Emily dan Axel berdiri. Mata mereka membulat kaget. "Pria tua jelek, mau apa kamu kemari?!" Axel maju menghadang."Axel!" Emily maju menahan Axel agar tidak mendekat pada Sean."Maaf, Tuan presdir, ini bukan tempat Anda bermain bisnis. Jadi Anda salah alamat." Dayana maju dengan wajah memerah. Dia ingat apa yang Sean lakukan pada David.Sean kecewa dengan sambutan itu. Pria itu tidak pernah suka direndahkan, tapi mau bagaimana lagi. "Sudah aku bilang aku tidak akan menyerah begitu saja menawarkan pertemanan padamu Emily. Dan ... menjadi kawanmu, Axel. Bagaimana jika aku yang memanggangnya?" "Kamu kira kami butuh bantuanmu, Pria tua jahat? Mamaku sangat tidak membutuhkanmu!" bentak Axel.Dada Emily sudah bergemuruh, dia menatap wajah Sean lekat dengan kepalan tangan. "Dayana, jaga Axel." Lalu, dia mendekat pada Sean. "Bisakah kita bicara sebentar?"Sean senyum seolah mendapat sebuah celah. "Kita akan bicara di mana?""Ma, jangan dekat dengannya! Pria itu orang jahat," protes Axel."
"Jangan berlebihan menanggapi orang itu Axel. Dia bukan pria dewasa yang mudah dihadapi. Ingat, jika kamu itu masih anak kecil. Masih harus menjaga tata krama dan sopan santun di depan orang dewasa." Tangan Emily sudah dibaluri salep luka bakar. Dia ingin memberi pengertian, agar anaknya tidak terlalu larut pada sifat angkuh dan mengesampingkan sikap seorang anak yang seharusnya."Tapi dia tidak pantas dihormati, Ma. Apa aku salah jika melawan dan untuk melindungi Mamaku?" protes Axel."Bukan begitu caranya, Axel. Mama tidak suka sikapmu. Kesopanan itu penting dan ubah cara bicaramu!" Emily melihat Axel saat ini seperti melihat Sean saat berperilaku dingin dan sarkas dulu padanya. Dia tidak mau anaknya seperti itu."Aku tidak bisa berjanji soal itu, Ma. Aku tetap tidak menyukainya!" Axel kesal dan membuang muka."Jangan berdebat lagi, tante juga tidak menyukai pria itu. Dia telah mengacaukan semua hal sejak dia datang. Tapi, sosis dan daging ini sudah terlanjur matang. Kita harus men
Sayang sekali, Axel membelakangi laju mobil itu."Cepat, kali ini kita harus berhasil!"Seorang pria berlari cepat ke arah Axel. "Awas, Tuan muda!" seru Pria itu menarik Axel kuat.Axel kaget. Dia lantas membelalak saat melihat jika dirinya hampir tertabrak. Matanya melihat dan menghafal nomor plat mobilnya."Apa Anda baik-baik saja?" tanya pria itu."Makasih, Om. Aku baik-baik saja." Pandangan Axel masih pada laju mobil itu."Syukurlah, apa perlu kami antar ke restoran?"Axel kaget heran. Restoran? Dan ... panggilan tuan muda yang sempat dia dengar tadi. "Siapa Om sebenarnya? Kenapa tahu jika aku harus ke restoran?"Pria itu gusar. "Hanya asal bicara. Mobil yang menjemput sudah datang." "Om!" seru Axel pada pria yang berlari menghindar.Lalu, seorang pria keluar dan buru-buru mendekat. "Maaf, Tuan Axel. Saya terlambat. Jalanan sangat macet.""Kita pergi, Om." Axel masuk ke mobil.[Cari tau plat mobil ini. Jika terdeteksi, bisa jadi orang lalai. Jika tidak, maka mereka sengaja ingin
"Bagaimana kalau aku tidak mau berunding? Sepertinya kamu tidak suka, jika tunanganmu menemuiku. Harusnya kamu menahan tuan Sean, bukan malah menyerangku!" Emily tak mau lemah dan diperdaya Felisha lagi."Jika melihatmu saat ini, memang bukan Emily istri tunanganku yang mati. Lagi pula, bagaimana bisa mayat yang sudah menjadi abu hidup kembali? Impossible!""Sudah jelas seperti itu, tapi kenapa masih membuat masalah di sini? Sebaiknya kamu pergi dan temui tunanganmu. Kalau perlu, ikat dia kuat-kuat agar tidak datang kemari lagi!" kesal Dayana."Sayangnya aku lebih tertarik untuk menyingkirkanmu. Bagaimana, apa kamu sedih?" Felisha tersenyum sinis. Saat dia menatap Emily, pikirannya tetap seolah berhadapan dengan Emily istri Sean. Kebencian dan gemuruh di dadanya terus bergejolak.Dayana menyingsing dua lengan kemejanya dan hendak maju, tapi mendapat tatapan tajam Emily. "Dia sudah tidak waras, Emily. Tidak masuk akal. Kenapa dia melampiaskan semua kebenciannya padamu?!"Felisha menaikk
Restoran Emily mendadak sepi setelah aksi siaran langsung Felisha. "Tenang, Emily. Kita pasti bisa mengembalikan keadaan restoran seperti semula." Dayana dan Emily sedang duduk di kursi pelanggan. Tampak kosong tanpa pengunjung. Di beberapa sudut para pegawai restoran juga duduk karena tidak ada pekerjaan."Maafkan kami, Bu Emily, Bu Dayana. Karena keteledoran kami, restoran menjadi seperti ini," ucap kepala chef."Jangan berkata seperti itu. Artinya kalian mengakui kesalahan. Proses hukum akan berjalan, kita pasti akan mengembalikan nama baik restoran ini," jelas Emily."Dengarkan Bos kalian bilang apa! Anggap saja beberapa hari ini kita melemaskan otot," sahut Dayana."Tapi, bagaimana dengan bahan makanan di dapur, Bu?""Aku pikirkan nanti." Emily mencoba berlapang hati dengan semua kerugian ini.Bukan hanya sepi. Namun, ada beberapa orang yang sengaja datang hanya untuk menghujat dan memperdalam masalah.Seorang wanita datang dengan wajah marah. "Aku mau ketemu Bos restoran ini!
Orang yang berhati malaikat benar-benar akan dikelilingi malaikat penolong.Sebuah video yang sudah diracik oleh David sedemikian rupa telah beredar. Felisha mengeluarkan seekor kecoa mati dari sebuah toples yang diambil dari dalam tasnya. Sayang video itu tanpa suara, tapi tampak jelas jika yang ada di sana tertawa lepas saat melakukannya."Skakmat! Wanita rubah itu pasti sedang menangis darah sambil berguling di depan Sean." Danaya menghentak nafas dari mulut sambil berteriak kemenangan.Emily tersenyum lega. Dia sangat bahagia dengan semua itu, tapi ... terselip sebuah kesenduan. Sean! Nama yang disebut dalam hati dan dia harap datang bak pahlawan hanya menambah luka. Satu lagi sayatan kecewa tertoreh di sisi dinding hati Emily."Kenapa lagi, Ma. Apa masih kurang senang, sudah ada yang mengungkap semuanya. Apalagi yang membuat mama sedih? Katakan padaku!"Emily menunduk sambil menggeleng, satu tangannya mengusap kepala Axel. Wanita itu tersenyum dengan mata berkata. "Mama hanya te
Kondisi ayah Sean membaik. Kini, pria itu tenang untuk bergerak lebih luas.Di ruang kerja Sean. "Hubungi dokter itu! Kenapa sampai saat ini belum ada kabar? Bukankah hari ini hasil tes akan keluar?!" Sean memukul-mukul mejanya dengan menatap nyalang Dario.Dario cepat melakukan perintah Sean. Tidak lama ...."Dokter menyuruh saya datang, Tuan."Sean melebarkan mata. "Kenapa malah kamu? Aku yang punya urusan dengan hasil tes itu.""Maksudnya, saya akan mengantar Anda ke rumah sakit, sekarang."Sean cepat beranjak, dia melangkah lebar keluar ruangan. Pikirannya terus terpaku pada rasa harap jika Axel adalah anaknya.Lift terbuka. Sean cepat ingin masuk, tapi seorang wanita memakai kacamata hitam, masker dan topi langsung menghambur dan memeluknya."Sayang, kenapa kamu tidak menjemputku? Aku benar-benar frustasi dengan keadaan ini. Kenapa juga tidak menghubungiku?" Felisha datang. Dia berhasil mengecoh dan lolos dari wartawan."Bagaimana kamu bisa sampai sini?" Sean melepas dekapan Fel
"Tante!" Bagaimana jika pria itu berbuat jahat pada mamaku? Ke mana perginya? Antarkan aku ke sana sekarang juga!" teriak panik Axel."Sudah bilang tadi, percayalah pada om dan tante. Kendalikan dirimu!" David menatap memberi keyakinan dan mengangguk pada Axel.Axel menatap dua orang dewasa itu sambil mendesah dia menunduk. "Baiklah ... aku tidak yakin. Bilang pada om Erlan agar cepat kembali," lirihnya.Dayana sengaja memaksa Erlan dan Emily mencari udara malam. Dia tidak yakin keduanya akan mendapat waktu bicara, jika di rumah itu. Kini keduanya sedang ada di taman dekat rumah Emily."Benar di sini saja?" tanya Erlan. "Maaf Erlan, Dayana memang seperti itu. Kamu jadi harus keluar seperti ini." Emily duduk di kursi panjang. Pandangannya ke depan menatap kerlip lampu malam dengan tangan mendekap diri.Erlan menatap wajah Emily lekat. Lebih dari yang diceritakan David. Kini, dia jatuh cinta dalam pandangan pertama. Pria itu melepas jas-nya dan dipakaikan pada Emily. "Jangan sampai masu