Mendengar suara Syamil yang sedikit tinggi, membuat nyali Zahra menciut. Wanita itu menunduk takut, sedangkan Syamil berjalan mondar-mandir di dalam kamar, merasa bingung akan situasi rumah tangga yang masih dalam hitungan hari, tetapi sudah seperti benang kusut. "Astaghfirullah, Zahra. Sudah, sekarang kamu keluar, kita sarapan atau kamu mau ngapain sama ummi atau Teh Laila terserah deh." Syamil keluar dari kamarnya sambil membawa ponsel Zahra. "Bang, ponsel saya! Kembalikan ponsel saya!" Teriak Zahra, hingga membuat Syamil kembali menarik napas dalam, lalu mengebuskannya pelan. Teriakan Zahra pasti mengundang tanya anggota keluarganya di bawah sana yang sudah pada bangun semua. "Zahra, suara kamu bisa lebih pelan? Di rumah ini tidak ada yang berteriak dan di rumah ini sedang banyak orang, Zah. Jangan bikin semua keluarga saya curiga dengan apa yang terjadi pada kita. Saya mohon!" Mengalah adalah hal yang harus ia lakukan demi kebaikan kesehatan ummi dan juga menjaga nama baik aba
"Ini HP kamu!" Syamil memberikan ponsel Zahra kembali. Lalu ia menuangkan semua pakaian yang sudah ada di koper, ke dalam lemari. "Semua sudah menunggu kamu di bawah, jangan bikin saya malu! Saya cuma minta satu hal, jangan bikin saya malu!" Syamil menarik tangan Zahra untuk segera bangun. Ia mengambilkan kerudung, lalu ia berikan pada Zahra. "Pakailah, kita turun berdua!" Syamil merendahkan suaranya. Zahra merasa sangat beruntung karena Syamil orang yang sangat sabar. Ia merajuk sedikit saja, suaminya langsung takut. Bukankah ini sangat menguntungkannya? Batin Zahra senang. Sebelum turun, Zahra menyemprotkan parfum di sekitar jilbabnya. Lalu ia menghampiri Syamil yang sudah menunggunya di depan pintu kamar. Syamil dan Zahra pun turun sambil bergandengan tangan. Syamil memperlihatkan wajah semringah, begitu juga Zahra, padahal semua hanya kepura-puraan. Bu Umi tersenyum melihat anak menantunya turun. Sekali lagi Bu Umi memuji menantunya di dalam hati karena wajah dan juga sikapnya
Selesai sarapan, Zahra kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bergabung bersama keluarga Syamil karena ja menilai seluruh keluarga suaminya nyinyir. Apapun yang ia katakan, pasti saja salah dan diprotes. Pantas saja sejak awal ia keberatan setelah resepsi pulang ke rumah Syamil karena ternyata hal ini yang ia dapatkan. Ponselnya berdering. Kali ini nama mamanya yang ada di layar. "Halo, assalamu'alaikum, pengantin lagi apa?" "Wa'alaykumussalam, Ma. Baru aja sarapan, tapi.... ""Tapi apa, Nak?""Tapi gak selera. Masakannya asin, Ma.""Begitu kalau masih baru, Sayang. Nanti juga terbiasa. Tapi kamu baik-baik saja kan?""Baik-baik gimana kalau gak selera makan? Mama masak apa di rumah? Kirim ke sini deh, Ma, biar nanti Zahra yang bayar ojeknya."Suara tawa renyah Bu Tia terdengar di seberang telepon sana. "Mama masak ikan pesmol sama sambal. Kesukaan kamu dan Raka.""Mau, Ma, anterin ke sini deh. Minta Mas Raka aja yang antar juga gak papa. Mas Raka masuk ya, Ma?""Masuk, pulang sore. Gak
"Mi, sini dulu! Duduk sebentar!" Laila menarik tangan ummi-nya untuk duduk di kursi yang tadi ia duduki. Laila menggenggam tangan ibunya yang mendadak dingin bagaikan terkena air es. "Mi, Ummi gak boleh panik, ga baik untuk kesehatan Ummi. Zahra masih muda kan. Masih labil pikirannya karena emang mereka itu pasangan muda. "Lebih tua dari Syamil satu tahun," potong Bu Umi cepat. Laila menghela napas. "Iya, tapi tetap saja Zahra masih berusia muda. Apalagi baru selesai menikah, langsung diajak ke rumah mertua, jadi canggung dan gak nyaman.""Apa bedanya nginap sekarang sama nginap seminggu lagi? Sama saja kan? Nanti juga ke rumahnya lagi. Begitu bukan?" Laila menerima gelas dari Didin yang berisi air hangat untuk diberikan pada Bu Umi. "Mi, mungkin Zahra masih kaget. Jadi kayak ngambek gitu. Lagian ke Turkinya masih bulan depan kan? Masih lama juga. Empat puluh lima hari lagi karena Syamil harus mengurus pengajuan data Zahra sebagai istri. Untuk pasport dan lain-lain. Anggap saja pe
Syamil dan Fadli bubar. Syamil berjalan cepat masuk ke pesantren, tetapi ia belum benar-benar masuk sebelum ia memastikan bahwa kurir paket sudah beneran pergi dari rumah Hani. Saat motor kurir melewati pagar pesantren, saat itulah Syamil ikut berbalik dan berjalan masuk ke rumah."Kamu dari mana saja, Sya? Pengantin baru jangan keluyuran melulu. Enakan kelonan sama istri," tegur Bu Umi saat melihat putranya masuk dengan tubuh berpeluh."Iya, Mi, ini juga mau naik, gerah banget." Syamil sengaja tidak mau berlama-lama di dekat ummi-ya karena khawatir akan banyak pertanyaan beliau nanti tentang istrinya. Syamil membuka pintu kamar. Ia mendapati Zahra sedang tidur sambil memegang ponselnya. Syamil hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Pemuda itu membuka baju kausnya yang basah keringat. Ia mengibas-ngibaskan bajunya agar keringatnya cepat kering. AC di kamar memang cukup dingin, tetapi belum mampu menghilangkan rasa gerahnya. Mendengar suara kibasan kain, Zahra terbangun
Zahra dan Syamil sudah duduk di aula bersama Bu Haji Umi. Tempat biasa diadakan pertemuan apapun yang dianggap penting, pasti dilakukan di aula. Termasuk untuk membicarakan hal urgent seperti ini. Tidak ada siapapun yang boleh menganggu jika ada orang yang tengah berdiskusi di ruangan aula. "Ya sudah, Ummi tunggu, Abah cepat pulang.""Iya, Mi, Abah sudah di jalan.""Oke, Bah, assalamu'alaikum."Bu Umi meletakkan kembali ponselnya di atas karpet tebal yang membentang menutupi ubin aula. Wanita itu mengerutkan kening begitu dalam saat menyadari ada yang berbeda dengan bibir bawah anaknya. Bukan seperti luka karena ciuman, tapi lebih seperti terbentur karena warna merah darah bekunya begitu kentara. "Ummi baru lihat, bibir kamu kenapa, Sya?" tanya Bu Umi panik. Wanita itu mengangkat dagu sang Putra sembari memakai kacamata yang menggantung di lehernya untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Kebentur, Mi," jawab Syamil berbohong. Zahra menunduk semakin dalam. Sedikit pun ia tidak
Lelah menangis, Zahra akhirnya ketiduran di rumah Hani. Hani memandangi wajah sahabatnya itu. Zahra cantik, mulus kulit wajahnya, aroma pengantin juga masih begitu lekat saat ia masuk ke dalam rumahnya. Namun, wajah cantik Zahra seperti tengah menahan sesuatu yang tidak bisa ia tunjukan begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya ini? Batin Hani cemas. Wanita itu pun melanjutkan memasaknya. Menggoreng ikan dan juga memasak sayur asem. Hani sengaja menutup pintu agar suara berisik dari dapur tidak menganggu Zahra. Saat akan menjemur handuk di teras, Hani melihat mobil keluar dari pesantren. Kaca mobil memang tidak gelap sehingga ia bisa melihat siapa saja yang ada di sana. Ada Syamil, ummi-nya dan juga seorang wanita yang waktu itu sempat menegurnya. Apakah itu kakak Syamil? Hani mengangkat bahunya, lalu memilih masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan packing. Hari pun siang, Hani membangunkan Zahra untuk makan, tetapi sahabatnya itu masih tidur dengan pulsanya. "Zahra,
Zahra benar-benar membuktikan ucapannya. Pukul dua siang, wanita itu memesan taksi online yang bisa membawanya pulang ke rumah mamanya. Tidak peduli ia harus bayar ongkos cukup mahal, asalkan ia bisa segera pulang ke rumah. Hani sudah menahan dan meminta Zahra mengurungkan niatnya, tetapi temannya itu tetap tidak mau mendengarkan nasihatnya. "Zahra, kamu udah bilang Syamil kalau kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu?" tanya Hani saat Zahra sudah merapikan kembali kerudung sambil menunggu taksi online tiba. "Nggak ah, biarin aja suamiku nanti nyariin. Oh, iya, makasih ya, Hani Sayang. Makan siangnya enak banget. Udah dikasih numpang tidur juga. Aku balik dulu." Zahra mencubit gemas pipi Hani, lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Hani pun hanya bisa menghela napas. Inilah sosok Zahra yang sebenarnya. Sahabatnya itu orang yang keras dan berpendirian teguh. Kalau katanya A, maka akan tetap A. Taksi pesanan Zahra pun sampai. Hani mengantar temannya itu sampai naik ke dalam mobil.