"Kalau kamu kehabisan stok wanita untuk diajak bermain-main, aku bisa mengenalkan beberapa untukmu, Adnan."
Melisa melipat tangan di dada dan mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Pose yang seharusnya biasa saja itu menjadi tampak berbeda. Tak hanya menampilkan keanggunan yang paripurna, Melisa seolah ingin menunjukkan bahwa wanita itulah yang berkuasa di sana, saat tatapannya bertemu dengan mata Suri.
Ujung bibir Melisa tertarik ke atas saat matanya mulai menilai penampilan Suri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan jijik dan remeh di wajah ayunya terlampau jelas.
"Tipe wanita seperti apa yang kamu sukai—"
"Hai, Mel. Aku dengar dari Pram kalau kamu sempat dirawat di rumah sakit. Senang melihatmu sudah sehat kembali." Adnan menyela dengan tenang. Namun, Suri bisa merasakan sekelebat emosi dalam suara pria itu yang bergetar. "Maaf, aku nggak sempat ke Jakarta untuk menjenguk kamu. Banyak urusan penting di sini yang nggak bisa kutinggalkan."
Suri terpaku. Apakah selama ini status janda yang melekat pada dirinya itu terpampang jelas di keningnya, hingga Melisa bisa semudah itu menyimpulkan hanya dari melihat satu kali?
Wanita beranak satu itu pun menunduk, menatap jengah pada penampilannya yang sudah lusuh. Suri tidak pernah membandingkan dirinya dengan wanita mana pun. Namun, berhadapan dengan Melisa dengan mudah melumpuhkan kepercayaan dirinya.
"Urusan penting itu termasuk bermain rumah-rumahan dengan janda—"
"Melisa, cukup!" Pram yang sesaat lalu seperti orang linglung karena kedatangan istrinya, menyergah dengan suara keras. "Kamu jangan sembarangan bicara—"
Usaha Pram untuk menghentikan celaan Melisa terpatahkan dengan mudah. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, pria itu langsung bungkam seperti orang bodoh saat bersirobok dengan lirikan tajam istrinya.
Pemandangan itu dalam sekejap membuat Suri melupakan rasa ngilu di hatinya karena kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Melisa.
Namun, tampaknya Adnan tidak begitu. Ekspresi lembut di wajahnya yang selalu ditampilkan pria itu di hadapan Suri dan Andaru tertutupi oleh lautan emosi. Pria itu... sedang berusaha keras untuk tidak meledak karena Melisa telah menguji kesabarannya.
"Aku serius dengan tawaranku tadi, Adnan," ucap Melisa dengan senyum tersungging di wajah innocent-nya. "Kamu bisa menghubungiku kapan saja kalau kamu butuh teman wanita yang menyenangkan."
Adnan membalas dengan segaris senyum tipis yang dipaksakan. "Kamu baik sekali, Mel. Tapi, kamu nggak perlu repot-repot. Aku yang paling tahu apa yang aku inginkan."
"Begitu?" Melisa tidak begitu senang karena penolakan halus yang diterimanya. "Sekarang mungkin kamu belum butuh—"
"Sayang, udah yuk. Kita balik ke hotel." Pram tampak segan dan takut saat kembali menyela ucapan Melisa. "Kamu... akan kerepotan sendiri kalau orang-orang mulai mengenalimu di sini."
Baik Adnan maupun Suri tidak ada yang mengatakan apa-apa hingga Pram berhasil mengajak Melisa berpamitan untuk pergi lebih dulu.
Ketika sepasang suami istri itu sudah tak terlihat lagi, Suri menoleh ke arah Adnan, yang sedang membisikkan sesuatu di telinga Andaru. Suri tak dapat mendengarnya. Namun, ia tahu. Adnan sedang berusaha menenangkan Andaru. Anak itu masih kebingungan dan ketakutan karena kemunculan dua orang asing yang membuat suasana menjadi tegang dan tak menyenangkan.
"Sini, biar aku yang gendong Aru—"
Ucapan Suri tak selesai karena Adnan tiba-tiba meraih tangannya yang terulur ke arah pria itu untuk digenggam. Ia terlalu kaget hingga sesaat terpaku menatap tangan besar Adnan melingkupi tangannya, memberikan kehangatan.
Tarikan lembut Adnan menyadarkan Suri dengan cepat. "Nan, kita masih di kantor."
"Sebentar saja." Nada memohon sarat dalam suaranya. Pria itu merapatkan genggaman tangannya, sedikit terlalu kencang. Menarik Suri lebih dekat agar keduanya bisa berjalan bersisian. "Hanya sampai parkiran, Ri."
"Tapi—"
"Pram bisa saja masih ada di sekitar sini. Akan lebih meyakinkan kalau kita menunjukkan kedekatan sebagai pasangan."
Dan Suri tak kuasa menolak.
***"Kita berdua udah gila, Adnan! Situasi ini sangat salah," erang Suri yang tak bisa berhenti mondar-mandir sejak menginjakkan kaki di apartemen Adnan beberapa belas menit yang lalu. "Ya Tuhan! Bisa-bisanya aku malah sekongkol sama kamu bohongin Mas Pram.""Jangan bicara terlalu kencang, Ri. Nanti Aru bangun." Adnan muncul dari kamar—masih mengenakan pakaian kerjanya sejak pagi tadi. Pria itu baru saja menidurkan Andaru yang sudah sangat kelelahan karena bermain nonstop di tempat penitipan anak.
Adnan segera menggeret Suri menjauh dari depan kamarnya dan baru melepaskan cekalannya ketika sudah sampai di pantry.
"Nggak perlu panik, Ri. Aku tau apa yang kulakukan." Adnan mendudukkan Suri di kursi tinggi yang ada di sana dan menyodorkan segelas air minum dingin kepada wanita itu.
"Kenapa sih kamu pakai bikin kebohongan yang memperumit suasana?" Suri gagal meredam gelisah. Rasanya, ia mau muntah saat air minum dingin tadi membasahi kerongkongan. "Mas Pram nggak sebodoh itu untuk percaya begitu saja, Adnan. Bagaimana kalau dia sudah mengetahui kebohongan kita dan merencanakan sesuatu untuk merebut Aru dari aku?"
"Itu nggak akan terjadi. Percaya sama aku."
Saat meninggalkan parkiran kantor tadi, Adnan membujuk Suri agar mau tinggal sementara di apartemennya sampai Pram dan Melisa meninggalkan Surabaya. Hal itu Adnan lakukan untuk meminimalisir kecurigaan Pram, yang bisa saja mengirimkan mata-mata untuk mengawasi mantan istrinya yang telah lama hilang. Bagi orang kaya seperti keluarga Danuarta, hal semacam itu bukan sesuatu yang asing lagi.
"Kita nggak sepenuhnya bohong, kan?" Adnan bicara lagi dengan suara lembut. "Dalam waktu dekat, kita akan menikah. Dan Andaru akan resmi menjadi anakku."
"Ini bukan saatnya bicara tentang itu, Nan. Kamu dengar sendiri apa yang Melisa bilang tadi, kan? Aku ini janda. Aku nggak pantas bersanding denganmu—"
"Kalau kamu nggak ingin melihatku marah, jangan sekali-kali melabeli dirimu dengan kata-kata itu!" Adnan menggeram. Ekspresi keras yang tergambar di wajah pria itu di depan Melisa tadi kembali terlihat.
"Memang kenyataannya begitu, Adnan." Suri mendesah panjang. Jantungnya seperti dijerat oleh beban berat yang membuat dadanya terasa sesak. "Akan lebih mudah kalau aku dan Andaru meninggalkan kota ini. Meninggalkan Indonesia, kalau perlu."
"Dan meninggalkan aku di sini?"
Suri menatap Adnan sedih. "Di luar sana, ada seseorang yang jauh lebih pantas untuk menjadi istrimu." Ia tidak pernah dengan sengaja ingin menyakiti Adnan yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Namun, menerima perasaan Adnan sama saja membebani pria itu lebih banyak lagi. "Aku nggak ditakdirkan untuk menjadi bagian dari Danuarta, Adnan. Sudah cukup satu kali saja aku ga—"
"Kalau aku melepas nama Danuarta, kamu mau menikah denganku?"
Adnan bucinnya totalitas ya🙂🙂🙂
Pertanyaan yang diucapkan Adnan dengan ekspresi tak terbaca itu membuat Suri terpaku. Suri seharusnya sudah tidak kaget lagi karena pria itu selalu memberikan kejutan-kejutan di luar ekspektasinya. Namun, yang terakhir ini... benar-benar sudah di luar logika! "Aku bercanda, Ri." Bisikan pria itu sontak mengembalikan fokus Suri pada wajah Adnan yang dekat sekali dengan wajahnya. Suri membelalak dan memundurkan kepala. Namun, itu tidak berguna. Posisinya saat ini tidak menguntungkan karena ia duduk di kursi, diperangkap Adnan dengan tubuhnya yang menggoda. "A-apa yang kamu lakukan?" Suara yang keluar dari mulut Suri terdengar seperti tikus yang terjepit pintu. Sudut bibir Adnan terangkat naik. Pria itu semakin mendekatkan wajah dan berbisik di telinga kiri Suri. "Menciummu?" Suri membuang muka ke arah yang berlawanan dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kedua tangannya mencengkeram meja di belakangnya kuat-kuat. Sebuah keajaiban Suri tidak langsung ambruk karena kedekatannya dengan
Dada Suri terasa sesak. Ia harus berpegangan pada ujung meja untuk menahan tubuhnya yang oleng sesaat karena tidak siap mendengar pernyataan gila yang diucapkan Adnan. "Aku... aku benar-benar nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan, Nan." Getar dalam suaranya menunjukkan emosi campur aduk yang telah ditekan kuat-kuat, tetapi tak lagi bisa wanita itu sembunyikan. Hanya dalam kurun waktu dua hari, ia dibuat olahraga jantung berkali-kali. Patut diacungi jempol karena Suri masih belum tumbang juga akibat terlalu banyak menerima kejutan. Kemunculan Pram dan pertemuannya dengan Andaru mungkin memang sudah takdir yang tak bisa dihindari lagi. Namun, tentang apa yang dilakukan Adnan... itu sangat di luar dugaan. Pria itu benar-benar tega karena menambah satu beban pikiran baru di kepala Suri tanpa membiarkannya istirahat sejenak saja. Sulit menolerir tindakan gila Adnan. Memanipulasi data diri tak hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik Suri dan Andaru yang terdaftar di Dukcapil. Bag
"Aru benar-benar nggak papa diantar Miss Dina dan Om Wirya ke sekolah?" Suri tak bisa berhenti bergerak gusar di tempat duduknya sejak Dina—pengasuh baru yang akan menjaga Andaru—datang sepuluh menit lalu bersama asisten pribadi Adnan yang berpenampilan serba hitam. Bocah laki-laki yang sedang melahap sarapannya dengan tumis brokoli dan sosis itu mengangguk-angguk. "Mama sama Papa Adnan sibuk kerja buat beli mainan yang banyak buat Aru, kan?" Dengan adanya situasi yang memaksa Suri untuk fokus pada masalahnya dengan mantan suaminya, ia tidak punya pilihan selain menyetujui usul Adnan menyewa pengasuh untuk Andaru. Dina adalah yang terbaik di antara enam kandidat yang dipilih oleh Wirya—atas persetujuan Adnan. Selama bertahun-tahun bekerja untuk Adnan, tidak pernah sekalipun Suri mendengar pria itu mengeluh atau menegur Wirya atas hasil pekerjaannya. Itu artinya, Wirya selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Seharusnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, sebagai seorang
Menginjakkan kaki di rumah sakit membuat Suri pusing dan mendadak mual karena terlalu cemas. Sementara itu, kepercayaan diri Adnan yang begitu yakin rencananya berjalan dengan lancar sama sekali tidak membantu Suri untuk bisa tenang. "Harusnya aku nggak makan dulu tadi. Aku rasanya mau muntah," panik Suri mencengkeram tas jinjing di tangan kanannya. Kakinya terasa lemas untuk diajak melangkah, seolah-olah bisa membuatnya jatuh kapan saja. "Kalau kamu nggak makan, kamu udah ambruk dari tadi, Ri." Dan Adnan masih bisa-bisanya bercanda dalam situasi serius seperti sekarang ini. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu merealisasikan rencana gilamu, Nan!" Adnan hanya tertawa dan terus melangkah dengan tenang. Sementara Suri sudah nyaris pingsan karena tekanan emosi yang membuncah di dadanya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Suri bisa terkena serangan jantung sebelum sempat melihat hasil tes DNA yang dilakukan Adnan, Pram, dan Andaru beberapa ha
"Suri, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan sembari sesekali memperhatikan Suri yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak meninggalkan rumah sakit lima belas menit yang lalu, wanita yang tidak mau melepas pandangan dari luar jendela itu lebih banyak diam. "Kalau kamu butuh waktu, kamu nggak perlu ikut aku meeting sekarang. Aku bisa sendiri saja. Aku akan minta Wirya menyusul." Menoleh ke arah Adnan, Suri menampilkan senyum yang agak dipaksakan. "Nggak apa-apa, Nan. Meeting ini penting buat perusahaan. Aku nggak akan melewatkannya." "Tapi, Ri—" "Adnan, tolong!" Suri menyentuh lengan pria yang sedang mengemudi itu dengan lembut. "Jangan sedikit-sedikit menyuruhku untuk bolos kerja cuma karena ada masalah atau karena kamu merasa aku nggak cukup kuat untuk menghadapi masalah." Ada tatap penuh sesal saat Adnan membalas, "Seharusnya kamu nggak perlu ikut ke rumah sakit tadi. Jadi, kamu nggak perlu menghadapi kemarahan Pram. Aku yang ceroboh karena membawamu serta." Suri menggeleng.
"Makan siangmu ada di meja ya, Nan. Udah disiapin sama Pak Budi," kata Suri saat ia dan Adnan tiba di lantai 9. Wanita itu langsung melipir ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri pintu masuk ke ruangan Adnan. Adnan mengernyit bingung karena Suri tidak mengekor masuk ke ruang kerjanya seperti biasa. "Kita nggak makan siang bareng?" Mereka baru saja selesai meeting dengan investor baru yang datang langsung dari Bali. Pertemuannya berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan hingga jam makan siang telah lewat lebih dari satu jam. Namun, raut puas dari kedua belah pihak tadi menunjukkan kalau rapat panjang selama berjam-jam itu menghasilkan sebuah kesepakatan yang menguntungkan untuk masing-masing perusahaan. Suri cukup senang dan lega karena kerja kerasnya bersama orang-orang kantor selama berbulan-bulan, untuk membantu Adnan menyiapkan proposal pembangunan sebuah panti wreda di Surabaya, terbayar dengan tuntas saat tercapai kesepakatan dengan investor dari Bali yang terkenal sulit
'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...' "Kenapa nggak aktif sih, argh!" kesal Suri. Sudah belasan menit berlalu sejak dua wanita penggosip tadi pergi dan ia masih belum beranjak dari bilik kamar mandi. Berkali-kali wanita itu mencoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan ancaman kepadanya itu, tetapi tidak jua tersambung. Ada kemungkinan kalau nomor itu sengaja digunakan satu kali saja untuk menakut-nakuti dirinya, tetapi Suri tetap kembali menekan tombol panggil ke nomor itu. Namun... tetap tidak tersambung hingga percobaan yang ke sekian kalinya. "Pengecut sialan!" Wanita itu mengerang kesal dan menggigiti bibir bawahnya karena cemas berlebih. Ia baru akan mencoba peruntungan sekali lagi, tetapi urung saat ada pesan masuk dari Adnan yang mencari-cari keberadaannya, menyuruhnya segera menyusul ke lobi. Ketika matanya menangkap angka 13.50 di ujung kiri atas di layar ponselnya, ia langsung memekik, "Ya Tuhan, Pak Pandi. Sebentar la
"Hai, Sayang!" Suri melambaikan tangan saat wajah Andaru memenuhi layar ponselnya. "Mama!" Pekikan nyaring itu membuat senyum di bibir Suri tercipta. Setelah itu, beberapa kali tampilan di layar ponselnya sempat goyang karena Andaru sepertinya sedang mencari posisi duduk yang nyaman untuk memegangi ponsel—yang berukuran tiga kali lebih besar dari tangan mungilnya. "Wah, ganteng banget anak Mama! Udah mandi sore sama Miss Dina, ya?" Bocah lelaki yang kedua bola matanya berbinar itu tersenyum lebar. "Aru mandi sendiri tadi, tapi ditemani Om Wirya, Ma. Iya kan, Om?" Mendengar suara Wirya yang mengiyakan pertanyaan Aru, kerutan samar muncul di dahi Suri. "Lho, memangnya Miss Dina tadi ke mana?" "Di dapur, Ma. Lagi bikin susu buat Aru." "Maksud Mama, tadi waktu Aru mandi sama Om Wirya, Miss Dina-nya ke mana? Kenapa nggak sama Miss Dina mandinya?" Wanita itu duduk tegak dan mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas karena Andaru malah memberitahu kegiatan yang dilakukan pengasuhnya