Share

BAB 6. Situasi Sulit

"Kalau kamu kehabisan stok wanita untuk diajak bermain-main, aku bisa mengenalkan beberapa untukmu, Adnan."

Melisa melipat tangan di dada dan mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Pose yang seharusnya biasa saja itu menjadi tampak berbeda. Tak hanya menampilkan keanggunan yang paripurna, Melisa seolah ingin menunjukkan bahwa wanita itulah yang berkuasa di sana, saat tatapannya bertemu dengan mata Suri.

Ujung bibir Melisa tertarik ke atas saat matanya mulai menilai penampilan Suri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan jijik dan remeh di wajah ayunya terlampau jelas.

"Tipe wanita seperti apa yang kamu sukai—"

"Hai, Mel. Aku dengar dari Pram kalau kamu sempat dirawat di rumah sakit. Senang melihatmu sudah sehat kembali." Adnan menyela dengan tenang. Namun, Suri bisa merasakan sekelebat emosi dalam suara pria itu yang bergetar. "Maaf, aku nggak sempat ke Jakarta untuk menjenguk kamu. Banyak urusan penting di sini yang nggak bisa kutinggalkan."

Suri terpaku. Apakah selama ini status janda yang melekat pada dirinya itu terpampang jelas di keningnya, hingga Melisa bisa semudah itu menyimpulkan hanya dari melihat satu kali?

Wanita beranak satu itu pun menunduk, menatap jengah pada penampilannya yang sudah lusuh. Suri tidak pernah membandingkan dirinya dengan wanita mana pun. Namun, berhadapan dengan Melisa dengan mudah melumpuhkan kepercayaan dirinya.

"Urusan penting itu termasuk bermain rumah-rumahan dengan janda—"

"Melisa, cukup!" Pram yang sesaat lalu seperti orang linglung karena kedatangan istrinya, menyergah dengan suara keras. "Kamu jangan sembarangan bicara—"

Usaha Pram untuk menghentikan celaan Melisa terpatahkan dengan mudah. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, pria itu langsung bungkam seperti orang bodoh saat bersirobok dengan lirikan tajam istrinya.

Pemandangan itu dalam sekejap membuat Suri melupakan rasa ngilu di hatinya karena kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Melisa.

Namun, tampaknya Adnan tidak begitu. Ekspresi lembut di wajahnya yang selalu ditampilkan pria itu di hadapan Suri dan Andaru tertutupi oleh lautan emosi. Pria itu... sedang berusaha keras untuk tidak meledak karena Melisa telah menguji kesabarannya.

"Aku serius dengan tawaranku tadi, Adnan," ucap Melisa dengan senyum tersungging di wajah innocent-nya. "Kamu bisa menghubungiku kapan saja kalau kamu butuh teman wanita yang menyenangkan."

Adnan membalas dengan segaris senyum tipis yang dipaksakan. "Kamu baik sekali, Mel. Tapi, kamu nggak perlu repot-repot. Aku yang paling tahu apa yang aku inginkan."

"Begitu?" Melisa tidak begitu senang karena penolakan halus yang diterimanya. "Sekarang mungkin kamu belum butuh—"

"Sayang, udah yuk. Kita balik ke hotel." Pram tampak segan dan takut saat kembali menyela ucapan Melisa. "Kamu... akan kerepotan sendiri kalau orang-orang mulai mengenalimu di sini."

Baik Adnan maupun Suri tidak ada yang mengatakan apa-apa hingga Pram berhasil mengajak Melisa berpamitan untuk pergi lebih dulu.

Ketika sepasang suami istri itu sudah tak terlihat lagi, Suri menoleh ke arah Adnan, yang sedang membisikkan sesuatu di telinga Andaru. Suri tak dapat mendengarnya. Namun, ia tahu. Adnan sedang berusaha menenangkan Andaru. Anak itu masih kebingungan dan ketakutan karena kemunculan dua orang asing yang membuat suasana menjadi tegang dan tak menyenangkan.

"Sini, biar aku yang gendong Aru—"

Ucapan Suri tak selesai karena Adnan tiba-tiba meraih tangannya yang terulur ke arah pria itu untuk digenggam. Ia terlalu kaget hingga sesaat terpaku menatap tangan besar Adnan melingkupi tangannya, memberikan kehangatan.

Tarikan lembut Adnan menyadarkan Suri dengan cepat. "Nan, kita masih di kantor."

"Sebentar saja." Nada memohon sarat dalam suaranya. Pria itu merapatkan genggaman tangannya, sedikit terlalu kencang. Menarik Suri lebih dekat agar keduanya bisa berjalan bersisian. "Hanya sampai parkiran, Ri."

"Tapi—"

"Pram bisa saja masih ada di sekitar sini. Akan lebih meyakinkan kalau kita menunjukkan kedekatan sebagai pasangan."

Dan Suri tak kuasa menolak.

***

"Kita berdua udah gila, Adnan! Situasi ini sangat salah," erang Suri yang tak bisa berhenti mondar-mandir sejak menginjakkan kaki di apartemen Adnan beberapa belas menit yang lalu. "Ya Tuhan! Bisa-bisanya aku malah sekongkol sama kamu bohongin Mas Pram."

"Jangan bicara terlalu kencang, Ri. Nanti Aru bangun." Adnan muncul dari kamar—masih mengenakan pakaian kerjanya sejak pagi tadi. Pria itu baru saja menidurkan Andaru yang sudah sangat kelelahan karena bermain nonstop di tempat penitipan anak.

Adnan segera menggeret Suri menjauh dari depan kamarnya dan baru melepaskan cekalannya ketika sudah sampai di pantry. 

"Nggak perlu panik, Ri. Aku tau apa yang kulakukan." Adnan mendudukkan Suri di kursi tinggi yang ada di sana dan menyodorkan segelas air minum dingin kepada wanita itu.

"Kenapa sih kamu pakai bikin kebohongan yang memperumit suasana?" Suri gagal meredam gelisah. Rasanya, ia mau muntah saat air minum dingin tadi membasahi kerongkongan. "Mas Pram nggak sebodoh itu untuk percaya begitu saja, Adnan. Bagaimana kalau dia sudah mengetahui kebohongan kita dan merencanakan sesuatu untuk merebut Aru dari aku?"

"Itu nggak akan terjadi. Percaya sama aku."

Saat meninggalkan parkiran kantor tadi, Adnan membujuk Suri agar mau tinggal sementara di apartemennya sampai Pram dan Melisa meninggalkan Surabaya. Hal itu Adnan lakukan untuk meminimalisir kecurigaan Pram, yang bisa saja mengirimkan mata-mata untuk mengawasi mantan istrinya yang telah lama hilang. Bagi orang kaya seperti keluarga Danuarta, hal semacam itu bukan sesuatu yang asing lagi.

"Kita nggak sepenuhnya bohong, kan?" Adnan bicara lagi dengan suara lembut. "Dalam waktu dekat, kita akan menikah. Dan Andaru akan resmi menjadi anakku."

"Ini bukan saatnya bicara tentang itu, Nan. Kamu dengar sendiri apa yang Melisa bilang tadi, kan? Aku ini janda. Aku nggak pantas bersanding denganmu—"

"Kalau kamu nggak ingin melihatku marah, jangan sekali-kali melabeli dirimu dengan kata-kata itu!" Adnan menggeram. Ekspresi keras yang tergambar di wajah pria itu di depan Melisa tadi kembali terlihat.

"Memang kenyataannya begitu, Adnan." Suri mendesah panjang. Jantungnya seperti dijerat oleh beban berat yang membuat dadanya terasa sesak. "Akan lebih mudah kalau aku dan Andaru meninggalkan kota ini. Meninggalkan Indonesia, kalau perlu."

"Dan meninggalkan aku di sini?"

Suri menatap Adnan sedih. "Di luar sana, ada seseorang yang jauh lebih pantas untuk menjadi istrimu." Ia tidak pernah dengan sengaja ingin menyakiti Adnan yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Namun, menerima perasaan Adnan sama saja membebani pria itu lebih banyak lagi. "Aku nggak ditakdirkan untuk menjadi bagian dari Danuarta, Adnan. Sudah cukup satu kali saja aku ga—"

"Kalau aku melepas nama Danuarta, kamu mau menikah denganku?"

naftalenee

Adnan bucinnya totalitas ya🙂🙂🙂

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status