"Kau tidak mungkin melakukan semua ini sendiri," tukas Aiden, "Berapa orang itu membayarmu? Aku bisa memberikan lebih. Bahkan sepuluh kali lipat lebih banyak dari yang orang itu berikan jika kau setuju untuk melepaskan kami berdua."Jennifer tertawa, "Dasar billionaire. Itu adalah hal klasik yang kalian tawarkan saat kalian dalam keadaan terdesak. Menawarkan uang berpuluh-puluh kali lipat. Tapi, apa kau tahu Aiden Malik yang terhormat, kenapa aku menerima tawaran ini? Karena selain uang aku bisa mendapatkan kesempatan untuk membalas orang-orang dari kalangan borjuis sepertimu dan juga Eva. Aiden Malik, semudah itu kau menghancurkan hidup seseorang seperti diriku ini?""Aku tidak akan melakukan itu kalau bukan kau sendiri yang memulai terlebih dahulu menyakiti istriku. Apa menurutmu seorang suami akan diam saja saat istrinya dipermalukan dan disakiti oleh orang lain? Dalam hal ini dirimu, Jennifer."Jennifer memaki sambil melihat ke dinding, seolah Eva tidak ada di sana. "Brengsek, Eva.
"Ap ... appa yhang khau lhakukan, Thuan Ai ... Aidhen?" ucap Jennifer, dia kesulitan bicara dengan jelas karena tali Aiden yang melilit lehernya, "Appa khau lupha khalau akhulah yang thelah menyelamhatkhanmhu dhari thabrakan ithu dhan mengobatimuu.""Aku tidak minta diobati lagipula kaulah penyebab kecelakaan itu. Jadi, kurasa aku tidak perlu repot-repot berterima kasih. Sekarang suruh anak buahmu untuk meletakkan senjata dan alat komunikasi mereka lalu minggir ke sana. Atau kalau tidak aku akan mematahkan lehermu ini," tegas Aiden sembari mengencangkan tali di leher Jennifer.Jennifer yang merasakan cekikan tali di lehernya mengencang lantas memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan senjata mereka."Minggir ke sana," ucap Aiden sambil mengencangkan tali saat dilihatnya ketiga pria itu tidak bergerak. Sebagai gantinya, Jennifer memerintahkan lewat mata membuat ketiga anak buahnya kembali menurut dan menepi ke samping hingga mereka bisa lewat."Eva, apa kau bisa berdiri?" tanya Aiden.
"Apa kalian tahu kabar terpanas saat ini?" Leslie berkata pada kedua temannya yang kini sedang berkumpul di gazebo halaman belakang rumah Leslie."Tidak. Memangnya ada apa?" tanya Cassie sembari mengaduk-aduk potongan es batu yang ada di dalam gelas jus strawberry miliknya."Sebenarnya hal ini tidak terekspos di publik tapi, aku mendengarnya dari sumber terpercaya. Ini tentang Aiden Malik."Mendengar nama Aiden Malik, Cassie dan Lily menjadi sangat tertarik dengan kabar itu. "Ada apa dengan dia?" tanya keduanya. Seperti yang diketahui, sebelumnya Aiden sempat menguras rekening ketiga wanita itu secara tidak langsung saat di restoran."Aiden Malik dan istrinya sempat diculik," ucap Leslie yang membuat Cassie terperangah sedangkan Lily menjadi cemas."Astaga, lalu bagaimana keadaan mereka sekarang?" tanya Cassie, "Apa mereka baik-baik saja?""Ya. Keduanya baik-baik saja sekarang. Kasus ini sedang dalam tahap penyelidikan lebih lanjut secara tertutup. Tapi, coba tebak siapa yang yang men
Benjamin berjalan dengan tergopoh-gopoh. Dia bahkan berjalan setengah berlari sembari memakai jas dokter miliknya. Beberapa pasien yang berada di selasar bahkan sampai menoleh kebingungan melihatnya.Siang tadi saat sedang di toilet, ponsel Benjamin berdering. Oo, ternyata itu dari Aiden. Benjamin kembali melanjutkan kegiatannya, lalu ketika tersadar ...Astaga! Ini kan nomor darurat Aiden Malik! Benjamin buru-buru menarik retsleting celananya lalu menggeser layar ponsel. Dia lantas meletakkan ponsel itu di antara bahu dan lehernya lalu membuka pintu bilik toilet."Ya, halo, Aiden! Kau dimana? Apa kau baik-baik saja? Aku mendengar kabar burung kalau terjadi sesuatu padamu. Sejak beberapa waktu yang lalu ponselmu bahkan tidak bisa dihubungi. Sekarang bagaimana kondisimu?""Tuan Aiden meminta Tuan Benjamin segera ke rumah sakit untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beliau meminta untuk tidak memberitahu siapapun dan minta disiapkan jalur super VVIP. Saya akan memberitahu detilnya selan
Rebecca berjalan mondar-mandir di kamar dengan ponsel menempel di telinga. Tidak terhitung sudah berapa kali Rebecca mencoba menghubungi seseorang di seberang sana, dalam hal ini Jennifer Newman.Sialan! Kenapa jalang bodoh itu tidak juga bisa dihubungi. Apa dia lupa mengisi daya ponsel atau apa? Ah, sial, kenapa aku harus mempekerjakan orang bodoh seperti dia. Rebecca berulang kali memaki di dalam hati. Awas saja kalau nanti ketemu. Aku tidak akan membayar penuh. Pekerjaannya sama sekali tidak rapi. Ah, sial kenapa tidak juga tersambung? Apa yang terjadi pada Aiden? Bagaimana dengan si jalang Eva itu? Semoga dia sudah mati.Beberapa kali mencoba lagi, tak disangka panggilan Rebecca akhirnya tersambung.Akhirnya ... jalang bodoh itu mengangkat teleponku juga.Tanpa babibu Rebecca segera memaki begitu telepon itu diangkat."Dasar jalang bodoh!" maki Rebecca kesal, "Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa sedari kemarin kau tidak mengangkat-angkat panggilan telepon dariku? Apa yang kau lakuka
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B