"Assalamu'alaikum, Bu."Hani menutup mulutnya saat suara Syamil terdengar semakin jelas di telinganya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin ia membuka pintu'kan? "Bu, assalamu'alaikum. Ada orang gak ya," gumam Syamil sambil mengetuk pintu rumah tetangganya. Hani menutup mulutnya dengan kepala baju kaus yang ia kenakan. "Wa'alaykumussalam, ada apa, Mas? Saya baru aja mandi loh, masih pake sabun ini, ada apa? Kalau mau kasih berkat, taro di depan pintu aja!" Syamil melotot saat mendengar jawaban tetangganya. "Oh, iya, Bu, maaf. Saya taruh di depan pintu ya. Selametan saya Bu.""Saya gak nanya, Mas. Tapi makasih ya! Ayamnya keras gak tuh?" Syamil menggaruk rambutnya sambil tertawa. Syamil kemudian melangkah pergi untuk berkeliling mengantar nasi kotak ke para tetangga. Baru saja ada pengajian terakhir sebelum acara pernikahannya, untuk itu kedua orang tuanya bersedekah nasi kotak. Semua warga sekitar pesantren kebagian. Ada lima ratus box yang Syamil dan santri, juga saudaranya y
"Mas Ibnu yakin?" Syamil meminta tukang pijat untuk berhenti dengan kode tangan. Pemuda itu banget duduk untuk menatap Ibnu yang juga tengah menatap bingung pada calon pengantin. "Iya, namanya Hani. Janda anak satu. Pindah kayaknya hari rabu kemarin deh." Syamil berdiri dan langsung menyambar ponsel yang ada di atas meja. Ia membuka galeri untuk mencari foto Hani yang pernah dikirimkan Hadi padanya. Foto saat Hani sudah memakai hijab. "Ini bukan?" tanya Syamil memastikan. "Gak tahu, Sya. Ga pernah keluar rumah dan saya gak pernah lihat, gak tahu kalau Pak Nurdin yang selalu jaga di depan." Syamil mendesah kecewa. Saat Ibnu menggeleng tidak kenal. "Ya sudah, makasih, Mas Ibnu." Ibnu pun keluar dari kamar Syamil. Pemuda itu pun segera memakai kembali baju kausnya. "Kek, udah selesai aja pijatnya ya. Saya ada urusan sebentar. Makasih banyak, Kek." Syamil mengepalkan uang seratus lima puluh ribu pada kakek tukang urut yang tiga hari ini rutin mengurutnya."Sama-sama Syamil. Semoga la
"Oke, saya bantu kamu cari kunci! Tapi tidak lama-lama, Sya." Syamil bernapas lega. Ia mengangguk semangat begitu Didin setuju untuk membantunya. Dua pria beda usia itu pun sibuk mencari kunci rumah hingga satu jam lamanya. Semua tempat dibongkar, tetapi mereka tidak menemukan benda itu. Syamil semakin panik karena sudah sangat malam dan tidak mungkin jam dua belas lewat dia pergi ke rumah Hani. "Gak ada, Sya," ujar Didin menggeleng pasrah. "Iya, Bang, entah di mana kunci rumah. Biasanya juga nyangkut di lubang kunci." Syamil mendesah kecewa, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah dan tidak mungkin juga ia membuat keributan dengan mendobrak pintu rumah. "Tidurlah, besok kamu pasti akan sangat lelah. Besok, saat kamu solat subuh, kamu bisa pergi ke rumah Hani." Didin berjalan masuk ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Syamil pun melakukan hal yang sama ia masuk ke kamar dengan perasaan amat gamang. Padahal hanya lima langkah, tetapi ia tidak bisa menemui Hani. Kenapa h
Syamil bagaikan tengah melihat setan, begitu Hani mengantar Zahra semakin dekat dengannya. Jantungnya saja berdetak lebih cepat dari laju kereta api. Jika saja ia belum sarapan, pasti saat ini ia pingsan. "Bang." Zahra menegur Syamil yang fokusnya bukan pada dirinya yang ada persis di depan matanya, melainkan sorot bola mata itu mengarah ke belakang tubuh istrinya. Syamil tersentak. Kemudian ia mengucap istighfar dalam hati sebanyak-banyaknya. Dengan malu-malu, Zahra mengulurkan tangannya untuk suaminya. Syamil menyambut tangan itu dengan gematar. Bukan karena sekarang statusnya berubah, tetapi karena ada Hani dalam acara pernikahannya. "Silakan, pengantin pria membawa pengantin wanita kembali duduk di kursi akad untuk menandatangani dokumen pernikahan," ujar MC yang memimpin acara pernikahan yang Zahra percayakan pada EO. Zahra menggandeng lengan suaminya saat mereka berjalan menuju kursi pengantin. "Mas Syamil, benar ini pengantinnya?" tanya penghulu setengah baya itu menggoda S
Acara sesi foto paling menegangkan dalam hidup Hani, akhirnya berakhir juga. Semua para bridesmaid dan bridesman berbaris antre mengucapkan selamat pada Syamil dan juga Zahra. Hani memilih berbaris paling belakang, agar ia bisa mengatur detak jantung dan stok oksigen yang ia rasa saat ini begitu kurang banyak. "Selamat ya," kata itulah bisa ia ucapkan pada Syamil. "Terima kasih, Mbak. Akhirnya saya ketemu Mbak juga. Semoga Mbak juga bisa bahagia ya." Syamil menyadari saat ini ia adalah suami orang dan tidak boleh main hati. Apalagi Hani sudah bersama dengan kakaknya Zahra. Hani hanya menanggapinya hanya dengan anggukan. Begitu canggung karena ia pun sebenarnya tidak menyangka harus bertemu Syamil disaat memang sudah tidak ada celah lagi untuk mereka bisa dekat. "Selamat, Zahra. Semoga bahagia ya, Sayang." Sekali lagi Hani memeluk Zahra dengan tulus. Suami istri yang ia sayangi karena kebaikan mereka. "Terima kasih, Hani." Zahra menjawab dengan kalimat sama tulusnya. Hani pun turu
Setengah jam sebelum pengantin meninggalkan gedung acara. "Cari siapa, Mas?" tanya Zahra yang duduk di lingkaran meja VIP untuk menyantap makan siangnya sebelum mereka pulang. Tersisa keluarga inti, para bridesmaid yang juga sedang makan, dan juga beberapa tamu yang terlambat datang, tetapi untungnya hidangan masih ada, sehingga semua orang masih dapat menikmati makan siang walau tidak bisa terlalu santai. "Mas gak lihat Hani." Raka celingak-celinguk mencari sosok Hani di lingkaran meja khusus bridesmaid yang sedang makan. "Iya, Mas, selesai foto saya juga gak lihat lagi. Mungkin Hani pulang duluan. Ada pesenan online mungkin." Raka mengangguk paham. Syamil yang sedang makan di samping Zahra hanya mendengarkan saja percakapan kakak dan adik itu. "Ya sudah, kalian lanjutkan makan, habis acara kamu, Mas mungkin mau main ke rumah Hani." Raka bangun dari duduknya. Syamil menoleh pada Raka, menatap pria yang usianya lebih dewasa darinya itu, yang saat ini tengah dekat dengan Hani. Tam
Zahra sudah kembali memakai bajunya. Begitu juga Syamil yang bahkan memutuskan untuk mandi hadas besar, meskipun urusannya belum selesai. Begitu Syamil keluar dari kamar mandi, Zahra sudah berhenti menangis, tetapi sisa sesegukannya masih ada. "Mandilah, kita bicara lagi nanti!" Pinta Syamil. Zahra turun dari tempat tidur perlahan. Wanita itu memejamkan mata, saat menahan pedih karena sisa percintaannya dengan suaminya tadi. Syamil melihat Zahra yang kepayahan, memutuskan untuk membantunya ke kamar mandi. "Maafkan saya," kata Zahra lagi sebelum menutup pintu kamar mandi. Syamil mengambil air di dalam gelas yang sudah sengaja ia siapkan untuk pertempuran bersama Zahra. Ada juga aneka kue yang memang dipisahkan sedikit oleh ummi-nya saat resepsi tadi. Semua amunisi untuk berjuang sudah lengkap, tetapi ia harus putar balik karena lawannya mengangkat bendera putih. Syamil tersenyum miris. Ia menoleh ke atas ranjang, ada bekas noda merah pekat di seprei. Itu tandanya ia berhasil memeraw
Mendengar suara Syamil yang sedikit tinggi, membuat nyali Zahra menciut. Wanita itu menunduk takut, sedangkan Syamil berjalan mondar-mandir di dalam kamar, merasa bingung akan situasi rumah tangga yang masih dalam hitungan hari, tetapi sudah seperti benang kusut. "Astaghfirullah, Zahra. Sudah, sekarang kamu keluar, kita sarapan atau kamu mau ngapain sama ummi atau Teh Laila terserah deh." Syamil keluar dari kamarnya sambil membawa ponsel Zahra. "Bang, ponsel saya! Kembalikan ponsel saya!" Teriak Zahra, hingga membuat Syamil kembali menarik napas dalam, lalu mengebuskannya pelan. Teriakan Zahra pasti mengundang tanya anggota keluarganya di bawah sana yang sudah pada bangun semua. "Zahra, suara kamu bisa lebih pelan? Di rumah ini tidak ada yang berteriak dan di rumah ini sedang banyak orang, Zah. Jangan bikin semua keluarga saya curiga dengan apa yang terjadi pada kita. Saya mohon!" Mengalah adalah hal yang harus ia lakukan demi kebaikan kesehatan ummi dan juga menjaga nama baik aba