Pegangan Alex pada ponselnya semakin menguat. Mencengkeram kuat hingga buku-buku jarinya memutih sebelum kemudian melempar benda pipih tersebut ke dinding. Memantul di dinding lalu lantai dan berhamburan menjadi tiga bagian.Bukannya suara Calia yang ia dengar begitu panggilannya tersambung, melainkan suara desahan dan erang kenikmatan. Menunjukkan betapa panasnya suasana di seberang sana. Dan semua ini pasti perbuatan Lucius.Amarah di dadanya bergemuruh, naik hingga ke ubun-ubun. Seolah belum cukup dengan Calia yang menolak perasaannya, sekarang wanita itu sudah kembali menjadi istri Lucius dengan begitu tololnya.Setelah pecampakan Lucius selama bertahun-tahun dan hubungan keduanya yang tak lagi saling berkontak, ia berpikir hanya perlu menunggu. Sedikit lebih lama lagi setelah Zayn tiba-tiba mendapat penyakit sialan itu. Yang malah menjadi gerbang baru untuk hubungan Lucius dan Calia tanpa ia duga.Sial beribu sial. Semua gara-gara anak itu usahanya berakhir hancur lebur seperti i
Part 27 Tamu Tak Diundang“Mungkin Lucius membutuhkan sesuatu, Lukas.” Calia gegas mengendalikan ekspresi wajah dan suaranya dengan baik. “Ya, membutuhkan sesuatu itu yang pasti, kan?”“Maksudku tidak seperti yang kaupikirkan.”“Memangnya apa yang sedang kupikirkan?” Salah satu ujung bibir Lukas tertarik ke atas, tatapan pria itu tampak mendesak jawaban dari Calia.Calia mengedipkan mata sekali dan memberikan jawaban yang tegas. “Apa pun itu, sepertinya bukan urusanmu, Lukas,” pungkasnya kemudian berjalan lebih dulu dan gegas masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu di belakangnya dan tak melihat Lucius di tempat tidur yang berantakan.Pikirannya masih digeluti tentang Alan Khu yang datang di rumah ini dan urusan pria itu ada di tempat ini. Ia mencoba mengingat, memastikan semua masa lalunya sudah terkubur di belakang. Tertutup rapat dan tersimpan dengan baik. Seharusnya seperti itu, kan. Rahasia pasien tidak akan sembarang diakses, pun jika orang itu memiliki kekuasaan sebesar Luci
“Sepertinya aku harus menunggu di sini, Lucius,” lirih Calia. Yang segera mendapatkan tatapan tajam dari Lucius.“Apa kau melakukan kesalahan sehingga harus menghindari mereka?”“Mereka orang tua Divya. Tunanganmu.”“Divya bukan tunanganku,” tegas Lucius. Menangkap pinggang Calia dan membawa wanita itu melangkah menuju pintu ruangannya.“Akan menjadi tunanganmu, bukan.”Lucius mendesah kasar. Berhenti tepat di depan pintu dengan salah satu tangan memegang gagang pintu. “Sejak awal, rencana pertunangan itu memang seharusnya tak pernah ada. Aku membiarkan mama dan Divya mengatur semua ini hanya karena aku sudah bosan mendengar celoteh mereka selama delapan tahun ini. Dan semua ini karena kau. Tidak bisakah kau bertanggung jawab sedikit untuk semua kekacauan yang kau tinggalkan delapan tahun yang lalu, hah?”Calia segera terdiam. Saat meninggalkan kediaman keluaga Cayson delapan tahun yang lalu, tentu saja ia tahu mama Lucius akan melanjutkan rencana perjodohan tersebut.“Sekarang, sebai
“Saya memahami kekhawatiran Anda, Nyonya Cayson,” ucap dokter Kirana menyela keheningan yang sempat melingkupi pasangan di depannya.Lucius mengerjap, kecurigaan pada Calia perlahan meluruh digantikan dengan kekesalan pada dirinya sendiri mengetahui usaha Calia selama delapan tahun ini. Yang ia pikir hidupnya jauh lebih baik dari dirinya sendiri. Ia kemudian hanya menatap sisi wajah sang istri yang melanjutkan penjelasan, kali ini dengan suara yang lebih tenang.Dokter Kirana mengangguk-angguk pelan, mendengarkan dengan seksama sembari mengisi beberapa hal di berkas yang ada di hadapan wanita itu. Mengajukan beberapa pertanyaan dan akhirnya melakukan beberapa pemeriksaan pada Lucius dan Calia. Setengah jam kemudian, Calia dihempas kelegaan begitu keluar dari ruangan dokter. Semuanya baik-baik saja seperti yang diharapkan oleh Calia. Rahimnya dalam kondisi yang sangat baik. Lagipula, semua yang ia khawatirkan hanyalah sebuah kemungkinan. Jika ia menjaga kehamilannya tetap baik, kemung
Lucius menyambar ponsel di tangan Calia dan mendengus keras melihat panggilan tersebut dari Alex. “Sekarang kau terang-terangan menjawab panggilan darinya?”“Aku sudah mengatakan padamu, Lucius. Hubunganmu dan Alex sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Kami …”Lucius menggeram kesal, memotong kalimat Calia.“Aku tak akan memintamu mempercayaiku. Aku tak layak mendapatkan kepercayaan itu dan aku tak berhak meminta seperti yang kau tegaskan.” Calia mengucapkannya dengan tak kalah tegasnya. “Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun itu yang kau pikirkan tentang kami. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu meski kau tak mempercayaiku. Dan tenang saja, aku tak akan menjadi lebih menyedihkan untuk mengulang ketololanku di masa lalu. Kau tahu aku tak akan menjadi setolol itu meski harga diri pun aku tak memilikinya. Setidaknya sekarang aku masih memiliki ketiga anakku.”Lucius hanya terdiam mendengarkan kalimat panjang tersebut. Menatap wajah Calia yang kemudian mengambil ponsel di tanganny
“Kenapa kau memiliki fotonya? Apa yang dia lakukan padamu?”“Siapa dia?” Caleb tak menjawab dan malah balik bertanya. Lebih mendekatkan wajahnya pada Calia. “Apakah dia ada hubungannya dengan Lucius? Atau Lukas?”Calia menatap wajah sang kakak. “Kau tidak menjawab pertanyaanku, Caleb.”Mendesah pelan, Caleb pun memutuskan menjawab untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. “Dia datang ke perusahaan, menanyakan sesuatu yang bukan urusannya.”Calia jelas tak puas dengan jawaban itu. “Kenapa dia mendatangimu? Apa kau membuat masalah?”“Kau pikir aku membuat masalah sehingga perlu didatangi oleh orang tak dikenal seperti dia?”Calia terdiam. Hidup Caleb sepenuhnya hanya tentang dirinya dan ketiga kembar. Pria itu hanya fokus mendapatkan uang lebih banyak untuk membantunya membayar biaya perawatan Zayn yang harus menguras seluruh tabungan mereka dan bahkan berpindah ke apartemen yang lebih kecil. “D-dia… hanya perantara perdagangan mulai dari barang bagus, mobil, dan beberapa properti.”
Part 32 Menegaskan PosisiSetelah mendatangi kamar Zsazsa dan Zaiden yang sudah terlelap, juga mencium kedua anaknya untuk Lucius, Calia kembali ke kamarnya. Membaringkan tubuhnya di tengah tempat tidur dengan berbagai kemelut yang masih memenuhi kepalanya. Pandangannya menatap langit-langit yang berwarna abu gelap dalam tarikan napasnya yang panjang. Kemudian menatap sisi lain tempat tidur. Tempat Lucius biasa berbaring.‘Aku hamil.’ Calia meletakkan testpack di tangannya ke meja kecil. Berdiri menatap Lucius yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan tab di pangkuan.Pandangan Lucius terangkat pelan, menatap benda pipih tersebut sekilas sebelum kemudian menatap wajah Calia. ‘Kau sungguh memberikan benda itu padaku? Sekarang? Di tengah-tengah kekacauan ini?’ Suara Lucius kasar dan dingin. ‘Aku tak akan memintamu bertanggung jawab.’Lucius membanting tab di tangannya ke lantai tepat di samping kaki Calia. Yang sama sekali tak menghindar meski matanya terpejam ketakutan oleh kemara
“Saya sama sekali tak merasa besar kepala dengan keluarga besar kita, Mama. Tak hanya terlahir dari kelas sosial yang rendah, saya bahkan tidak memiliki orang tua. Saya sadar di mana posisi saya di rumah ini.”Wajah Vania tak bisa lebih pucat dengan penekanan dalam kalimat terakhir Calia. Posisi yang seolah seperti pisau bermata dua.Calia mengangguk sekali dan membalikkan badan. Menyeberangi ruang tamu dan menghilang dari pandangan Vania dengan langkah yang tenang. Berbanding terbalik dengan gemuruh amarah di dadanya.“Apa mungkin dia akan mengatakan semuanya pada Lucius, Tante? Bagaimana jika Lucius mengusirku dari rumah ini? Pertunangan kami sudah dibatalkan, Divya tak punya alasan tetap tinggal di rumah ini.” Divya tiba-tiba sudah berdiri di samping Vania. Memegang lengan wanita itu paruh baya itu dengan wajah pucat yang diselimuti kecemasan. “Lucius akan menendang kita jika wanita sialan itu buka mulut.”“Dia bisa mengatakan apa pun, Divya. Dia tak punya bukti. Jadi kita pun bisa