Uhuk! Uhuk! "Maaf, Pak, sepertinya... uhuk! Bapak salah orang." Hani pura-pura batuk. Ia tidak begitu pasti dengan ingatannya tentang wajah pria paruh baya di dekatnya ini. "Ah, iya, mungkin saya salah. Soalnya yang mirip kamu dari pakaian saja sudah beda. Selamat bergabung di RT lima ya. Sesama warga harus saling tolong-menolong. Mari, saya permisi." Abah Haji pun pergi dari rumah Pak RT. Sepeninggal beliau, Hani merasa tidak karuan pada hatinya. Jika Syamil yang disebutkan adalah Syamil yang sama dengan yang ia kenal di Bandung, maka Syamil akan menikah dan sialnya, ia malah bertetangga lagi dengan Syamil. Berarti putranya.... "Mbak, silakan saya mau lihat KTP-nya!" Tegur Pak RT membutarkan lamunan Hani. "Ah, i-iya, Pak." Dengan tangan gemetar, Hani mengeluarkan foto kopi KTP berikut KTP asli dari dalam dompet. Ia mengulurkannya pada Pak RT. "Mbak baik-baik saja?" tanya pria dewasa itu bingung melihat Hani yang gemetaran. "I-iya, Pak, saya baik-baik saja. Mungkin ini karena ba
Saya senang kalau kalian makin penasaran :)Selamat membaca "Bang, sejak awal Abah nikah sama Teh Nela saja saya udah gak setuju'kan? Tapi apalah saya yang hanya anak kecil, gak ngerti urusan orang dewasa. Lagian saat itu, saya masih dibikin rempong sama emak-emak kurang kasih sayang, ha ha ha ...." Syamil terbahak. Jika mengingat saat ia masih bersama Hani, rasanya sangat lucu dan satu-satunya wanita yang pernah menciumnya adalah Hani. Dicium pipinya saja, ia sampai sakit thypes, bagaimana kalau cium yang lain?Astaghfirulloh, Sya!"Duh, kalau lagi inget Hani, ampe lupa ada orang tua tampan di depan mata," sindir Didin sambil mencebik."Ngapah harus pakai kata tampan lagi setelah kata tua? Apa gak cukup dibilang tampan sama Teh Laila? Butuh pengakuan dari yang lain juga?" Syamil begitu puas setelH meledek Didin. Keduanya tertawa hingga suara tawanya terdengar sampai ke luar. "Berarti kamu gak mau poligami?" tanya Didin lagi."Ya ampun, yang ini aja belom dimulai, udah nanya poligam
"Eh, udah balik lagi aja. Emangnya gak jadi olah raga? Sayan kirain bakalan nyampe Gelora Bung Karno, " tanya Ibnu di depan pagar pesantren sambil tertawa geli. "Dih, emangnya kita atlet?" Laila mencebik. Ibnu kembali tertawa setelah mendengar komentar Laila yang masih terus menarik suaminya. Pasangan beda usia cukup jauh itu memang sering menjadi pusat perhatian, baik di kalangan tetangga, maupun warga pesantren. Banyak yang mengira, bahwa Laila adalah anak dari Didin, karena tubuhnya yang berubah mungil setelah melahirkan. Wajah Laila yang juga baby face, banyak mengecoh orang yang tidak begitu mengenalnya. "Gak jadi, bahaya kalau olah raga di lingkungan yang banyak jandanya," jawab Laila yang sudah menarik suaminya untuk segera masuk. Didin hanya bisa pasrah, ternyata seperti ini istrinya kalau lagi cemburu. "Banyak janda? Sebelah mana, Mbak? Kasih tahu dong! Woy, Mbak!" Teriak Ibnu penasaran. Ia menutup pagar dengan cepat, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menerka-nerka
"Assalamu'alaikum, Bu."Hani menutup mulutnya saat suara Syamil terdengar semakin jelas di telinganya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin ia membuka pintu'kan? "Bu, assalamu'alaikum. Ada orang gak ya," gumam Syamil sambil mengetuk pintu rumah tetangganya. Hani menutup mulutnya dengan kepala baju kaus yang ia kenakan. "Wa'alaykumussalam, ada apa, Mas? Saya baru aja mandi loh, masih pake sabun ini, ada apa? Kalau mau kasih berkat, taro di depan pintu aja!" Syamil melotot saat mendengar jawaban tetangganya. "Oh, iya, Bu, maaf. Saya taruh di depan pintu ya. Selametan saya Bu.""Saya gak nanya, Mas. Tapi makasih ya! Ayamnya keras gak tuh?" Syamil menggaruk rambutnya sambil tertawa. Syamil kemudian melangkah pergi untuk berkeliling mengantar nasi kotak ke para tetangga. Baru saja ada pengajian terakhir sebelum acara pernikahannya, untuk itu kedua orang tuanya bersedekah nasi kotak. Semua warga sekitar pesantren kebagian. Ada lima ratus box yang Syamil dan santri, juga saudaranya y
"Mas Ibnu yakin?" Syamil meminta tukang pijat untuk berhenti dengan kode tangan. Pemuda itu banget duduk untuk menatap Ibnu yang juga tengah menatap bingung pada calon pengantin. "Iya, namanya Hani. Janda anak satu. Pindah kayaknya hari rabu kemarin deh." Syamil berdiri dan langsung menyambar ponsel yang ada di atas meja. Ia membuka galeri untuk mencari foto Hani yang pernah dikirimkan Hadi padanya. Foto saat Hani sudah memakai hijab. "Ini bukan?" tanya Syamil memastikan. "Gak tahu, Sya. Ga pernah keluar rumah dan saya gak pernah lihat, gak tahu kalau Pak Nurdin yang selalu jaga di depan." Syamil mendesah kecewa. Saat Ibnu menggeleng tidak kenal. "Ya sudah, makasih, Mas Ibnu." Ibnu pun keluar dari kamar Syamil. Pemuda itu pun segera memakai kembali baju kausnya. "Kek, udah selesai aja pijatnya ya. Saya ada urusan sebentar. Makasih banyak, Kek." Syamil mengepalkan uang seratus lima puluh ribu pada kakek tukang urut yang tiga hari ini rutin mengurutnya."Sama-sama Syamil. Semoga la
"Oke, saya bantu kamu cari kunci! Tapi tidak lama-lama, Sya." Syamil bernapas lega. Ia mengangguk semangat begitu Didin setuju untuk membantunya. Dua pria beda usia itu pun sibuk mencari kunci rumah hingga satu jam lamanya. Semua tempat dibongkar, tetapi mereka tidak menemukan benda itu. Syamil semakin panik karena sudah sangat malam dan tidak mungkin jam dua belas lewat dia pergi ke rumah Hani. "Gak ada, Sya," ujar Didin menggeleng pasrah. "Iya, Bang, entah di mana kunci rumah. Biasanya juga nyangkut di lubang kunci." Syamil mendesah kecewa, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah dan tidak mungkin juga ia membuat keributan dengan mendobrak pintu rumah. "Tidurlah, besok kamu pasti akan sangat lelah. Besok, saat kamu solat subuh, kamu bisa pergi ke rumah Hani." Didin berjalan masuk ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Syamil pun melakukan hal yang sama ia masuk ke kamar dengan perasaan amat gamang. Padahal hanya lima langkah, tetapi ia tidak bisa menemui Hani. Kenapa h
Syamil bagaikan tengah melihat setan, begitu Hani mengantar Zahra semakin dekat dengannya. Jantungnya saja berdetak lebih cepat dari laju kereta api. Jika saja ia belum sarapan, pasti saat ini ia pingsan. "Bang." Zahra menegur Syamil yang fokusnya bukan pada dirinya yang ada persis di depan matanya, melainkan sorot bola mata itu mengarah ke belakang tubuh istrinya. Syamil tersentak. Kemudian ia mengucap istighfar dalam hati sebanyak-banyaknya. Dengan malu-malu, Zahra mengulurkan tangannya untuk suaminya. Syamil menyambut tangan itu dengan gematar. Bukan karena sekarang statusnya berubah, tetapi karena ada Hani dalam acara pernikahannya. "Silakan, pengantin pria membawa pengantin wanita kembali duduk di kursi akad untuk menandatangani dokumen pernikahan," ujar MC yang memimpin acara pernikahan yang Zahra percayakan pada EO. Zahra menggandeng lengan suaminya saat mereka berjalan menuju kursi pengantin. "Mas Syamil, benar ini pengantinnya?" tanya penghulu setengah baya itu menggoda S
Acara sesi foto paling menegangkan dalam hidup Hani, akhirnya berakhir juga. Semua para bridesmaid dan bridesman berbaris antre mengucapkan selamat pada Syamil dan juga Zahra. Hani memilih berbaris paling belakang, agar ia bisa mengatur detak jantung dan stok oksigen yang ia rasa saat ini begitu kurang banyak. "Selamat ya," kata itulah bisa ia ucapkan pada Syamil. "Terima kasih, Mbak. Akhirnya saya ketemu Mbak juga. Semoga Mbak juga bisa bahagia ya." Syamil menyadari saat ini ia adalah suami orang dan tidak boleh main hati. Apalagi Hani sudah bersama dengan kakaknya Zahra. Hani hanya menanggapinya hanya dengan anggukan. Begitu canggung karena ia pun sebenarnya tidak menyangka harus bertemu Syamil disaat memang sudah tidak ada celah lagi untuk mereka bisa dekat. "Selamat, Zahra. Semoga bahagia ya, Sayang." Sekali lagi Hani memeluk Zahra dengan tulus. Suami istri yang ia sayangi karena kebaikan mereka. "Terima kasih, Hani." Zahra menjawab dengan kalimat sama tulusnya. Hani pun turu