Lucius mendengus dengan wajah Calia yang mendadak memucat. Ia mendecakkan lidahnya dengan salah satu alis yang terangkat. “Ck, kau tidak minta maaf?”Kening Calia berkerut tak mengerti.“Kau pikir aku tidak tersinggung dengan pertanyaanmu?”Kerutan di kening Calia semakin menukik tajam, semakin tak memahami pertanyaan tersebut. “Aku tahu bagaimana rasanya dikhianati, Calia. Bagaimana mungkin aku melakukan itu pada orang yang kucintai. Aku tak akan merendahkan diriku sendiri melakukan itu, bahkan jika itu untuk membalas sakit hatiku padamu. Pun kau yang sama sekali tak menginginkan pernikahan ini dengan hatimu.”Seketika Calia membeku, kata-kata Lucius tepat menusuk di dadanya. “Kau berhak melakukannya.” Calia memaksa kata itu keluar dari bibirnya. Merasa egois dan ia sangat menyadari itu. Lihatlah betapa tidak tahu malunya dirimu, Calia, batinnya mengejek dirinya sendiri.Lucius mendengus mengejek. “Katakan itu pada dirimu sendiri. Wajahmu pucat sekali.”Calia mengerjap kebingungan,
Divya mengakhiri panggilan dengan senyum licik yang tersungging di salah satu ujung bibirnya. Semua rencananya sudah bisa dibilang berhasil, hanya perlu menunggu kedatangan Lucius yang akan menjemputnya. Sebelum kemudian ia menyelesaikan setengah rencana tante Vania yang cemerlang ini seorang diri. Ya, hanya dirinya yang bisa menyelesaikan rencana ini.Sejenak ponselnya berkedip dan muncul notifikasi bahwa baterai ponselnya mulai lemah. Hanya tinggal beberapa persen saja. Toh sebentar lagi Lucius akan muncul, jadi ia hanya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Mengangkat pergelangan tangannya dan melirik jam tangan yang melingkar di sana. Jam sudah menunjukkan pukul 21.17, suasana di sekitar sunyi senyap dan hanya ada kegelapan di sekelilingnya.Divya memastikan kunci mobil terpasang dengan tepat. Ada ketakutan yang sempat merayapi hatinya tetapi mengingat apa yang akan dicapai dengan rencana ini, ia segera mengenyahkan ketakutan tersebut.Setelah 8 tahun Lusius tak pernah tergoda oleh t
Calia turun dari mobil, menyodorkan jaket ke arah Divya. Kedua matanya mengamati penampilan Divya yang berantakan dan bau parfum bercampur alkohol yang menusuk hidup. “Sepertinya kau membutuhkannya. Di sini sangat dingin.”Divya membutuhkan usaha yang lebih untuk menguasai ekspresi wajahnya dengan baik tanpa mengundang kecurigaan Lucius yang berdiri di hadapannya. Ia menggeleng dengan raut yang datar. “Kau tak lihat, aku kepanasan? AC mobilku mati.”“Ah, ya.” Pandangan Calia turun ke arah dada Divya. “AC mobil Lucius bekerja dengan baik, kau tidak akan kegerahan di dalam. Jika tidak ingin masuk angin, sepertinya kau harus mengancingkan kemejamu.” “Memangnya kenapa? Lucius sudah terbiasa melihatku seperti ini.” Divya tak bisa menahan kekesalannya.Lucius berdehem pelan. “Jangan membuat kesalah pahaman tak berarti di depan istriku, Divya.”Divya segera menutup mulutnya.“Apa yang dikatakan oleh istriku benar, Divya. Jika tidak ingin jatuh sakit, kau harus memperbaiki penampilanmu. Kau
Part 47 Liburan Akhir MingguCalia bisa merasakan tubuh Lucius yang naik ke ranjang, lalu bergeser dan bergabung dengannya di balik selimut. Merasakan lengan Lucius yang menyelip melingkari pinggangnya dan menempelkan punggung di dada pria itu.“Kau marah?” Lucius mendekatkan bibirnya di telinga Calia.“Aku tak punya alasan untuk marah, Lucius. Aku tak akan mendesakmu untuk percaya padaku. A-aku hanya …” Calia terdiam, tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan jawabannya. “Merasa buruk untuk diriku sendiri. Entahlah, perasaanku akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif. Selalu waspada sejak kita menemui dokter. Aku takut rencana kita akan gagal untuk menyembuhkan Zayn.”Lucius membalik tubuh Calia, membuatnya keduanya saling berhadap-hadapan. “Kau menolak minuman buatan mamaku karena kau khawatir dengan program kehamilan kita, kan? Itulah alasanku melakukannya.”Calia mengangguk mengerti. Menyelipkan lengannya ditubuh Lucius dan menempelkan wajah di dada bidang pria itu. “Maaf. Ada ter
Calia seketika menyadari betapa jauhnya jarak yang terbentang di antara mereka.“Umur pernikahan kita akan menginjak 10 tahun. Tujuh bulan tiga hari adalah ulang tahu pernikahan kita yang ke sepuluh. Satu tahun awal pernikahan yang tak benar-benar begitu tersambung dan delapan tahun perpisahan. Kita bahkan tak benar-benar saling mengenal, Calia. Betapa pun aku mengakui sangat mencintaimu dan tak bisa kehilanganmu. Kemarahanku, kekecewaanku, dan rasa cintaku yang begitu besar. Semua itu seolah tertampar dengan ini.”“A-aku … aku tak tahu apa yang harus kukatakan, Lucius.” Calia sendiri menyadari bahwa dirinya juga tak benar-benar mengetahui tentang Lucius. “Jika kau berpikir aku dan Rhea yang saling bersikap dingin ada hubungannya dengan Lukas, kau salah. Meski ya, Lukas menjadi salah satu dalam permasalahan kami. Yang sudah selesai saat aku meninggalkan rumah delapan tahun yang lalu.”Ada kelegaan di hati Lucius dengan kalimat terakhir Calia. Ya, sebaiknya memang seperti itu. Ia akan
“Ya, ada alasan aku kembali ke hidup Lucius. Salah satunya Lucius berhak tahu kebenaran. Dan … sepertinya kau tak harus tahu alasanku lainnya. Ini urusan pernikahan kami.” Jawaban penuh ketenangan Calia berhasil membekukan ekspresi Divya dan kalimat selanjutnya membuat sang adik ipar merapatkan rahang. “Karena aku tak pernah mempermasalahkan jatah bulananku sebagai istri Lucius yang kau gunakan untuk bersenang-senang.”Begitu pun dengan wajah Vania yang segera memucat. “B-bagaimana kau tahu, Calia?”Calia memutar kepalanya dengan penuh ketenangan. Menatap dalam kedua mata sang mama mertua dan tangannya bergerak mengeluarkan dompet kecil dari dalam tasnya. Meletakannya di meja dan mendorongnya ke hadapan Leana. “Ini dompetmu, bukan?” senyumnya seapik mungkin. “Lucius menemukannya di teras. Sepertinya kau menjatuhkannya ketika naik ke dalam mobil.”Leana tersedak lidahnya sendiri. Mengambil dompertnya dan memeriksa isinya. Ya, tentu saja Calia mengenali kartu tersebut. Meski bentuknya y
Sebelum berangkat ke pesta, Calia sudah yakin akan menemukan hal-hal semacam ini mengingat orang-orang masih sibuk bergosip tentang pertunangan Lucius dan Divya yang mendadak dibatalkan. Ia pun tak pernah mempedulikannya. Hanya saja, tak menyangka gosipnya akan menyebar luas melenceng jauh dari yang seharusnya.Dengan wajah yang merah padam dan kemarahan yang menyelimuti kedua matanya, Calia berjalan mendekati ketiga wanita tersebut yang masih membeku karena syok. “Jika kalian tak benar-benar tahu apa yang dibicarakan, sebaiknya diam.”“Sebaiknya aku tak mengingat wajah kalian. Aku takut lidahku akan tergelincir dan merengek pada suamiku untuk pembicaraan sampah ini lalu mencari tahu tentang siapa kalian.”Seketika wajah ketiga wanita itu memucat. Melihat tatapan tajam di mata Calia, ancaman wanita itu jelas tak main-main.Calia berbalik dan berjalan keluar. Berusaha menampilkan kepercayaan diri yang begitu tegas di wajahnya meski kegugupan memenuhi dadanya. Seperti Lucius yang akan m
Lucius mengerjap, tersadar oleh kekecewaan di kedua mata Calia yang membuatnya pegangannya melonggar dan tubuhnya mundur ke belakang.Calia menegakkan punggungnya. “Kita akan bicara di rumah,” ucapnya kemudian. Keduanya tak saling bicara sepanjang perjalanan. Ia sengaja memberi waktu bagi Lucius untuk menenangkan kecemburuan pria itu.“Apakah kita bisa bicara sekarang?” Lucius melempar jasnya dan menarik lepas dasi kupunya dari kerah, menyandarkan tubuh pada bagian belakang punggung sofa. Menatap lurus Calia yang baru saja meletakkan tas di meja rias. Wanita itu memberinya satu anggukan, melepaskan jam tangan, anting, kalung, dan hiasan rambut di meja. Kemudian berjalan menghampirinya. Bukan duduk di kursi tetapi berdiri di depannya. Menatap lurus kedua matanya dengan tatapan yang begitu menenangkan, yang dalam sekejap sudah meredupkan semua kecemburuan di dadanya. Tetapi ia tak akan memperlihatkan pengaruh sang istri yang begitu mudah begitu saja. Sebaiknya Calia memberinya penjelas