"Ya ampun, Zahra, apa kabar?" Hani terkejut, karena begitu tiba di rumah kontrakan, ada Zahra di sana sambil berbincang dengan Mbak Nunuk. Sama-sama penghuni lama seperti dirinya. "Kamu dari mana, Han? Untung aku belum pulang." Zahra memeluk Hani, lalu cipika-cipiki. Hani pun menyalami Mbak Nunuk yang tersenyum dengan kepulangannya. "Ke rumah kakaknya. Jadikan, Han?" Mbak Nunuk memang mengetahui ke mana ia pamit pergi kemarin, karena setelah Zahra pindah, hanya Mbak Nunuk penghuni lama yang sangat dekat dengannya. "Jadi, Mbak." Hani tersenyum senang. "Ya ampun, kamu sudah bertemu kakak kamu? Alhamdulillah, Hani." Zahra tersenyum begitu lebar. Setelah sekian tahun ia membujuk Hani agar mau menemui keluarganya, akhirnya Hani mau juga. Tidak apa terlambat, asalkan ia tetap bertemu dan bersilaturahim dengan keluarga. "Ya sudah, kalian lanjut ngobrol ya. Mbak mau siap-siap berangkat ke pabrik. " Nunuk bangun dari duduknya. "Iya, Mbak, makasih udah temani saya." Zahra tersenyum sangat
Tiga hari berlalu, setiap malam, di waktu sepertiga malam, pemuda itu meminta petunjuk pada Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pembolak-balik Hati untuk memberikan sebuah nama yang akan menjadi tulang rusuknya. Syamil sengaja berpuasa untuk membulatka tekadnya berumah tangga. Kekhawatiran perihal satu nama yang sampai saat ini membuatnya penasaran, terpaksa ia tepis. Pemuda itu meminta, jika memang bukan jodohnya, maka jauhkan dan jangan biarkan mereka bertemu. Satu nama itu adalah Hani. Ia tidak boleh mencondongkan nafsu dalam memilih jodoh, apalagi wanita itu tidak ada di depannya. Bismillah, satu nama itu sudah ia tentukan. Selesai salat dhuha, Syamil keluar dari kamarnya. Suara tawa dan canda terdengar dari halaman belakang. Siapa lagi kalau bukan tetehnya dan juga Mbak Nela yang sangat besti. Sungguh aneh, anak istri pertama, begitu akur dengan istri kedua ayahnya. Sampai saat ini, otak cerdas Syamil tidak dapat memikirkan bagaimana bisa seorang lelaki melakukan poligami? "Kenapa,
"Loh, kenapa udah pulang? Belanjaannya mana?" tanya Mbak Nunuk saat melihat Hani baru saja masuk ke dalam rumah dengan ekspresi letih. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu memperhatikan Hani dari atas sampai bawah. Hani memilih langsung duduk di kursi ruang tamu sambil mengatur napas yang masih sedikit sesak. "Mbak, saya gak jadi belanja. S-saya bertemu Grace," jawab Hani dengan suara putus-putus. Nunuk bergegas ke dapur, lalu kembali lagi ke ruang tamu sambil membawa segelas air putih. "Tenang, ini minum dulu!" Hani menerima gelas itu dan langsung meneguk airnya hingga tandas. "Grace istri pertama dosen kamu?" tanya Nunuk meyakinkan. Hani mengangguk. "Kenapa kabur? Harusnya kamu cuek saja dan kalau bisa, kamu tantang. Kamu yang dulu polos, sudah tidak ada lagi. Sekarang kamu wanita kuat yang bisa mengeluarkan pendapat kamu. Kalau kamu lari, maka Grace akan semakin curiga ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Hani menatap kakak kos yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri. Hany
"Masih kecil udah mau poligami, gak akan mungkin. Abang lihat sendirikan, betapa Syamil awalnya sangat menolak abah yang mau poligami sama Nela. Kalau menurut saya, sudah jalannya memang Syamil tidak berjodoh dengan Hani. Terlalu banyak PR. Abang sendiri bilang begitu kan?" Didin tidak menyahuti ucapan istrinya. Pria dewasa itu hanya mengangguk membenarkan ucapan Laila. Temboknya sangat tinggi, terutama Hani yang janda. Meskipun gadis itu masih muda, beda dua tahun saja dari Syamil. Hari ini, hari sabtu, Syamil beserta keluarga inti, dan juga pejabat lingkungan setempat, berangkat dengan mobil, menuju kediaman calon istri Syamil. Ada banyak barang yang dibawa oleh Bu Umi sebagai oleh-oleh untuk calon mantu. Profil di kertas biodata itu sudah dibaca oleh Bu Umi dan beliau sangat senang, karena cocok dengan kriteria beliau. Syamil harus mendapatkan istri yang bisa diajak berjuang bersama, bukan yang sudah mapan dengan harta melimpah. Putranya sendiri nanti yang kesusahan. "Jadi, kalau
Merasa hatinya terus tidak tenang, maka Hani memutuskan untuk berkunjung ke rumah Hadi. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada kakak, ponakan, ataupun kakak iparnya. Ia baru saja mendapatkan sebuah keluarga utuh seperti kebanyakan orang di luar sana, sehingga ia tidak mau sampai ada hal buruk terjadi pada keluarganya. Ratih tengah memasak kolak pisang, saat ia mendengar suara pagar dibuka. Lekas wanita itu mematikan kompor, lalu berjalan ke depan untuk melihat siapa tamunya. "Assalamu'alaikum, Teh. ""Wa'alaykumussalam, Hani. Ya Allah, Teteh kirain siapa. Ayo, sini masuk! Teteh baru aja bikin kolak pisang, sebentar lagi matang. Ayo, duduk dulu!" Ratih begitu senang dengan kedatangan iparnya. Hani tidak langsung duduk, melainkan berjalan ke dapur menghampiri Ratih. "Teteh sehat kan?" tanya Hani tiba-tiba. Ratih yang tengah mengaduk kembali pancinya, nenoleh ke belakang sebentar, sambil mengangguk. "Teteh sehat, Hani. Pokoknya kalau masih tanggal satu sampai tanggal lima belas
Hani pulang ke kontrakan dengan hati senang dan juga tenang. Apalagi di tangannya membawa rantang berisi kue dan juga kolak pisang. Ratih juga membawakan beras dua kilo setengah untuk adik iparnya itu. Hani sampai meneteskan air mata karena terharu memiliki kakak ipar yang sangat baik, peduli, dan juga tidak pelit padanya. Padahal, ia sendiri belum pernah membawakan makanan mewah, hanya buah dan kue yang pernah ia bawakan untuk ipar dan keponakannya. Semua makanan ia salin ke dalam wadah. Hani bahkan menikmati sekali lagi kolak pisang buatan kakak iparnya karena rasanya memang sangatlah enak. Kontrakan sepi, ia pun libur berjualan hari ini. Tenaganya masih ingin ia salurkan. Maka, ia memutuskan untuk pergi mengunjungi pesantren tempat ia menitipkan Syam. Ia mandi dan berganti pakaian. Gamis hitam, dengan niqob dengan warna yang sama, sengaja ia pakai agar tidak ada yang mengenalinya. Gamis hitam, lengkap dengan cadar itu adalah pemberian Zahra, sebelum ia pindah kembali ke rumah ora
Hani berjalan lebih cepat sambil menundukkan pandangan. Ia tidak cukup berani mengangkat wajahnya, meskipun saat ini ia memakai niqob-nya. Ia tidak mau sosoknya dikenali oleh penghuni pesantren yang lain karena tujuan utamanya adalah untuk melihat keadaan putranya. Namun, ia sama sekali tidak dapat menemui Syam. Entah di mana putranya itu berada. Hani berjanji di dalam hatinya akan kembali lagi untuk mencari Syam. Pemuda bernama Syamil yang masih berada di dalam mobil, terus memperhatikan wanita bercadar tengah berjalan menuju gerbang keluar pesantren. Posisi mereka jauh, sehingga Syamil tidak dapat melihat dengan jelas, wanita itu. Hani sudah terlanjur naik ke atas motor ojek online, saat Syamil turun dari mobil. Pemuda itu masih memperhatikan tamu wanita bercadar tersebut. "Lihat apa, Sya?" tanya Laila pada adiknya. "Itu, Teh, cewek bercadar yang baru keluar dari pesantren. Kayak kenal, tapi lupa." "Kamu mah, gak bisa lihat cewek pakai gamis hitam, langsung saja bawaannya kena
"Zahra, temen kampus kamu kan banyak, masa gak ada yang bisa kamu kenalin ke Mas Raka?" tanya seorang lelaki muda tampan yang baru saja ikut duduk di sofa ruang TV. Ia adalah Raka, kakak dari Zahra yang bekerja di salah satu TV swasta nasional."Udah pada nikah juga, Mas, he he he ... lagian kerjanya pada mencar. Ada yang pulang kampung. Lost contact gitu deh. Emangnya artis TV gak ada yang mau sama Mas Raka?" Zahra menertawakan kakaknya. Begitu banyak kru TV, tetapi sampai saat ini kakaknya betah menjomlo."Yah, payah kamu. Masa kamu mau nikah, Mas belom juga punya pacar." Raka cemberut. Zahra diam sejenak sambil memikirkan sesuatu."Ada teman baik Zahra saat di kosan, Mas, tapi ... ""Tapi apa?" Raka tak sabar menunggu lanjutan perkataan Zahra."Terlalu cantik? Terlalu kaya?" Zahra memutar bola mata malasnya."Bukan, Mas. Kalau cantik, bisa Zahra pastikan memang cantik, tetapi teman Zahra itu janda, Mas. Mas emangnya mau sama janda?""Jangan-jangan teman dekat kamu yang namanya Hani