Meski berupaya memutar kemudi dengan cepat, tapi mobil Anais tetap bersinggungan dengan sedan yang melaju dari depan, hingga membuat kendaraan itu berputar di jalanan. Iris wanita tersebut membelalak dengan dada bergemuruh buncah, berusaha menguasai setir dan kakinya pun menginjak pedal rem amat kuat.Aspal licin karena guyuran hujam membuat decit roda mobil Anais memekik, tapi beruntung jalanan saat itu sepi hingga Anais bisa mengendalikan sedannya untuk berhenti, walau itu pun tepat di tengah jalan. Ketakutan membengkak di jantungnya, dia menunduk dengan tangan mencengeram setir dengan gemetar.Anais menata napasnya yang kini tak beraturan seraya membatin, ‘apa aku masih hidup?’Manik hazelnya tersita pada ponselnya yang kini jatuh di dekat kakinya. Layar itu menyala dan rupanya panggilan Jade masih berlangsung.‘Ah … ternyata aku masih hidup,’ katanya yang baru menyadari situasi.Tangannya menjulur hendak mengambil gawainya tersebut, tetapi mendadak ada ketukan dari jendela mobilny
‘A-apa dia baru saja menyebut namaku?’ Jade bergeming dalam hatinya. Wajahnya tampak bingung mendapati Anais menahan tangannya. Biasanya wanita itu hanya memanggil nama sang suami saat berdebat karena saking kesalnya, tentu saja sekarang Jade tercengang. ‘Mungkinkah aku tadi salah dengar?’ Pria itu mengambil kesimpulan sebab ucapan Anais memang amat pelan. Akan tetapi, asumsinya pecah saat Anais kembali bertutur, “t-tolong jangan tinggalkan aku, Jade.” Manik abu sang pria melebar, sensasi panas pun naik ke pipinya hingga membuat wajahnya memerah saat mendengar jelas ucapan Anais ini. Ketika Jade menoleh, dia mendapati wanitanya mengernyit seakan mencari kehangatan, dan tangan Jade adalah salah satu penawar yang tepat. Jade pun menekuk lututnya dan duduk berjongkok di samping ranjang tempat Anais berbaring. “Apakah kelinci nakal akhirnya jinak?” tuturnya pelan masih dengan raut wajah datar. Dia menjatuhkan pandangan ke tangan Anais yang menggenggamnya erat. Sebelah tangannya memb
“Sialan!” Denver mengumpat sengit. “Sebenarnya pria macam apa anjing liar itu? Mengapa dia banyak mempekerjakan para berandal di sini?!” Putra kedua Leah itu terkejut saat mendapat beberapa anak buah Jade lainnya berjaga di depan sana. Jika dirinya bersikeras menerobos mereka yang jumlahnya cukup banyak, maka artinya dia cari mati. “Aish, berengsek!” makinya kesal seraya mengacak rambut belakangnya. Dia tak waktu lagi, dengan buncahnya bibir pria itu pun bergumam, “berpikirlah, Denver! Kau harus segera keluar dari sini sebelum anjing liar itu merebut tempatmu!” Giginya menggertak, dan kala sesuatu melintas di otak liciknya, Denver segera kembali ke ruang toilet tempat dia menghajar antek Jade. Dia buru-buru menukar pakaiannya dengan anak buah Jade tersebut, dengan begitu, akan minim risiko ketahuan saat kabur. ‘Setelah aku berhasil keluar, aku tidak akan pernah mengampuninya! Dasar, anjing liar tidak tahu diri!’ batinnya bertekad. Denver berjalan santai dengan sapu tangan menutup
Malam itu, Jade yang telah menugaskan Carlein untuk mengawasi pergerakan Cedric sepanjang hari, seperti mendapat ikan besar karena iparnya itu malah datang ke bar miliknya. “Selamat datang, Tuan,” tukas Pelayan di Oran Bar menyambut Cedric. “Apakah ini pertama kalinya Anda berkunjung?”Lawan bincangnya mengangkat sebelah alisnya seraya menjawab, “ya.”“Kalau begitu, bagaimana jika Anda mencoba ruang VVIP? Kami menyediakan pelayanan khusus untuk tamu kami, saya pastikan Anda akan menyukainya.” Pelayan bar tadi menyarankan.Cedric yang awalnya terganggu dengan pertanyaan si pelayan, kini mulai tertarik. Bahkan dia pun berbisik, “apa kalian juga menyediakan obat?”“Itu salah satu pelayanan kami untuk tamu ruang VVIP, Tuan.”Mendengar balasan itu Cedric langsung girang. Dirinya segera mengikuti langkah si pelayan menuju tempat yang dimaksudkan. Begitu masuk ke ruang khusus tamu spesial itu, Cedric tersenyum puas karena sang pelayan menuangkan alkohol langka yang sulit didapatkan di San Pe
Situasi di mansion keluarga Devante ricuh, saat Tigris diseret para abdi negara atas kasusnya sebagai dalang pembunuhan orang tua kandung Anais. Atas koneksinya, Jade meminta pihak berwajib meringkus Tigris sebelum kabur. Media pun dibuat heboh karena sosok yang tampak wibawa itu rupanya iblis berhati dingin. Hal itu pun berdampak pada DV Group. Saham perusahaan anjlok, para dewan direksi juga was-was. Sebab itulah, Malgun lekas menemui Anais sehari setelah penangkapan Tigris. “Saya turut prihatin atas apa yang menimpa Tuan Esteban dan Nyonya Tivoni, Nona,” ujar kuasa hukum itu. “Saya sungguh tidak menyangka bahwa Tuan Tigris-lah yang berada di balik semua ini.” Alih-alih langsung menanggapi, Anais yang duduk di seberang mejanya hanya tersenyum samar seraya mencengkaram lutut dengan kedua tangannya. “Terima kasih, Tuan Malgun,” balasnya kemudian. “Saya mengerti mungkin Nona masih syok, tapi keadaan ini adalah kesempatan Anda untuk mengambil alih DV Group, Nona. Tuan Tigris memang
***Besok adalah rapat pemegang saham di DV Group, dan Anais sudah menyiapkan segala hal untuk itu. Namun, ketika wanita tersebut hendak meninggalkan ruangan direktur Dante’s Gallery, sesuatu terlintas di pikirannya.Anais menutup dokumen sembari bergeming dalam batin. ‘Ini terasa aneh karena Ibu dan Aretha terlihat tenang. Yang aku tahu, mereka pasti tidak akan tinggal diam jika menyangkut DV Group maupun hak waris keluarga Devante. Apa yang sedang mereka rencanakan? Aku tidak yakin Ibu dan Aretha menerima begitu saja saat aku mengadakan rapat pemegang saham.’Wanita itu menjeda monolongnya dalam hati, kala tatapannya jatuh pada potret dirinya bersama mendiang Esteban dan Tivoni saat bermain di pantai.‘DV Group akan kembali ke tanganku. Aku berjanji, Ayah. Aku berhasil melindungi Dante’s Gallery untuk Ibu, maka aku juga akan melakukan hal yang sama untuk DV Group yang Ayah dirikan,’ cetusnya bertekad dalam benak. ‘Bagaimana pun juga, aku harus tetap waspada!’Anais yang hendak bersi
“Berengsek! Beraninya jalang itu melompat ke jurang!” umpat sosok lelaki yang nyaris menembak Anais.Beberapa rekannya terkejut dan buru-buru menengok ke dasar tebing, tetapi tempat curam itu terlihat gelap hingga mereka tak bisa melihat Anais.“Apa dia benar-benar mati?” sahut pria dengan perawakan gempal.Lelaki yang mengenakan masker seketika menyahut, “siapa yang tahu? Tentu saja kita harus turun ke jurang dan memastikan wanita itu sudah lenyap!”Ya, sekelompok pembunuh bayaran professional itu akan bekerja sampai akhir. Mereka memegang teguh prinsipnya bahwa klien harus melihat mayat targetnya, untuk mendapat sisa pembayaran. Tanpa basa-basi, segerombol lelaki beringas tadi mencari jalur turun untuk menemukan Anais entah hidup atau mati.Sementara di bawah sana, Anais yang baru saja jatuh dari tebing masih beruntung karena Tuhan belum ada niat mencabut nyawanya. Barutan luka berdarah memenuhi lengan dan kakinya, perut dan lututnya menghantam bebatuan beberapa kali hingga rasa nye
“Tuan, semua orang sudah menunggu Nona Anais. Apakah Anda sudah bisa menghubungi beliau?” Seorang pria keluar dari ruang rapat dan bicara dengan nada cemas pada Malgun. Kuasa hukum mendiang Esteban itu semakin dirundung gelisah, terlebih tatapan Pineti juga kian mengejeknya seolah berkata, ‘rasakanlah kalian!’ “Maaf, bagaimana, Tuan Malgun?” desak pria tadi. Malgun yang tak bisa memberi janji, hanya menghela napas resah dan lantas menjawab, “sebentar lagi saya akan masuk dan bicara dengan semua orang. Sepertinya Nona Anais masih terjebak macet.” Sederet kalimat lelaki itu seketika mendapat seringai miring dari Pineti. Aretha hanya menatapnya tajam sementara Cedric langsung mendengus, “Tuan Malgun yang terhormat. Apa Anda tidak mendengar ucapan Ibu saya? Anais tidak bisa datang, mau Anda menunggunya sampai kiamat sekalipun, Anais tidak mungkin menghadiri rapat hari ini!” “Siapa yang kau maksud tidak datang?” Dari ujung koridor, sosok wanita dengan suit hitam dan sepatu hak tinggi