"Sean!" Pertahanan hati Emily hampir saja roboh. David menarik Emily dan mengambil alih.Sean tidak berpura-pura. Dia mendengar Emily yang memanggil namanya dan mendekat padanya. Dia tersenyum sangat tipis sebelum menutup matanya.Dario datang membawa obat, tapi ... apa terlambat?***"Bagaimana keadaannya? Kenapa dia sangat bodoh!" Emily menangis dan menyalahkan diri sejak tadi."Tenang Emily, dia pasti baik-baik saja." Dayana tidak tahu harus bagaimana melihat kegusaran Emily dari tadi."Bagaimana kalau dia tidak baik-baik saja, Dayana? Aku benar-benar hampir mencelakainya. Kenapa dia nekat, dia benar-benar ... akh-" Emily menghempas tangannya ke udara, frustasi."David sudah ada di rumah sakit mewakilimu. Awas, kamu jangan berani berniat pergi ke sana. Ingat, ini hanya sebuah alergi biasa saja. Dia hanya pingsan atau pura-pura pingsan untuk mengambil simpatimu. Dan akan membaik tidak lama lagi. Ini tidak sebanding dengan dia yang ingin membunuhmu!" Dayana sangat kesal."Aku tidak t
"Carikan aku alasan untuk tidak datang ke pesta itu, Dayana!" Emily sudah memakai gaun maroon panjang tanpa lengan, wajahnya juga sudah dipoles natural, kaki jenjangnya ditopang heels, tapi wajahnya murung tak ada semangat."Singkirkan pria pecundang itu dari pikiranmu! Dia sudah merusak masa lalumu jangan sampai merusak masa depanmu, Emily. Aku akan sangat marah padamu, jika kamu terus memikirkannya." Dayana mendengkus malas."Baiklah, tapi aku tidak akan lama di pesta itu.""Hati-hati, di sana banyak pria tampan. Aku sangat berharap kamu pulang dengan wajah binar dan memilih salah satunya." David menyahut, pria itu sedang duduk di sofa bersama Axel."Jangan menyukai pria dewasa atau pria tua tanpa izinku, Mama!" seru Axel."Dasar, Bocah bawel! Kapan Mamamu akan merasakan kisah romansa kembali jika kamu terus cerewet?" Dayana mendecih."Benar, Mamaku harus bahagia, tapi kalau malah sedih? Memangnya Tante Dayana mau tanggung jawab ganti nangisnya? Dasar Tante bawel!" Axel menajamkan m
"Tolo-""Sean!" Felisha mengepal tangan kuat, dia tidak menyangka jika Sean akan meresponsif. "Apa benar dia Emily yang sudah pernah aku singkirkan. Kenapa dia sangat berbeda? Aku tidak bisa diam saja!"Emily mencoba mengayuh kaki, tapi salah satu kakinya terkilir saat terjatuh. Sedang dua pria kini berlomba untuk meraih Emily. Jarak mereka hanya berselang sangat pendek. Sean mengayuh sangat kuat hingga keduanya hampir bersamaan tiba di sisi Emily."Emily!" Sean meraih tangan Emily. Berhasil dan saat hendak ditarik ke pelukannya, Emily menolak."David." Emily meraih David, nafasnya tersengal, dia langsung merangkulkan tangan di leher David. Sean mengerat rahang, dia memukul kuat genangan air. Nyeri ... apalagi melihat pemandangan itu, dada Sean hendak meledak."Kamu baik-baik saja?" David langsung membawanya ke pinggir."Bawa aku pergi, Vid." Emily menggigil.David memakaikan jas-nya pada Emily. Lalu, mengangkat ala bridal style, membawa pergi.Sean sudah naik, nafasnya menderu karen
"Kamu ... siapa kamu, ada perlu apa datang kemari?" Emily tersenyum ramah. Dia bertindak mengikuti kata hati. Meski hati bergejolak. Sakit bahkan sangat nyeri melihat wanita di depannya itu.Felisha menarik kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Matanya memicing sinis dengan senyum miring penuh keraguan. Dia melihat Emily dari ujung hingga ujung."Jangan bercanda padaku, apa tujuanmu muncul di depan Sean kembali? Apa kamu ingin merusak hubungan kami? Ingat, dulu ... kamulah yang jadi orang ketiga dan membuat kami tidak bisa bersatu. Sekarang kami sudah bertunangan, apa kamu masih ingin menjadi duri?!"Emily tersenyum. "Silahkan duduk, aku akan buatkan teh. Sepertinya ada salah paham di sini. Aku sungguh tidak paham perkataanmu." Dia menunjuk kursi teras dan tidak akan menyuruh mempersilahkan masuk wanita itu.Dahi Felisha berkerut. Apa dia salah sangka dan bukan Emily? Felisha semakin bingung.Emily cepat masuk ke dalam. Dia bersandar pada tembok dengan menekan dadanya.
"Pindah, kemana?" ragu Emily."Akan menjadi sulit bahkan bisa memberi jawaban pada Sean secara tidak langsung. Jika kabur dia akan berpikir Emily adalah istrinya," jelas David."Benar kata David. Aku sudah bilang jika tidak kenal dan amnesia. Jadi tidak boleh menghindar. Dia terlalu pintar untuk permainan seperti ini, tapi sangat bodoh bisa jatuh pada Felisha," kesal Emily."Baiklah. Asalkan jika Felisha datang lagi, kamu harus langsung menghubungiku saat aku tidak bersamamu. Felisha itu lawanku, aku pengen jambak dia sampai rontok. Siapa suruh dia menyakiti temanku, aku hempas dia ke laut!" Dayana menggebu.Emily tertawa kecil. "Aku yakin dia akan menyerah padamu, Dayana ""Sabar, Sayang. Jangan garang-garang." David terkekeh sambil mengusap kepala Dayana."Aku mendengar kata mau pindah. Siapa yang mau pindah? Jika itu aku, big no! Aku malas beradaptasi. Sangat menyita waktu!" Axel keluar dengan balutan baju kasual."Tidak ada yang akan pindah, Sayang. Jangan khawatir. Kalau kita pin
"Sean?" Emily mendongak menatap pria itu. Aroma maskulin masih sama, parfum yang dulu dia pilihkan."Ma, kenapa ada pria tua di sini?!" Axel sangat kesal, tapi dia tidak mungkin meloncat, karena sudah diangkat tinggi oleh Sean."Tunda marahmu jika mau menang! Nanti kamu bisa membayar om." Hati Sean sangat tidak mau menyebut om dalam hubungan itu.Emily mundur dan terdiam. Matanya berkaca. Andai ... andai saja sikap Sean tulus dan bukan kebohongan. "Apa maksudnya kali ini? Apa dia belum puas membuat hatiku menderita? Dia ingin memberi harapan pada Axel lalu menyakiti hatinya, seperti yang dia lakukan padaku dulu? Tidak bisa!"Sean melepas jas-nya dan melempar pada Emily. Dan Emily hanya bisa mengikuti alur saat ini. Dia mendekap erat jas itu."Ayo, Axel! Jaga keseimbangan. Angkat embermu agak ke atas!" Sean berteriak kencang.Axel berlari sesuai arahan Sean. Dia langsung diangkat Sean untuk menuang air. Dua pria itu sangat kompak hingga permainan berakhir dan Axel mendapat kemenangan.
"Aku tahu, dia tunangan pria tua itu. Wanita yang sudah membuat mamaku menangis!" Axel masih menatap laju langkah Felisha."Pria tua? Kurasa Sean Geraldo masih cukup tampan.""Bagiku dia sudah tua, jelek, bodoh dan pengecut!"David menaikkan dua bahunya. "Apa rencanamu, Axel?""Bermain dengan wanita itu dan om harus membantuku.""Dengan senang hati, Pintar."Axel menebar pandangan mencari toko mainan. "Aku akan mencari senjata sebentar dan Om tetap awasi wanita itu!"David mengeluarkan dompetnya dan memberi Axel sebuah kartu. "Sepertinya kamu membutuhkan ini, Kawan.""Makasih Om, kamu memang yang terbaik." Axel langsung berlari masuk pada gerai mainan.Selang berapa saat, Axel sudah kembali membawa sebuah kantong berisi kelereng. Dia langsung mencari keberadaan David."Di mana dia sekarang, Om?""Mereka ada di gerai tas, apa yang kamu bawa?""Hanya kelereng yang ada di pikiranku. Kita bagi tugas." Axel menjelaskan rencananya yang membuat David menggeleng dengan senyuman."Tugasku sang
Emily dan Axel berdiri. Mata mereka membulat kaget. "Pria tua jelek, mau apa kamu kemari?!" Axel maju menghadang."Axel!" Emily maju menahan Axel agar tidak mendekat pada Sean."Maaf, Tuan presdir, ini bukan tempat Anda bermain bisnis. Jadi Anda salah alamat." Dayana maju dengan wajah memerah. Dia ingat apa yang Sean lakukan pada David.Sean kecewa dengan sambutan itu. Pria itu tidak pernah suka direndahkan, tapi mau bagaimana lagi. "Sudah aku bilang aku tidak akan menyerah begitu saja menawarkan pertemanan padamu Emily. Dan ... menjadi kawanmu, Axel. Bagaimana jika aku yang memanggangnya?" "Kamu kira kami butuh bantuanmu, Pria tua jahat? Mamaku sangat tidak membutuhkanmu!" bentak Axel.Dada Emily sudah bergemuruh, dia menatap wajah Sean lekat dengan kepalan tangan. "Dayana, jaga Axel." Lalu, dia mendekat pada Sean. "Bisakah kita bicara sebentar?"Sean senyum seolah mendapat sebuah celah. "Kita akan bicara di mana?""Ma, jangan dekat dengannya! Pria itu orang jahat," protes Axel."