“Mengapa kau membawaku ke tempat ini?” Anais bertanya penasaran saat mobil Jade berhenti di depan bangunan asing.Di sana berjajar antek-antek Jade bersetelan hitam yang serentak membungkukkan kala mereka tiba. Dan itu membuat Anais tercengang, tapi dirinya hanya memilih bungkam.‘Tempat macam apa ini?’ Maniknya menggulir ke arah suaminya seraya membatin, ‘sebenarnya kau pria seperti apa, Jade? Berapa banyak rahasia yang kau sembunyikan? Semakin lama aku dekat denganmu, kau serasa menakutkan.’Pria itu membawa Anais ke ruangan luas yang biasa dia gunakan untuk latihan menembak. Di sana terpasang target-target bidikan yang memancing hasrat untuk menaklukkan, sementara di sudut lain ada meja dengan beragam pistol menawan.“Mari bertaruh,” tukas Jade menjulurkan senjata.Sang istri mengernyiti, dia tak habis pikir mengapa Jade malah membuang waktu hanya untuk bermain di sini.“Jadi ini yang mau kau tunjukan?” sahut Anais yang seketika membuat Jade menaikkan alisnya. “Aku sedang malas me
“Seperti yang aku bilang, jangan segan untuk mengarahkan pistolmu. Jadi, mari kita antarkan si berengsek ini ke neraka dengan rasa sakit yang luar biasa!” Jade kembali berbisik tegas saat Anais ragu-ragu. Dia memupuk keyakinan sang istri untuk menghukum Denver yang malah menyungging senyum ejekan padanya. ‘Ya, kau memang pantas mati, Denver. Aku benar-benar ingin menghancurkanmu sampai melihat dirimu lenyap!’ batin wanita itu seiring dengan tangannya yang gemetar memegang pistol. Terlebih kala mengingat niat bejat pria itu yang terang-terangan melecehkannya, sungguh membuat galombang emosi Anais naik ke dada. Manik hazelnya fokus pada target, dia menatap lurus titik bidikan selaras dengan pegangannya yang kian kuat pada senapannya. Dan tak menunggu lama, Anais pun melesatkan pelurunya hingga anak timah itu pun mengenai jam dinding yang berada tepat di belakang Denver. “Aish, dasar jalang sialan!” Denver seketika mengumpat sengit karena peluru Anais melewati tepat di atas kepalanya
‘Kali ini kau tidak akan bisa lolos, Cedric!’ Anais membatin seiring dengan langkahnya menuju mansion Devante. Tekadnya untuk mendepak sang kakak angkat dari rumah peninggalan orang tua kandungnya membara. Namun, ketika Anais masuk ke mansion bernuansa putih itu, dirinya sudah disambut tatapan garang dari Aretha dan Pineti yang tengah duduk di kursi ruang makan. Anais memang sengaja datang pada jam makan malam ketika semua orang berkumpul, tapi dia malah melihat pemandangan berbeda sebab Tigris dan Cedric yang tengah diincarnya tidak ada. “Ah, tibat-tiba nafsu makan Aretha jadi hilang!” Putri kedua Tigris itu mendecak kala menatap Anais. Akan tetapi, wanita yang tengah mendapat sarkasan tidak gentar. Anais kian mendekat hingga mendaratkan diri di kursi depan Aretha. Tangannya menjumput sebutir anggur di meja, tapi alih-alih memakannya, istri Jade itu hanya memainkan buah itu dengan jarinya. “Harusnya kau bersyukur sebab bisa menikmati makanan dan semua fasilitas di mansion ini seca
“A-apa?!” Suara terkejut Anais bergema, hingga membuat Tigris dan Cedric yang duduk di sofa berpaling. Keduanya seketika tercengang mendapati wanita itu tiba-tiba masuk. Terlebih Tigris yang memegang peran penting dalam kasus ini, mulai merasakan ketegangan membanjiri tengkuknya. ‘Sialan. Apa dia mendengar semuanya?’ batinnya was-was. Lelaki baya itu berupaya menata ekspresi untuk tetap tenang, seraya berkata, “kau datang, Anais?” “Sejak kapan kau tiba? Apa kau ada perlu dengan Ayah sampai mencari ke ruang kerja?” Tigris pun bangkit dan hendak mendekati putri angkatnya. Namun, Anais tidak bodoh. Dirinya dengan sengit mendengus, “apa yang kau bicarakan tadi, Cedric? Katakan, sebenarnya apa yang kau maksud dengan Ayah membunuh kedua orang tua kandungku?!” Wanita itu seakan tak menggagas sapaan Tigris, sebab terlanjur fokus menuntut penjelasan sang kakak. “Cedric! Kau tidak bisu, jadi bicaralah sekarang!” Anais kembali menandas sangat tedas. Akan tetapi, sosok pria yang kini duduk
Meski berupaya memutar kemudi dengan cepat, tapi mobil Anais tetap bersinggungan dengan sedan yang melaju dari depan, hingga membuat kendaraan itu berputar di jalanan. Iris wanita tersebut membelalak dengan dada bergemuruh buncah, berusaha menguasai setir dan kakinya pun menginjak pedal rem amat kuat.Aspal licin karena guyuran hujam membuat decit roda mobil Anais memekik, tapi beruntung jalanan saat itu sepi hingga Anais bisa mengendalikan sedannya untuk berhenti, walau itu pun tepat di tengah jalan. Ketakutan membengkak di jantungnya, dia menunduk dengan tangan mencengeram setir dengan gemetar.Anais menata napasnya yang kini tak beraturan seraya membatin, ‘apa aku masih hidup?’Manik hazelnya tersita pada ponselnya yang kini jatuh di dekat kakinya. Layar itu menyala dan rupanya panggilan Jade masih berlangsung.‘Ah … ternyata aku masih hidup,’ katanya yang baru menyadari situasi.Tangannya menjulur hendak mengambil gawainya tersebut, tetapi mendadak ada ketukan dari jendela mobilny
‘A-apa dia baru saja menyebut namaku?’ Jade bergeming dalam hatinya. Wajahnya tampak bingung mendapati Anais menahan tangannya. Biasanya wanita itu hanya memanggil nama sang suami saat berdebat karena saking kesalnya, tentu saja sekarang Jade tercengang. ‘Mungkinkah aku tadi salah dengar?’ Pria itu mengambil kesimpulan sebab ucapan Anais memang amat pelan. Akan tetapi, asumsinya pecah saat Anais kembali bertutur, “t-tolong jangan tinggalkan aku, Jade.” Manik abu sang pria melebar, sensasi panas pun naik ke pipinya hingga membuat wajahnya memerah saat mendengar jelas ucapan Anais ini. Ketika Jade menoleh, dia mendapati wanitanya mengernyit seakan mencari kehangatan, dan tangan Jade adalah salah satu penawar yang tepat. Jade pun menekuk lututnya dan duduk berjongkok di samping ranjang tempat Anais berbaring. “Apakah kelinci nakal akhirnya jinak?” tuturnya pelan masih dengan raut wajah datar. Dia menjatuhkan pandangan ke tangan Anais yang menggenggamnya erat. Sebelah tangannya memb
“Sialan!” Denver mengumpat sengit. “Sebenarnya pria macam apa anjing liar itu? Mengapa dia banyak mempekerjakan para berandal di sini?!” Putra kedua Leah itu terkejut saat mendapat beberapa anak buah Jade lainnya berjaga di depan sana. Jika dirinya bersikeras menerobos mereka yang jumlahnya cukup banyak, maka artinya dia cari mati. “Aish, berengsek!” makinya kesal seraya mengacak rambut belakangnya. Dia tak waktu lagi, dengan buncahnya bibir pria itu pun bergumam, “berpikirlah, Denver! Kau harus segera keluar dari sini sebelum anjing liar itu merebut tempatmu!” Giginya menggertak, dan kala sesuatu melintas di otak liciknya, Denver segera kembali ke ruang toilet tempat dia menghajar antek Jade. Dia buru-buru menukar pakaiannya dengan anak buah Jade tersebut, dengan begitu, akan minim risiko ketahuan saat kabur. ‘Setelah aku berhasil keluar, aku tidak akan pernah mengampuninya! Dasar, anjing liar tidak tahu diri!’ batinnya bertekad. Denver berjalan santai dengan sapu tangan menutup
Malam itu, Jade yang telah menugaskan Carlein untuk mengawasi pergerakan Cedric sepanjang hari, seperti mendapat ikan besar karena iparnya itu malah datang ke bar miliknya. “Selamat datang, Tuan,” tukas Pelayan di Oran Bar menyambut Cedric. “Apakah ini pertama kalinya Anda berkunjung?”Lawan bincangnya mengangkat sebelah alisnya seraya menjawab, “ya.”“Kalau begitu, bagaimana jika Anda mencoba ruang VVIP? Kami menyediakan pelayanan khusus untuk tamu kami, saya pastikan Anda akan menyukainya.” Pelayan bar tadi menyarankan.Cedric yang awalnya terganggu dengan pertanyaan si pelayan, kini mulai tertarik. Bahkan dia pun berbisik, “apa kalian juga menyediakan obat?”“Itu salah satu pelayanan kami untuk tamu ruang VVIP, Tuan.”Mendengar balasan itu Cedric langsung girang. Dirinya segera mengikuti langkah si pelayan menuju tempat yang dimaksudkan. Begitu masuk ke ruang khusus tamu spesial itu, Cedric tersenyum puas karena sang pelayan menuangkan alkohol langka yang sulit didapatkan di San Pe