunjukan?” sahut Anais yang seketika membuat Jade menaikkan alisnya. “Aku sedang malas me